1.
LGBT
LGBT
merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Lesbian
merupakan sebutan terhadap perempuan yang menyukai sesama jenis perempuan. Gay
adalah sebutan bagi laki-laki yang memiliki ketertarikan pada sesama laki-laki.
Biseksual adalah sebutan untuk mereka yang bisa tertarik pada keduanya, baik
kepada laki-laki maupun kepada perempuan. Sedangkan Transgender umumnya dipakai
untuk menyebut mereka yang memiliki cara berperilaku atau berpenampilan berbeda
atau tidak sesuai dengan jenis kelaminnya yang defakto dimilikinya.
Dalam
menanggapi kasus LGBT, Gereja Katolik Roma memiliki sikap sebagai berikut:
1. Menolak perkawinan sejenis karena menyalahi tujuan
Allah terhadap perkawinan dan keluarga. Gereja tetap menerima LGBT namun tidak
menyetujui perbuatannya.
2. Menolak calon-calon Tahbisan Suci dan hidup religius
yang melakukan perbuatan homoseksual.
3. Menolak perlakukan diskriminatif terhadap LGBT.
Oleh
karena itu pastoral Gereja terhadap LGBT adalah dengan meluruskan penafsiran
yang keliru terhadap teks Kitab Suci mengenai LGBT, mendirikan lembaga advokasi
LGBT serta terus menerus tanpa kenal lelah melawan bentu diskriminasi dan
kekerasan terhadap LGBT.
2.
Perceraian
Perceraian
adalah perpisahan secara hukum dari kedua orang yang telah menikah. Dewasa ini,
perceraian diartikan sebagai pemutusan ikatan perkawinan, dan memberikan hak
kepada kedua pihak untuk menikah dengan orang lain.
Perkawinan
Kontrak
Perkawinan
kontrak dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan adanya imbalan materi
bagi salah satu pihak, serta ketentuan-ketentuan lain, yang diatur dalam suatu
kontrak atau kesepakatan tertentu, jadi dalam kawin kontrak yang menonjol
hanyalah keuntungan dan nilai ekonomi dari adanya perkawinan tersebut. Adanya
kontrak atau kesepakatan tersebut yang menyebabkan kawin kontrak berbeda dengan
perkawinan pada umumnya, karena memuat jangka waktu berakhirnya perkawinan maka
perkawinan itu akan berakhir tanpa adanya putusan pengadilan, perceraian, atau
kematian.
Masyarakat
menilai bahwa kawin kontrak dimaknai sebagai upaya melegalkan bentuk
perzinahan, perselingkuhan, dan upaya melepaskan diri dari tekanan kemiskinan.
Namun untuk sebagian orang kawin kontrak agak terdengar asing karena tidak
selalu ada di lingkungan mereka, bahkan kurang menyenangi perkawinan semacam
ini ada di antara sebagian orang yang tidak suka terutama kaum wanita walaupun
di antara mereka ada yang mengatakan perkawinan tersebut adalah halal.
3.
Alat-alat kontrasepsi dan Aborsi
Kontrasepsi
menurut Konsili Vatikan II dalam Dokumen “Gaudium et Spes” tetap mempertahankan
ajaran Tradisi sebelumnya mengenai kontrasepsi yang dihubungkan dengan
perkawinan (no. 47-52). Dewasa ini martabat perkawinan dicemari oleh
tindakantindakan manusia yang menodai kesucian perkawinan. Cinta perkawinan
juga sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah / cara yang
tidak halal melawan timbulnya keturunan. Pemecahan masalah tentang pertambahan
jumlah anak hendaknya tidak melawan ajaran Magisterium Gereja, apalagi dengan
melakukan pembunuhan. Kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan
sangat cermat (no.51). Moralitas tindakan manusia tidak hanya tergantung dari
maksud atau alas an-alasannya saja. Posisi Katolik Roma terkait kontrasepsi
secara resmi dijelaskan dan diungkapkan oleh Paus Paulus VI pada
tahun 1968 melalui Humanae vitae. Kontrasepsi artifisial atau buatan
dipandang jahat pada hakikatnya, tetapi metode-metode keluarga
berencana alami secara moral diperbolehkan dalam beberapa kondisi sejauh
tidak mengesampingkan cara alamiah konsepsi atau pembuahan.
Aborsi
merupakan tindakan medis untuk mengakhiri kehamilan yang dilakukan dengan
mengeluarkannya janin yang belum memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di
luar kandungan dari dalam rahim sehingga dapat menyebabkan janin mati. Gereja
dengan tegas menolak adanya pengguguran dan mengajak kita untuk selalu
menghormati hidup manusia sejak awal. Hidup adalah sesuatu yang baik. Itulah
yang ditangkap secara naluri dan kenyataan pengalaman, dan manusia dipanggil
untuk menangkap alasannya mendalam, mengapa begitu? Evangelium Vitae (1995)
mengurai pertanyaan tadi terdapat di mana-mana di dalam Alkitab, dan sejak
halaman-halaman pertama mendapat jawaban yang jelas-tegas dan mengagumkan. Santo
Ireneus dari Lyon (1995) dengan definisinya, “manusia yang hidup kemuliaan
Allah”. Manusia dikarunia martabat yang amat luhur, berdasarkan ikatan erat
sekali yang menyatukannya dengan penciptanya.
4.
KDRT
Gereja
katolik mengajarkan bahwa hukum yang utama adalah Kasih, maka kekerasan pada
manusia lain adalah pelanggaran hukum utama gereja. Ketika mengalami kekerasan
keluarga yang telah diberkati dengan sakramen suci pernikahan, maka korban
dapat bertanya, “Bagaimana mungkin kekerasan yang saya alami ini bisa membuat
saya mempertahankan janji saya dulu untuk bersama dalam suka dan duka?”
Seharusnya, adalah tugas gereja membantu korban memahami bahwa menghentikan
kekerasan bukanlah membatalkan janji pernikahan.
Berbicara
hukum terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya ada dua hal yang
perlu diperhatikan yaitu kekerasan dalam rumah tangga bila dinilai dari
kacamata hukum dunia, jelas hal kekerasan dalam rumah tangga sudah melanggar
aturan dan undangundang. Bahkan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga bisa
saja akan dikenakan pasal KUHP yang sudah ditetapkan dalam Negara Indonesia.
Banyak sekali yang menyatakan dalam undang-undang Indonesia jika KDRT memang
salah satu tindak criminal bahkan akan mendapatkan hukuman yang sangat berat.
Terlepas dari hukum yang ada di undang-undang, kekerasan dalam rumah tangga
juga jelas melanggar aturan yang ada dalam norma budaya dan juga melanggar
peraturan yang ada dalam ajaran agama terlebih dalam ajaran agama Kristen.
Dalam
rumah tangga, pasangan suami isteri menjalani kehidupan rumah tangga mereka
dengan dasar kasih, terlebih-lebih kepada pasangan suami-ister yang merupakan
orang percaya, mereka harus menerapkan kasih dalam hubungan keluarga mereka.
Selanjutnya, suamilah yang harus menjadi teladan dalam menerapkan kasih dalam
kehidupan keluarganya. Dalam ayat ini sangat jelas bukan jika suami tidak
seharusnya bertindak semaunya kepada istrinya melainkan harus memiliki kasih
sabagaimana Kristus mengasihi jemaat. Ayat ini juga mengajarkan jika suami
harus rela berkorban untuk istrinya tanpa alasan apapun. Perilaku tersebut juga
termasuk dalam contoh kebudayaan yang sesuai dengan iman kristen. Sangat jelas
sekali dengan beberapa ayat diatas jika kekerasan dalam rumah tangga sangat
bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Bahkan hal tersebut sudah disampaikan
dalam Alkitab.
Dari
awal sejarah mencatat bagiamana manusia berpikir bahwa perempuan harus berada
di bawah kepeimpinan laki-laki, sehingga perempuan dalam pikiran manusia adalah
rendah. Thomas Aquanias yang menyoroti dan menanggapi pendapat Aristoteles
tentang ketidak sempurnaan perempuan sebagai seorang lelaki.14 Perempuan tidak
sempurna, sebenarnya merujuk kepada perempuan yang ketika menikah maka dia
harus berada di bawah kepemimpinan suaminya (laki-laki), tetapi bukan berarti
laki-laki bebas berbuat sewajarnya kepada perempuan. Saling menghormati dan
menghargai adalah salah satu cara supaya keluarga itu tetap memiliki damai dan
sukacita, sehingga dengan hal ini maka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak
akan terjadi.
Dalam
konteks pendidikan, kekerasan sering dikenal dengan istilah bullying.
Bullying biasanya dilakukan oleh orang yang merasa dirinya lebih kuat terhadap
orang yang lebih lemah darinya. Artinya, pelakunya bukan hanya guru ke siswa,
namun juga siswa ke siswa bahkan siswa ke guru.
1. Refleksi/
Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul
Setelah
membaca modul Psiko Moral Kristiani khususnya Kegiatan belajar 3 tentang Psiko
Moral sosial saya dapat memahami dan
bisa menjelaskan isu-isu moral sosial yang aktual Serta menerapkan prinsip-prinsip moral sesuai dengan ajaran iman kristiani. Di sini
saya akan merefleksikan tentang cinta kasih dan komunikasi dalam keluarga.
Keluarga
merupakan kelompok sosial pertama, sebagai salah satu lembaga dasar yang
melaluinya terbentuklah norma sosial yang akan diteruskan oleh individu anggota
keluarga. Keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yaitu: fungsi proteksi
(perlindungan), fungsi sosialisasi, fungsi pendidikan, fungsi Agama, fungsi
ekonomi, fungsi afeksi, fungsi pengawasan sosial, dan fungsi pemberian status.
Namun, dalam masyarakat modern terjadi pergeseran sebagian besar fungsi
keluarga kepada unit sosial lain diera modern ini masyarakat telah banyak
mengalami perubahan, tidak menutup kemungkinan sebagian dari fungsi keluarga
mengalami pergeseran. Misalnya, sosialiasi dalam keluarga relatif berkurang
tergantikan peran media massa, televisi, dan internet. Dalam fungsi pendidikan,
penanaman nilai-nilai dan norma yang berfungsi mendukung perkembangan anak
diambil oleh instansi/lembaga seperti sekolah dan lembaga pengasuhan khusus
anak. Hal ini biasanya terjadi pada keluarga yang lebih banyak disibukkan ada
kepentingan di luar keluarga atau pekerjaan/karir, sehingga penanaman nilai
dalam keluarga akan semakin berkurang. Dalam fungsi afeksi (kasih sayang)
semakin memudar, karena dalam proses perkembangan anak menuju dewasa akan
mencari kesenangan di luar lembaga keluarga. Dalam fungsi pengawasan, sekarang
kebanyakan orang tua hanya mengawasi anaknya menggunakan telfon, SMS, BBM,
Whatsapp, Facebook, dsb. Sedangkan dalam fungsi ekonomi, Laki-laki selalu
identik dengan pencari nafkah dalam keluarga, sekarang mulai bergeser dimana
perempuan juga bisa menjadi pencari nafkah dalam keluarga. Akan tetapi ketika
perempuan telah digiring dalam angkatan kerja yang berupah, yang menuntut
tenaga dan waktu perempuan, beserta berbagai aturan kerja, maka siapakah yang
akan menangani urusan domestik?, apabila mereka (perempuan) telah masuk dalam
dunia kerja, bagaimanakah mereka menjalankan peran domestiknya?
“Keluarga
dalam arti sempit (keluarga inti) mencakup suami-istri dengan anak-anaknya.
Dalam arti luas, keluarga juga mencakup seluruh sanak-saudara (famili).
Keluarga merupakan kesatuan sosial berdasarkan hubungan biologis, ekonomis,
emosional dan rohani yang bertujuan mendidik dan mendewasakan anak-anak sebagai
anggota aneka masyarakat luas dan terbatas. Dasarnya adalah ikatan perkawinan
ayah - ibu” (Ensiklopedi Gereja, CLC, Jkt,’92).
Setiap
orang tentu berasal dari sebuah keluarga, sebab dari keluarga itulah ia ada.
Memang, sumber hidup kita ialah Tuhan, tetapi Ia mengalirkannya lewat keluarga.
Ayub sebagai bapak keluarga berkata, “Hidup dan kasih setia Kau karuniakan
kepadaku” (Ayb 10:12). Sebagai anak atau sebagai ayah dan ibu, kita mengambil
bagian dalam proses hidup ini. Menghormati keluarga, berarti menghormati hidup
kita sendiri sekaligus menghormati Sang Pemberi hidup.
Dengan
memasuki kehidupan perkawinan dan keluarga sebenarnya mulai menerima suatu
tugas dan karier pokok menuntut banyak kebajikan, keterampilan dan pandangan
yang luas. Untuk hidup dengan mantap dalam perkawinan dan keluarga orang
membutuhkan kesabaran seorang guru, rasa adil seorang hakim, keahlian seorang
psikolog, kegesitan diplomasi seorang negarawan, semangat berkorban seorang
dokter, seni humor seorang pelawak, keramahtamahan seorang pramugari, belas
kasihan seorang pengampun.
Memang
perkawinan dan hidup keluarga merupakan suatu tugas dan karier yang utama.
Segala tugas dan karier yang lain bersifat tambahan dan sekunder jika
dibandingkan dengannya.
Kewajiban
dan tanggung jawab keluarga bisa terarah ke dalam dirinya sendiri, tetapi juga
terarah keluar, ke masyarakat. Jadi perkawinan dan hidup keluarga berdimensi
misioner pula.
Cinta Kasih dan Komunikasi dalam
Keluarga
a. Pentingnya Cinta dalam Hidup Manusia
Kita
bisa hidup dan berkembang sebagai manusia karena perhatian dan cinta yang kita
terima dan alami dari orang lain, dan karena cinta yang kita berikan kepada
orang lain. Seluruh ajaran dan perbuatan Kristen justru berdasarkan pada cinta.
“Hendaklah kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu”. (Yoh
15:12).
Cinta
membahagiakan orang dan memungkinkan manusia berkembang secara sehat dan
seimbang. Cinta yang jujur dan persahabatan sejati antarmanusia memungkinkan
perwujudan diri yang sehat dan seimbang, menghindarkan gangguan psikis, dapat
menyembuhkan orang yang menderita sakit jiwa.
Jadi,
apabila manusia belajar memberikan cinta dan menerima cinta, ia dapat sembuh
dari perasaan kesepian dan banyak gangguan emosional. Selain itu cinta adalah
kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang mempersatukan manusia dengan
sesamanya, namun membiarkan manusia tetap menjadi dirinya sendiri, membiarkan
manusia mempertahankan keutuhan sendiri.
b. Membina Cinta dalam Keluarga
Haruslah
dilihat bahwa tujuan perkawinan pertama-tama ialah membina cinta kasih antara
suami-istri, menjalin hubungan perasaan yang mesra antara kedua partner yang
ingin hidup bersama untuk selama-lamanya.
1.
Cinta kasih yang
menghargai teman hidup sebagai partner
Kebahagiaan di dalam hidup keluarga tidak terjadi
begitu saja secara otomatis setelah mempelai menerima berkat di Gereja dan
diresmikan perkawinannya, tetapi kebahagiaan itu masih harus dibentuk dan
dibangun, diwujudkan terus-menerus lewat perbuatan nyata sehari-hari.
Maka dari sebab itu agar cinta dalam hidup
berkeluarga semakin hari semakin bertumbuh dan berkembang, perlu suasana
“partnership” antara suami-istri. Partnership berarti persekutuan atau
persatuan yang berdasarkan prinsip kesamaan derajat sehingga kedua-duanya
menjadi “partner” yang serasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama.
Perkawinan yang berpola partnership pada dasarnya
bukan soal nafsu, uang, kenikmatan atau mendapat keturunan, melainkan lebih
merupakan suatu usaha bersama suami istri untuk saling memperkaya, melengkapi
dan membahagiakan baik sekarang maupun di masa akan datang.
Partnership atau persatuan antara pria dan wanita
sebagai suami-istri memang dari sendirinya cenderung terarah kepada pribadi
yang tetap untuk memperoleh keturunan, namun tidak semata-mata demi keturunan,
melainkan keturunan hanya menyempurnakan partnership antara suami istri.
2.
Cinta kasih yang
menyerahkan dirinya sendiri
Cinta kasih dalam hidup perkawinan sangat menuntut
suatu sikap penyerahan diri yang total, bukan hanya setengah-setengah
saja. Kedua partner harus saling menyerahkan diri kepada yang lain tanpa
reserve atau tanpa perhitungan untung rugi bagi dirinya (tanpa pamrih) dalam
bersama-sama membangun persatuan hidup, membangun kebahagiaan keluarga dengan
sumbangan yang berbeda, sesuai dengan kodrat/peranannya masing-masing sebagai
suami-istri.
Namun, arti perkawinan sebagai persekutuan hidup
dalam cinta kasih seumur hidup bisa mengarah ke dua kemungkinan: menjadi
semakin berkembang atau semakin merosot. Justru di sinilah menjadi nyata bahwa
cinta yang sudah dimulai dan diabadikan, harus senantiasa diperjuangkan,
dipertahankan dan dibina terus-menerus dalam sikap saling membantu, saling
melayani, saling mengerti dan memaafkan kekurangan masing-masing, saling
memperhatikan kebutuhan partner.
c. Komunikasi dalam Keluarga
Berkomunikasi
berarti menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada pihak lain. Berkomunikasi
tentang hal-hal yang sama-sama diketahui dan dirasakan akan terasa jauh lebih
mudah dari pada mengenai bidang yang khas dunia sendiri. Namun, untuk mencapai
keserasian hubungan antarmanusia, untuk mencapai saling pengertian, justru yang
paling perlu dikomunikasikan adalah dunia sendiri itu. Dunia suami, dunia
istri, dunia anak-anak yang sering sangat berbeda. Maka dalam berkomunikasi ada
banyak hal yang harus diperhatikan, antara lain berikut ini:
1.
Mendengarkan
Semua orang yang tidak tuli bisa mendengarkan. Akan tetapi, yang bisa mendengar
belum tentu pandai pula mendengarkan. Telinga bisa mendengar segala suara,
tetapi mendengarkan suatu komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati
serta segenap indra diarahkan kepada si pembicara.
Banyak di antara kita yang merasa bahwa mendengarkan itu tak enak, sebab
memaksa kita untuk menunda apa yang kita sendiri mau katakan. Betapa seringnya
kita tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara karena kita sibuk sendiri
memikirkan apa yang mau kita katakan. Mendengarkan dengan baik harus kita
pelajari kalau betul-betul ingin membangun keluarga yang harmonis.
2.
Keterbukaan
Penilaian seseorang tidak mutlak benar. Oleh karena itu, sukar terjadi
komunikasi yang mengena dengan orang yang tegar dalam penilaiannya, seakan-akan
itu sudah fakta mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Orang bisa begitu menutup
diri terhadap masukan dari pihak lain yang bertentangan dengan penilaian
sendiri. Setiap orang boleh, bahkan sepatutnya mempunyai sistem nilai,
mempunyai keyakinan, mempunyai sikap, mempunyai pandangan, mempunyai
kepercayaan dan pendidikan. Akan tetapi, ia tidak mempunyai kemauan
berkomunikasi kalau ia tertutup untuk mendengarkan, mencernakan masukan dari
pihak lain.
Orang yang mau senantiasa tumbuh sesuai dengan zaman, adalah orang yang terbuka
untuk menerima masukan dari orang lain, merenungkannya dengan serius, dan
mengubah diri apabila perubahan dianggapnya sebagai pertumbuhan ke arah
kemajuan. Ada pun masukan dari pihak lain hanya terjadi melalui komunikasi dengan
orang lain. Anda sudah sering mengalami, betapa enaknya berbicara dengan orang
yang mempunyai sikap terbuka. Terbuka untuk menyatakan dan terbuka untuk
mendengarkan. Terbuka untuk menyatakan diri dengan jujur, terbuka pula untuk
menerima orang lain sebagaimana adanya.
Keterbukaan tidak hanya menyangkut keyakinan dan pendirian mengenai suatu
gagasan. Keterbukaan dalam berkomunikasi untuk menuju pertumbuhan melibatkan
juga perasaan, seperti kecemasan, harapan, kebanggaan, kekecewaan. Dengan lain
kata, diri kita seutuhnya. Anggota keluarga yang saling terbuka, akan membangun
keluarga yang sejahtera lahir-batin.