Peran Guru Pendidikan Agama Katolik
sebagai Gembala: Belajar dari Yesus Sebagai Gembala Sejati
Seorang
Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) menjalankan perannya sebagai gembala
bercermin pada semangat kegembalaan Yesus sendiri sebagai Gembala Sejati.
Spiritualitas kegembalaan Yesus harus menjiwai seorang guru PAK dalam seluruh
tugas kegembalaan yang dijalankannya.
Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK)
sebagai Gembala dalam Konteks Pendidikan
Kitab
Suci menggunakan istilah gembala untuk dua pengertian, yaitu dalam arti
sebenarnya dan dalam arti metaforis. Dalam arti yang sesungguhnya, istilah
gembala ditunjukkan pada diri seseorang yang pekerjaannya sosial adalah sebagai
gembala ternak kambing, domba dan sebagainya. Misalnya, dalam Kitab Kejadian
Habel disebut sebagai gembala (Kej. 4:2) atau dalam Kitab Keluaran dikatakan
bahwa Musa menggembalakan kambing-domba Yitro, mertuanya Kel 3:1). Sedangkan
dalam arti metaforis, istilah gembala digunakan untuk melukiskan pribadi
tertentu dengan menyamakan atau membandingkannya dengan fungsi gembala dalam
arti sebenarnya.
Oleh
karena itu, kalau istilah gembala merujuk pada diri seorang Guru Pendidikan
Agama Katolik, maka itu harus dimengerti dalam arti metaforis. Artinya, guru
tersebut menjalankan perannya di sekolah seperti seorang gembala. Guru
Pendidikan Agama Katolik (PAK) adalah gembala terbaptis yang menjalankan tugas
pastoral di bidang pendidikan. Ia dipanggil untuk menjadi gembala bagi kawanan
yang dipercayakan kepadanya, yakni siswa-siswi di sekolah tempat ia diutus. Lewat
tugas dan karya pelayanannya sehari-hari sebagai pengajar dan pendidik, seorang
Guru Pendidikan Katolik menenekuni misi kegembalaannya itu dengan
tuntutan-tuntutan tertentu.
Peran Kegembalaan Guru Pendidikan
Agama Katolik: Pendasaran Biblis-Teologis
Dasar
biblis-teologis penggembalaan Gereja adalah penggembalaan Allah sendiri. Baik
dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru,
kepemimpinan selalu dikaitkan dengan metafora penggembalaan, yakni hubungan
antara “gembala dan domba”. Sejak awal sejarah karya penyelamatan, Allah
menampilkan diri-Nya sebagai gembala. Sesuai konteks nomaden dan agraris saat
itu, simbol gembala digunakan untuk Allah dan simbol domba untuk umat-Nya. Nabi
Yesaya menggambarkan “seperti seorang Gembala, Allah menggembalakan kawanan
ternak-Nya, dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba
dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati” (Yes 40:11).
Dalam metafora ini yang dimunculkan pertama-tama bukan aspek kekuasaan
melainkan perhatian, cinta, dan tanggung jawab pastoral Allah terhadap
umat-Nya. Dalam istilah gembala, terungkap peran Allah yang memimpin, menuntun,
mengumpulkan, melindungi, dan memberi makanan kepada umat-Nya. Gembala-domba
menandaskan relasi intim personal, perhatian, dan cinta Allah yang menjamin
kebahagiaan seseorang.
Panggilan
kegembalaan Allah ini terus menyapa Gereja sepanjang sejarah. Panggilan
kegembalaan ini mendengung pertama-tama untuk hierarki, gembala tertahbis, yang
melanjutkan karya penggembalaan para rasul, yang telah dipilih oleh Yesus
sendiri untuk menggembalakan kawanan domba-Nya (Yoh 21:15; bdk. KHK kan. 204).
Paus menggantikan Santo Petrus (CD 1), para uskup menggantikan para rasul (LG
20), para imam (LG 28), diakon (LG 29) diurapi secara khusus dalam sakramen
tahbisan untuk menjadi gembala Gereja. Semangat/spiritualitas kegembalaan mereka
juga bertolak dari semangat atau spiritualitas
kegembalaan Allah sendiri.
Peran
kegembalaan tersebut juga diemban oleh kaum awam (bdk. LG 43-47), dan
biarawan-biarawati (PC,1-2), sebab melalui sakramen baptis mereka juga telah
dimeterai untuk menjadi gembala (bdk. LG 30, 32-36). Konsili Vatikan II melalui
dekrit Apostolicam Actuositatem menegaskan bahwa, “kaum awam ikut serta
mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka
dalam perutusan segenap Umat Allah dalam Gereja dan di dunia” (AA 2; bdk. Kan.
204, par. 1, Kan. 849, Kan. 781). Lebih dari itu, tugas penggembalaan awam ini
bukan berdasarkan delegasi hierarki, tetapi dari persatuan mereka dengan
Kristus. Kalau para klerus disebut sebagai gembala tertahbis, maka para awam
disebut sebagai gembala terbaptis. Guru Pendidikan Agama Katolik yang merupakan
bagian dari gembala terbaptis ini memiliki tugas yang sama seperti awam pada
umumnya untuk mengambil bagian dalam peran kegembalaan Allah berdasarkan rahmat
sakramen pembaptisan yang telah mereka terima. Secara spesial, seorang Guru
Pendidikan Agama Katolik mempresentasikan diri sebagai gembala berpedoman pada
panggilannya sebagai pelayan pastoral di bidang pendidikan di sekolah.
Bentuk-bentuk Peran Kegembalaan
Seorang Guru Pendidikan Agama Katolik di Sekolah
Seorang
Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) menjalankan fungsinya sebagai seorang
gembala atau pemimpin bagi siswa di sekolah dalam wujud atau bentuk-bentuk,
antara lain seperti dijelaskan berikut ini:
Pertama, mengajar dan mendidik. Mengajar merupakan tugas utama
seorang guru. Mengajar artinya memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta
didik, melatih skill, memberikan pedoman, bimbingan, merancang pengajaran,
melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi aktivitas pembelajaran tersebut.
Sedangkan mendidik adalah menanamkan nilainilai yang terkandung dalam setiap
materi yang disampaikan kepada siswa-siswi. Dengan demikian diharapkan siswa
dapat menghayati nilai-nilai tersebut dan menjadikannya bagian dari kehidupan
siswa itu sendiri. Jadi peran dan tugas guru bukan hanya menjejali anak dengan
semua ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) dan menjadikan siswa tahu segala hal. Akan tetapi, guru juga
harus dapat berperan sebagai pentransfer nilai-nilai (transfer of values).
Kedua, Memotivasi. Salah satu faktor eksternal yang berkaitan
dengan peserta didik dalam seluruh proses pembelajaran dan pendidikan di
sekolah adalah kehadiran seorang guru. Seorang guru memiliki peran penting
sebagai sosok yang memberikan dorongan atau motivasi yang berpengaruh terhadap
prestasi siswa di sekolah. Motivasi belajar siswa akan berkembang dengan baik,
apabila guru mengajar dengan cara yang mengasyikan, seperti bersikap ramah,
memberi perhatian pada semua siswa, serta selalu membantu siswa yang mengalami
kesulitan belajar. Singkatnya, motivasi belajar akan bertumbuh dengan baik
apabila guru memiliki kompetensi yang memadai.
Ketiga, Membimbing. Salah satu peran yang dijalankan
seorang guru di sekolah adalah memberikan bimbingan kepada siswa. Bimbingan
adalah suatu aktivitas pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkelanjutan,
supaya individu tersebut dapat mengenal dirinya sehingga ia sanggup memacu
dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan
lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat, serta kehidupan umumnya. Dengan
demikian, ia dapat mengecap kebahagiaan hidup dan dapat memberikan sumbangan
yang berarti bagi kehidupan masyarakat umumnya. Bimbingan membantu individu
mencapai perkembangan dirinya secara optimal sebagai makhluk sosial.
Keempat, Memberi Teladan. Salah satu keprihatinan yang
diangkat dalam Sinode III Keuskupan Ruteng 2013-2015 adalah memudarnya
nilai-nilai Kekatolikan di sekolah-sekolah. Ditemukan banyak yang menjadi
penyebabnya. Di antaranya disebabkan oleh faktor internal yang ditunjukkan lewat
mentalitas yang serba instan dan budaya
hidup pragmatis, life style yang cenderung materialistis, konsumtif, dan
hedonis pada diri setiap elemen pendidikan (siswa, guru, kepala sekolah,
orangtua dan masyarakat).
Berhadapan dengan krisis pergeseran nilai seperti
ini, seorang guru khususnya Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) harus memiliki
semngat spritualitas sebagai “garam” dan “terang” bagi orang lain. Artinya
seorang Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) dengan panggilan uniknya sebagai
seorang gembala atau pemimpin wajib menjadi orang terdepan yang menghayati
nilai-nilai kekatolikan, lewat kata dan perilaku hidup yang setiap hari. Ia
harus mempunyai kualitas hidup yang mumpuni, mengungguli yang lain.
1. Refleksi/
Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul
Dunia
pendidikan abad ke-21 ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan akan
terus berkembang, bukan saja dari sisi pengembangan ilmu, tetapi juga dari sisi
metode pembelajaran. Khusus berkaitan dengan metode, seiring dengan kemajuan
teknologi yang sebegitu cepat, maka metode pembelajaran juga akan berubah
dengan cepat. Sudirman dan kawan-kawan menyebutkan paling tidak ada sebelas
metode mengajar, yakni: metode ceramah, metode tanya-jawab, metode demonstrasi,
metode karyawisata, metode penugasan, metode pemecahan masalah, metode diskusi,
metode simulasi, metode eksperimen, metode penemuan (discovery-inquiry) dan metode proyek atau unit, quantum teaching, dan sebagainya. Bahkan saat ini untuk
mengikuti les, peserta didik tidak perlu lagi berhadapan muka dengan pendidik,
fasilitator atau tutor, namun bisa dengan model teleconference atau bahkan
seorang peserta didik cukup hanya berhadapan dengan sebuah laptop atau gadged.
Seperti misalnya dengan mengikuti program aplikasi belajar Ruangguru.com yang
dikomandoi oleh Muhammad Iman Usman dan Adams Belva Syah Devara. Program
belajar online ini diklaim telah diikuti oleh sekitar 10 juta murid (peserta
didik) dan 200 ribu guru (pendidik). Tapi tentu saja program ini tidak gratis.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan realitas bahwa kadang-kadang masih
dijumpai adanya pendidik yang memiliki keterbatasan wawasan dan pengetahuan
termasuk perkembangan metode dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar.
Tetapi
dengan begitu apakah metode-metode konvesional, seperti metode ceramah,
diskusi, drama, dan sebagainya lalu boleh ditinggalkan begitu saja? Dianggap
terlalu kuno yang perlu (harus) diganti dengan yang baru? Sesungguhnya kalau
mau jujur, metode-metode yang ada sekarang ini adalah bentuk pengembangan dari
metode-metode yang sudah ada sebelumnya. Sebagai contoh adalah metode
pengajaran Yesus. Meskipun sudah berusia sekitar 2000 tahun, tetapi penerapan
metode-etode pengajaran Tuhan Yesus itu sesungguhnya masih tetap relevan hingga
saat ini. Untuk itulah tulisan ini mencoba untuk kembali menyegarkan ingatan
kita, bahwa metode-metode semacam itu bukanlah metode yang usang. Tuhan Yesus
sendiri telah melakukannya dan memberikan teladan dengan cara yang luar biasa.
Tidak mengherankan bahwa sehabis pengajaran (atau khotbah)-Nya, orang lalu
merasa heran, kagum, takjub dan tercengang-cengang menyaksikan cara dan
pengajaran yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Dalam Injil Sinoptik saja bisa
dijumai paling kurang 18 kali pemakaian kata ”takjub’’, yaitu 5 kali dalam
Injil Matius, 7 kali dalam Injil Markus dan 6 kali dalam Injil Lukas. Semuanya
merujuk kepada sikap pendengar setelah Tuhan Yesus menyampaikan pengajaran-Nya.
Adakalanya maksud yang sama memang dipertukartempatkan dengan istilah ”heran”,
yang oleh Alkitab Terjemahan BIS dipakai istilah ”kagum.” Semua ini dipakai
untuk mengekspresikan perasaan dan emosi pendengar yang memang sangat takjub,
kagum dan heran akan pengajaran dan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus.
Sering
kali saya sebagai guru bingung dengan aturan dan pedoman yang dibuat oleh
pemerintah, harus bagaimana kita mengajar anak didik kita, padahal sebenarnya
kita sudah mempunyai contoh dan teladan sebagai seorang guru. Sebagai umat
Katolik tentu seharusnya kita sudah tahu siapa yang harus kita contoh dan
teladani saat mendengar kata CINTA KASIH dan GURU.
Begitu
banyaknya penegasan berkaitan dengan sosok dan tugas Yesus sebagai Guru yang
penuh kasih di dalam Injil. Para murid pun melihat Yesus sebagai sosok yang
penuh dengan pengetahuan, hikmat dan berwibawa, berkharisma dan spiritualis.
Sang Guru dilihat oleh murid-murid-Nya sanggup menuntun mereka mencapai hidup
dan kemuliaan. Karena itulah para murid menggantungkan diri kepada Yesus.
Mereka rela belajar dari-Nya. Sebaliknya, Yesus sebagai Sang Guru, menuntut
kesetiaan, kerendahan hati, iman dan percaya bahkan ketaatan sampai akhir dalam
mengikuti perintah dan keteladanan-Nya.
Yesus
sebagai manusia sejati pun belajar banyak pada masa kecil-Nya. Itu juga salah
satu faktor yang membuat diri-Nya tampil sebagai Pengajar yang hebat. Pada
peristiwa di jalan menuju Emaus, terlihat bagaimana kehebatan Yesus sebagai
Pengajar menghadapi murid yang keliru, lamban dan dalam ketakutan. Dalam
keadaan demikian, Sang Guru itu hadir, mendampingi, mendengar, mengajar dan
bahkan melayani.
Yesus
itu unik dalam kepribadian, dalam kehidupan bahkan pengajaranNya. PengajaranNya
transformatif, mengubah hidup. Dia menawarkan dasar hidup dan sikap baru. Dia
menghadirkan pendekatan baru terhadap hubungan manusia dengan Allah serta
dengan sesama-Nya.
Kehidupan
dan ajaran Yesus harus menjadi dasar filsafat guru Katolik. Pendekatan Yesus
yang akrab, simpati, dan empati, bersifat mendorong dan menantang hingga
mendesak untuk mengambil keputusan atau pilihan yang tepat.
Bagaimana
Yesus menarik perhatian murid, membangun jembatan komunikasi, merumuskan dan
mencapai tujuan-Nya, mengajukan dan menyelesaikan masalah, bercakap-cakap
secara pribadi, bertanya dan menjawab pertanyaan, menguraikan pengajaran,
mengemukakan contoh atau ilustrasi, menggunakan Kitab Suci, memakai situasi
menjadi bahan pengajaran, memulai pengajaran, membuat perbandingan, memberi
nilai terhadap apa yang diamati, menggunakan simbol, menghadapi pribadi,
kelompok, maupun massa, mendorong dan bahkan mengajar anak-anak.
Ada
empat hal yang menarik dari hidup dan pekerjaan Yesus sebagai pengajar.
Pertama,
wewenang Yesus sebagai pengajar. Wewenang Yesus sebagai pengajar nyata dari
pernyataan-Nya, pernyataan murid-murid dan pengakuan orang lain. Wewenang itu
nyata pula dalam perbuatan kasih-Nya bagi banyak orang. Dia mengajar atas dasar
Firman Allah serta secara cakap membaca hati orang-orang yang dihadapiNya.
Kedua,
kehebatan Yesus dalam menghadapi murid-murid-Nya dengan latar belakang yang
berbeda, bahkan ada yang belum berkembang, impulsif, berdosa, kacau pikiran,
bodoh, berprasangka dan tidak stabil.
Ketiga,
Yesus sebagai pribadi yang mengajar secara terus terang dengan tujuan yang
jelas pula. Tujuan Yesus dalam mengajar adalah membentuk cita-cita luhur dalam
diri para murid-Nya, membentuk keyakinan yang teguh, memiliki hubungan dengan
Allah dan sesamanya. Para murid didorongNya agar kreatif menghadapi masalah
hidup sehari-hari dan memiliki watak yang bagus dalam menjalankan tugas
pelayanan. Pengajaran Yesus berhasil dalam rangka mengangkat derajat para
murid, mengubah kehidupan mereka agar percaya kepada-Nya.
Keempat,
Yesus adalah pengajar dengan visi yang jelas dan besar yakni berkaitan dengan
Kerajaan Allah. Yesus senantiasa menyesuaikan pengajaran-Nya dengan keadaan dan
kebutuhan para murid. Dia menyentuh suara hati mereka serta merangsang mereka
untuk aktif berbuat. Bahan pengajaran Yesus diambil dari Perjanjian Lama
diintegrasikan dengan peristiwa alam dan peristiwa yang hangat yang sedang
terjadi. Dia menggunakan pepatah, ilustrasi, perumpamaan dalam memulai atau
dalam menjalankan pengajaran. Susunan pengajaran pengajaran Yesus amat menarik,
diawali pendahuluan, isi dan kesimpulan. Singkatnya, metode Yesus amat variatif
karena mencakup cerita, ceramah dan tanya jawab.
Metode
pengajaran Yesus sangat efektif sekarang sama seperti waktu Ia menggunakannya
saat itu. Ide-Nya sangat bisa diadaptasikan ke semua jenjang pendidikan dan
semua kurikulum.
Yesus
Kristus Sang Guru, adalah pribadi yang realistis dan relasional, relevan bagi
manusia, orotitatif dan efektif, serta aktif mendorong atau membangun semangat
dengan kasih, penerimaan dan peneguhan (afirmasi) dengan metoda kreatif, unik,
memikat dan terus berkembang.
Pola
pengajaran Yesus yaitu pola pengajaran yang sangat baik karena Yesus mengajar
menggunakan perumpamaan. Perumpamaan yang dilakukan oleh Yesus dapat diterima
oleh murid-muridNya dengan baik karena dapat dimengerti dan dipahami. Guru
Pendidikan Agama Katolik di Kota Madiun memahami bahwa pengajaran yang
dilakukan oleh Yesus itu tidak hanya dengan perkataan saja melainkan juga
dengan perbuatan. Praktek pola pengajaran Yesus bagi pengajaran guru Pendidikan
Agama Katolik sungguh bermakna dengan harapan Pendidikan Agama Katolik yang
diberikan dapat menguatkan iman peserta didik.
Saya
sebagai guru Pendidikan Agama Katolik dapat meneladani Yesus dalam pelayanan
dan pengajarannya. Mengingat bahwa sebagai guru Pendidikan Agama Katolik (PAK)
juga harus mampu meneladani Yesus sebagai sang guru sejati maka sejatinya pula
lah guru PAK mampu menjadi orang yang dapat diteladani oleh peserta didik.
Pengajaran guru PAK hendaknya sungguh bersumber dari Kitab Suguru PAK hendaknya
sungguh bersumber dari pengajaran Yesus yaitu Kitab Suci. Pelayanan dan
pengajaran guru PAK hendaknya dilandasi oleh dasar cinta kasih, karena Yesus
dalam pengajaranNya pun dilandasi oleh pelayanan dan pengorbanan diriNya.
Tujuan pengajaran guru PAK bukan saja hanya mentransfer ilmu pengetahuan
kedalam otak siswa, membimbing siswa, membantu murid, membimbing murid dan
memahami murid tetapi lebih kepada menumbuhkembangkan iman peserta didik dengan
cara menanamkan sikap cinta kasih dalam setiap kegiaatn yang ada.
Pada
zaman sekarang ini pun, teladan yang diberikan oleh Yesus masih sangat sesuai
dan bisa diaplikasikan ke dalam pengajaran di semua jenjang sekolah. Kita
diharapkan dapat mencontoh pribadi Yesus Sang Guru dalam menghadapi situasi dan
murid kita.
Semoga
saya bisa menjadi pribadi yang transformatif seperti Yesus, terutama dalam
tugas kita sebagai pendidik dan tenaga kependidikan, untuk membimbing generasi
penerus bangsa menjadi pribadi yang lebih baik. Berkah Dalem.