Gereja di dalam dunia memiliki jiwa misioner yang berada di tengah-tengah dunia. Gereja hadir memberikan angin segar bagi kehidupan berbangsa dengan menerima, menghargai perbedaan masing-masing agama. Artinya Gereja memiiki sikap moderasi beragama yang sangat nasionalis. Dari Konsep ini anda diminta menguraikan arti kata Moderasi beragama, dan apa hubungannya dengan kehidupan Gereja bersama dengan agama lain. Titik fokus pada moderasi beragama dalam kaitan dengan keterbukaan dalam Gereja Katolik.
Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Akar kata moderasi diambil dari Bahasa Latin “moderatio”. Kata tersebut berarti kesedangan atau tidak lebih, juga tidak kurang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lebih mengartikan moderasi dalam kaitan dengan pengurangan kekerasan dan penghindaran keesktreman. Moderasi beragama bisa berarti sebuah perspektif dan sikap yang dipilih untuk tetap seimbang dan adil. Moderasi beragama meminta para pemeluk agama untuk untuk tidak ekstrem dalam beragama. Pengertian ini kembali memastikan bahwa ekstremisme merupakan pandangan dan gerakan yang berbahaya. Paham tersebut hanya menggunakan satu perspektif dan subyektifitas dalam kebenaran. Orang-orang demikian cenderung menganggap dirinya paling benar, sedangkan yang lain salah. Sikap tersebut menjadi ancaman secara langsung bagi persatuan di tengah keberagaman keyakinan.
Berbicara
mengenai Moderasi, dalam Gereja Katolik memiliki gagasan moderasi beragama yang
sudah tersirat dalam Konsili Vatikan II. Pandangan itu ada dalam dokumen Nostra
Aetate. Artikel no. 2 dari dokumen tersebut dijelaskan: “Gereja Katolik tidak
menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci” jadi moderasi
beragama harus dipahami baik dan dilaksanakan terlebih pada satuan sekolah dan
menjadi tanggung jawab para guru agama dan kita semua warga negara.
Dalam
tradisi Katolik, moderasi beragama menjadi cara pandang untuk menengahi
Extremitas tafsir ajaran Katolik yang dipahami oleh sebagian orang umatnya,
salah satu kita untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi
semaksimal mungkinantara agama yang satu dengan agama lain, aliran satu dengan
aliran lain,
Moderasi
beragama mempunyai arti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan moral
dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu di
tengah keberagaman dan kebhinekaan fakta sosial yang melingkupi kita.
Kitab
Suci/ Alkitab mengisahkan tentang juru damai, Yesus Kristus yang dalam
ajaranNya tidak mengidentifikasi, mengajak orang untuk memahami bahwa perbuatan
merusak, kekerasan apa lagi peperangan sangat tidak dibenarkan. Hampir semua
ayat mengajarkan cita-cita, harapan untuk mewujudkan kedamaian dimuka bumi ini.
Moderasi beragama dan hubungannya dengan kehidupan Gereja bersama
dengan agama lain
Pertanyaan
penting yang perlu kita ajukan dan refleksikan bersama adalah seperti apakah
atau bagaimanakah konsep moderasi beragama ini dapat ditempatkan dalam ruang
publik yang bercorak multi-agama dan multi-etnis? Apakah aspek yang perlu dimoderasi
tersebut: apakah agama atau hidup beragamanya? Tanpa memahami jawaban atau
pijakan yang tepat atas pertanyaan tersebut konsep moderasi beragama dapat
disalahgunakan atau dapat secara keliru dipahami.
Di
sini penting untuk dilihat bahwa moderasi beragama bukanlah sebuah ideologi
tetapi lebih sebagai cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan agama
agar senantiasa berada dalam jalur yang moderat. Artinya tidak berlebihan dan
juga tidak memiskinkan substansi ajaran agama itu sendiri. Moderasi beragama
dengannya cara beragama jalan tengah. Jadi yang dimoderasi di sini adalah cara
beragama, bukan agama itu sendiri.
Konsepsi
moderasi beragama dapat dipahami dalam dua format penting ini. Pertama-tama
adalah pengakuan bahwa dalam diri agama-agama itu sendiri telah berakar
aspek-aspek moderasi beragama. Format pertama ini sangat mengandaikan setiap
umat beragama sadar dan memahami aspek-aspek moderasi dalam ajaran agamannya.
Sehingga hidup beragama tidak berdasarkan suatu ketaatan iman yang buta tetapi
mampu membuka diri untuk menyelami ajaan agamanya secara objektif. Kedua,
kesadaran akan aspek moderat dalam ajaran-ajaran agama ini kemudian berbuah
dalam cara hidup beragama dari penganut-penganutnya. Buah tersebut nampak dalam
sikap toleransi, kesediaan untuk membangun dialog, saling membantu, solider dan
kerja sama. Sehingga, perbedaan keyakinan dan iman tidak menjadi penghalang
bagi terselenggaranya hidup berdampingan dalam keberagaman.
Sebagai
contoh, dalam tradisi dan Ajaran Sosial Gereja Katolik sendiri, konsepsi
gagasan moderasi beragama ini dapat ditemukan dalam bentuk kesediaan membangun
dialog serta keterbukaan untuk menerima yang lain tidak sebagai musuh tetapi
sebagai sahabat. Dalam kitab suci, terdapat kisah Yesus yang terbuka untuk begaul
dan berdialog dengan kaum atau orang yang dianggap kafir. Yesus umpamanya
memperhatikan orang Samaria (Luk. 17: 11-19) dan berkomunikasi dengan seorang
wanita Samaria, yang dalam masyarakat Yahudi taat waktu itu dilihat sebagai
kaum kafir (Yoh. 4: 1-42). Selain itu, terdapat juga kisah Yesus yang mengagumi
iman Nikodemus, seorang pemimpin pasukan Romawi. Puncaknya, kisah wafat dan
kebangkitan Yesus adalah bukti karya kasih dan kemanusiaan luhur tanpa
memandang bulu atau mengkafirkan sesama yang lain.
Dengan
menghidupi aspek-aspek moderasi beragama, seseorang diharapkan tidak tenggelam
dalam kubangan ekstrimisme. Orang atau subjek yang mampu mengamalkan spirit
moderasi beragama disebut pribadi yang moderat. Seorang yang moderat mampu
memilah area mana yang merupakan pokok-pokok ajaran agama dan wilayah tafsir
ajaran agama yang terbuka terhadap perbedaan. Kemampuan atau daya selektif
hanya mungkin apabila umat beragama mampu mempelajari dan mengamalkan ajaran
agamanya dengan baik.
Pribadi
yang moderat selalu berada di tengah, yang mana ia tidak mengultuskan secara
ekstrim dogma agama sambil tetap memberi ruang yang seimbang akan peran akal
budi dan juga tidak memaku rasionalisme secara mutlak sehingga mengabaikan
semantika agama. Ringkasnya, resolusi moderasi beragama bertujuan untuk
mendorong subjek kembali pada esensi terdalam setiap ajaran agama yaitu
memanusiakan manusi
Semua
agama memandu untuk menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena
keterbatasan manusia, seringkali belum mampu mengelola bumi dengan baik. Dalam
semua agama ada bentuk keyakinan bahwa merawat negeri sebagian dari keimanan.
Keseimbangan di antara keagamaan dan kebangsaan justru menjadi tanaman besar
bagi kepentingan suatu bangsa.
Indonesia
merupakan negara multikultural, artinya mempunyai keanekaragaman budaya, suku
dan ras. Indonesia negara yang majemuk memiliki penduduk yang banyak, wilayah
yang luas, kekayaan alam melimpah, beserta kekayaan bahasa dan juga budaya yang
begitu beragam. Jika dilihat, Indonesia mempunyai potensi yang besar dan
sekaligus juga memiliki permasalahan yang cukup besar juga. Dapat diartikan
Indonesia selain besar arah positifnya, besar juga arah negatif atau berbagai
permasalahan yang dihadapi. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia. Berdasarkan keterangan ini, di Indonesia sangat rentan terjadi
konflik antar sesama warga negara yang mendasari perbedaan tersebut. Sebagai
negara yang berdasarkan Tuhan yang Esa, memiliki tanggung jawab atas segala
dinamika keagamaan yang terjadi pada wilayah ini. Mengenai konsep keragaman,
hal ini bukan hanya karena faktor teritorial atau hukum alam namun adalah
fitrah. Pembentukan berbagai kelompok beragama, kelompok lintas agama sampai
pada pembuatan lembaga khusus yang memiliki fokus kajian moderasi beragama
adalah langkah konstruktif untuk merancang dan membuat kehidupan yang damai
dalam bingkai moderasi beragama.
Di
Indonesia kepercayaan atau agama masyarakat Indonesia yang resmi diakui oleh
negara yaitu ada enam agama. Islam, Kristen, Katolik, Kristen Protestan,
Buddha, Hindu dan Khonghucu. Namun, di luar dari keenam agama resmi tersebut,
masih ada paham-paham atau aliran-aliran kepercayaan lainnya. Menganalisis
besarnya jumlah tersebut disertai dengan bentang wilayah yang luas, maka tugas
selanjutnya adalah menjaga dan merawat kekayaan immaterial tersebut agar tetap
eksis namun tetap menyesuaikan juga dengan pergerakan dan perkembangan zaman.
Ajaran
wasathiyah dalam Islam dikenal dengan istilah wastha memiliki arti yang
dipilih, moderat, adil, rendah hati, istiqamah, mengikuti ajaran yang moderat,
baik itu hal yang berkaitan dengan duniawi dan juga akhirat. Jika konsep
wasathiyah sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, maka orang tidak
bersikap mempunyai sikap ekstrem. Konsep wasathiyah juga dapat dipahami dengan
merefleksikan prinsip moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), seimbang
(tawazun), dan adil (i’tidal).
Dapat
juga disimpulkan bahwa tinggi rendahnya komitmen seseorang sesungguhnya juga
melihat sejauh mana komitmennya terhadap nilai-nilai keadilan. Semakin ia
moderat dan berimbang, semakin terbuka juga untuk berbuat adil. Sebaliknya,
semakin seseorang bersikap ekstrem, besar juga kemungkinan ia tidak berbuat
adil.
Tentu
saja tidak hanya agama Islam yang memiliki tradisi moderat, melainkan juga
agama lain, seperti Kristen. Dalam misionaris Kristen pada abad ke-16, moderasi
beragama dalam tradisi Kristen, menjadi perspektif untuk menengahi ekstremitas
tafsir ajaran kristen yang dipahami sebagian umatnya. Di antara kiat yang
dilakukan adalah interaksi intens antar agama, antar aliran dalam internal
agama. Dalam Kristen ada juga istilah “kasih” kepada Allah dan kepada sesama
manusia. Kasih merupakan kunci dari sebuah hubungan sosial (Qasim, 2020).
Di
dalam Alkitab juga tidak ada ayat yang mengajak untuk peperangan, kekerasan
bahkan membuat kerusakan, karena Yesus juga mengajarkan kebajikan. Moderasi
beragama juga dapat dilihat dalam perspektif Gereja Katolik. Gereja menyebut
umat sebagai “persekutuan iman, harapan dan cinta kasih.” Ketiganya menjadi
kesatuan pondasi utama orang beriman. Iman yang memberi hidup, memberi dasar
kepada harapan dan dinyatakan dalam kasih. Ketiganya bersatu, tetapi tidak
semuanya sama (Kementerian Agama RI, 2019).
Dalam
ajaran agama Hindu yang paling menonjol dan menjadi landasan dalam moderasi
beragama adalah Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma yakni seimbang antara
lahiriah dan jiwa (atman) (Rosidi, 2017). Jika hidup manusia seimbang dia akan
mencapai kebahagiaan yang sempurna sehingga akan mencapai moksa. Ajaran agama
Hindu lainnnya yaitu Ahimsa, yang berarti kesadaran untuk tidak membunuh atau
menyakiti (Rosidi, 2017). Dalam mengembangkan sikap ini, dibutuhkan kemampuan
sikap untuk tidak saling menghina, merendahkan agama dan keyakinan orang lain,
dan menganggap agamanya paling benar kemudian dapat berbuat kekerasan bahkan
membunuh orang lain yang tidak sepaham. Ajaran agama Hindu lainnya yang
berkaitan dengan moderasi beragama adalah susila, yaitu bagaimana cara
membangun hubungan rukun harmonis antar manusia sebagai anasir ciptaan Tuhan
tertinggi (Rosidi, 2017). Kasih sayang juga merupakan hal utama dalam semua
agama.
Hindu
adalah agama terbesar ketiga di dunia setelah Kristen dan Islam dengan mencakup
jumlah penganut sekitar satu miliar orang dengan populasi Hindu terbesar berada
di India (dengan 957.636.314 orang pengikut) (Mohammad Zazuli, 2018). Di
Indonesia pemeluk agama Hindu paling banyak berada di Bali. Masyarakat Bali
juga memiliki tradisi agama Hindu yang unik.
Kemudian
di dalam tradisi agama Buddha juga terdapat ajaran yang berkaitan dengan
moderasi beragama. Pencerahan Sang Buddha berasal dari Siddharta Gautama.
Siddharta Gautama merupakan anak seorang raja, namun Siddharta Gautama
menginginkan hidup yang sederhana. Dari hasil wawancara kepada umat Buddha di
Vihara Karuna Jala, Siddharta Gautama mengikrarkan empat prasetya, yaitu
menolong antar makhluk, menolak kemauan yang besifat duniawi, mempelajari
mengamalkan Dharma, serta berusaha untuk meraih Pencerahan Sempurna (Komunikasi
personal, Narasumber AA, 13 Oktober 2021). Di Indonesia, Tuhan dalam agama
Buddha biasa dipanggil Sang Hyang Adi Buddha sebagai sebutan Tuhan Yang Maha
Esa.
Agama
Buddha berasal dari India bagian utara dan diperkirakan telah ada sejak abad
ke-6 SM. Agama Buddha masuk di Indonesia melalui jalur laut dan perdagangan.
Agama Buddha mencapai masa puncaknya pada era Raja Ashoka (273-232 SM) yang
memproklamirkan Buddha sebagai agama resmi negara. Selain Stupa, tiang Ashoka
juga merupakan bangunan peribadatan populer yang dibangun oleh Raja Asoka.
Wilayah kerajaanya meliputi sebagian besar wilayah India. Agama Buddha masuk di
Indonesia pada era Kerajaan Sriwijaya di Palembang (650 M) dan kerajaan
Majapahit (1293-1500 M) yang berpusat di Jawa Timur (Qasim, 2020).
Buddha
juga mengajarkan bahwa spirit agama adalah Metta. Metta dalam Bahasa Pali
berarti sikap bersahabat dan tanpa kekerasan. Dengan metta umat Buddha
menghindari segala bentuk kejahatan, kebencian dan permusuhan. Dan diharuskan
menumbuhkan rasa persahabatan, kebaikan serta menebar kasih kesejahteraan
kepada sesama manusia dan kepada antar makhluk (Asadhananda, 2012). Buddha
Dharma merupakan ‘jalan tengah’ yang merupakan aspek penting dari spiritualitas
umat Buddha agar terhindar dari ekstremitas untuk menuju pada kebahagiaan
sejati
Agama
Khonghucu diperkirakan datang ke Indonesia bersamaan dengan para pedagang
Tiongkok sekitar abad ke-3 Masehi. Shishu Wujing merupakan kitab suci
Khonghucu. Ajaran Khonghucu yang berkaitan dengan moderasi beragama di
antaranya adalah Junzi yang bisa diartikan sebagai tingkat moralitas seseorang.
Junzi berarti individu yang telah sampai ke tingkat moral dan intelektual yang
tinggi. Menjadi seorang yang Junzi adalah cita-cita para penganut Khonghucu
(Sari, 2014). Ketika seseorang sudah mengamalkan aspek-aspek Junzi otomatis
individu tersebut telah mengamalkan rasa kasih sayang kepada sesama manusia dan
juga sesama makhluk hidup.
Dengan
demikian, hal yang juga penting untuk mempunyai sikap moderat adalah dengan
toleransi. Karena toleransi adalah perilaku untuk memberi tempat dan tidak
mengusik individu agama lain untuk berkeyakinan, menyampaikan pendapat,
melakukan kepercayaan keyakinannya, walaupun keyakinan agama lain berbeda
dengan yang kita anut. Adanya toleransi mengacu pada sikap saling menerima,
terbuka, sukarela dan dengan hangat menerima perbedaan. Toleransi selalu
berkaitan dengan pola pikir positif.
Dalam
memegang teguh kesinambungan, negara sangat berperan penting. Dikarenakan
negara akan menjadi penentu arah moderasi dan menjadi salah satu penyangga
keadilan. Moderasi beragama berperan dalam mempraktikkan dogma agama, pemeluk
agama tidak terkekang secara ekstrem kepada perbedaan untuk bangsa yang plural
dan multikultural, Indonesia telah menunjukkan keseimbangan yang wajib menjadi
teladan. Walaupun mayoritas pemeluk agama di Indonesia notabene pemeluk agama
Islam, tetapi Negara secara seimbang juga memberi fasilitas kepada pemeluk
agama lain. Kenyataan ini dapat dilihat diantaranya pada realita bahwa Negara
Indonesia merupakan yang paling banyak menetapkan hari libur nasional
didasarkan dari hari besar semua agama, dimulai dari Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, serta Khonghucu. Berbagai macam ritual budaya, adat istiadat,
serta kebiasaan nenek moyang banyak dilestarikan untuk menjaga keseimbangan
serta keharmonisan.
Kemajemukan
merupakan hal yang pasti dikarenakan merupakan kehendak Tuhan, supaya antar
individu saling mengenal, menyapa, ber solidaritas, dan saling komunikasi.
Tentunya hadirnya agama berupaya melindungi, menjaga hak antar masyarakat,
berperan serta untuk kebutuhan hidup manusia. Agama berkedudukan penting dalam
kehidupan Negara Indonesia. Pengakuan ini tertuang di dalam sila pertama
Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Moderasi Beragama: Keterbukaan
dalam Gereja Katolik
Gereja
Katolik menghormati agama dan keyakinan yang berbeda (Riyanto, Dialog
Interreligius, 444). Hal ini selaras dengan pendapat Gereja Katolik dalam
pernyataan dan sikap yang dituangkan dokumen Konsili Vatikan II, khususnya pada
Gaudium et Spes art. 75 bahwa: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang
dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus,
Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah, serta
ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan
diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar kebenaran yang
menerangi semua orang”. Lebih lanjut Gereja Katolik mengungkapkan secara khusus
kepada umat Muslim melalui pernyataannya “Gereja juga menghargai umat Islam,
yang menyembah Allah satu-satunya. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai
Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi” (Nostra Aetate art. 3).
Gereja
Katolik sugguh menghargai agama dan kepercayaan lainya. Gereja tidak
melebih-lebihkan dirinya sebagai agamanya yang paling benar, justru Gereja
mengakui keberadaan agama lain. Gereja menghormati dan mengembangkan kebebasan,
tanggung jawab dan terlibat dalam mewujudkan bonum commune dalam masyarakat. Dalam mewujudkan komitmennya, Gereja memandang perlu
kerja sama dengan negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Hal ini
diungkapkan Gereja melalui sikapnya: “Hendaknya semua warga negara menyadari
hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna
meningkatkan kesejahteraan umum” (Gaudium et Spes art. 75). Gereja terus
mendorong agar umat Kristiani terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial
terutama dalam bidang-bidang keluarga, kebudayaan, kerja, ekonomi dan politik
sesuai dengan kemampuannya untuk kesejehteraan umum.
Moderasi
beragama oleh Gereja Katolik memegah teguh pada prinsip utama bahwa “Setiap
pribadi manusia, entah dari suku dan ras atau pengelompokan manapun, mempunyai
martabat hidup yang tidak dapat diganggu gugat” (Pacem in Terris tentang
Membangun Perdamaian: Menghormati Kelompok Minoritas art. 3). Dengan tegas,
“Gereja menolak setiap diskriminasi atau penindasan terhadap manusia karena
alasan ras atau warna, status, atau agama karena bertentangan dengan semangat
Kristus” (Nostra Aetate art. 85). Moderasi beragama dimengerti sebagai suatu
sikap yang berimbang, baik dalam pengamalan agama itu sendiri maupun
penghormatan kepada praktik agama orang lain yang berbeda keyakinan. Gereja
Katolik secara tegas menolak praktik politisasi SARA dalam kompetisi politik di
Indonesia, baik Pilkada, Pileg, maupun Pilpres. Demikian juga umat Katolik
wajib mengatakan tidak pada praktik politisasi SARA sebagai wujud kecintaan
sebagai warga Gereja maupun sebagai warga negara Indonesia yang meyakini empat
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Untuk itulah Gereja
Katolik berpartisipasi dalam mempertahankan kesatuan Republik Indonesia dengan
turut menguatkan nilainilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Gereja Katolik
menegaskan bahwa mencintai Tanah Air berarti ikut mewujudkan nilai-nilai
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika serta memperjuangkan keutuhan NKRI, seperti
yang telah diperjuangkan oleh para tokoh Katolik.
Dalam
mewujudkan keluhuran martabat manusia, Gereja sangat mengecam tindakan
radikalisme, terorisme, intolransi terhadap mereka yang berbeda keyakinan,
serta politik yang menggunakan SARA yang mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa. Sikap terbuka Gereja Katolik didasari ketulusan untuk saling mengenal
dan membangun pengertian timbal-balik antarumat beragama. Melalui sikap terbuka
untuk dialog ini diharapkan mampu meruntuhkan tembok pemisah dan membangun
jembatan persahabatan dan persaudaraan. Gereja Katolik mengajak seluruh umat
beriman untuk mengembangkan serta melaksanakan berbagai gerakan persaudaraan
manusia, agar terciptanya perubahan yang lebih baik untuk bangsa Indonesia.
Gereja terus berupaya untuk menjadi ujung tombak dalam pengutan moderasi
beragama melalui komunitas umat beriman, dengan menjadikan umat Katolik yang
memiliki komitment kuat untuk berisikap moderat, toleran, dan menghargai
martabat setiap pribadi manusia.
1. Refleksi/
Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul
Setelah
membaca modul tentang Moderasi Beragama khususnya Kegiatan Belajar 1 tentang
Moderasi Agama dan Keterbukaan ada manfaat tersendiri untuk saya yakni saya dapat
mengukur apakah segala perilaku diri saya selama ini sudah masuk dalam kategori
moderasi agama atau belum, saya
berkomitmen untuk bermoderasi agama dalam segala segi kehidupannya serta saya
ingin melibatkan diri dalam gerakan-gerakan yang secara khusus mempromosikan
dan mengajarkan sikap moderasi beragama. Dari manfaat yang saya peroleh saya
membuat catatan reflektif tentang Jati diri saya sebagai Guru Agama Katolik dan
Moderasi Beragama.
Belajar
dari pengalaman bangsa yang jatuh bangun dalam membangun persatuan, moderasi
beragama dicetuskan sebagai sebuah ide untuk memperkuat persatuan bangsa.
Moderasi beragama membawa pesan kuat kepada masyarakat yang pada intinya
menyampaikan bahwa meskipun terdapat banyak agama di Indonesia, masyarakat
harus tetap bisa hidup berdampingan dengan damai. Tidak ada pandangan yang
menganggap bahwa ajaran suatu agama lebih benar dan ajaran lainnya adalah
keliru.
Guru
agama Katolik di sekolah-sekolah adalah tenaga pendidik yang bertanggung jawab
pada perkembangan budi pekerti dan pengetahuan anak didik di bidang moral. Guru
agama Katolik memegan peranan penting dalam menguatkan moderasi beragama.
Mereka adalah moderator, fasilitator dan pengajar yang dapat menyampaikan
gagasan dan ide moderasi beragama kepada anak-anak sejak dini.
Sejalan dengan perannya sebagai pendidik,
seorang gurua agama Katolik harus memahami lebih dahulu tentang moderasi
beragama itu. Nemo dat quod non habet
adalah salah satu adagium Latin yang sering digunakan dalam menggambarkan bahwa
seseorang harus memahami lebih dahulu tentang sesuatu, baru bisa mengajarkannya
kepada orang lain. Guru agama Katolik harus mampu menghidupi sikap dan pola
perilaku moderasi beragama terlebih dahulu, baru bisa mengajarkannya kepada
anak didik di sekolah. Setelah menanamkan nilai itu pada siswa-siswinya yang
beragama Katolik, siswa-siswi tersebut diharapkan dapat menularkan faham yang
baik itu kepada teman-temannya yang berbeda agama.
Dalam
mengajarkan faham moderasi beragama terdapat banyak cara atau metode yang dapat
digunakan oleh guru agama Katolik. Secara singkat metode-metode mengajar yang
sampai saat ini masih banyak digunakan dalam proses belajar mengajar adalah:
metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode tugas belajar dan
resitasi, metode kerja kelompok, metode demontrasi dan eksperimen, metode
sosiodrama (role-playing), metode problem solving, metode sistem regu (team teaching), metode latihan (drill), metode karya wisata (field-trip), metode resourse person
(manusia sumber), metode survei masyarakat, metode simulasi.
Menggunakan
metode secara bergantian dapat mempercepat proses stimulasi daya tangkap anak
didik dalam menyerap ilmu yang disampaikan. Dengan metodemetode yang bervariasi
ini, gagasan moderasi beragama yang disampaikan kepada peserta didik menjadi
lebih menarik dan tidak membosankan. Pada akhirnya materi moderasi beragama ini
menjadi materi yang diminati, dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan di
tengah keberagaman.
Dapat
dipahami bahwa ketika guru agama mengajarkan faham tentang moderasi beragama
kepada anak didik dalam konteksnya sebagai katekis, berarti ia sedang melaksanakan
kegiatan katekese untuk menyampaikan paham-paham yang baik kepada anak
didiknya. Selain itu, ia juga sedang melaksanakan tugas pewartaan sebagaimana
diakui oleh Gereja melalui perutusan khusus (missio canonica) bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di
perguruan kateketik atau pastoral.
Selain
guru agama Katolik sedang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
seorang murid Kristus, sosialisasi moderasi beragama yang dilakukannya pun
mendapat harganya bagi anak didik sebagai generasi penerus bangsa. Dampak dari
pemahaman moderasi beragama yang ditanamkan kepada anak didik seja dini
barangkali belum kelihatan pada tahun-tahun dekat atau pada hitungan bulan.
Akan tetapi, pada saat anak didik yang saat ini mendapatkan pengajaran tentang
moderasi beragama, mengemban tugas dan tanggung jawab di tengah masyarakat
kelak, mereka sudah bisa bersikap lebih toleran, jauh dari tindakan
radikalisme. Mereka akan lebih mampu untuk bersikap wajar, tidak berlebihan dan
tidak berkekurangan dalam menjalankan ajaran agamanya di tengah masyarakat.
Bagi
saya, kesuksesan seorang guru agama Katolik dalam menanamkan faham moderasi
beragama kepada anak didik akan terlihat buktinya pada lima atau sepuluh tahun
yang akan datang. Oleh karena itu, apabila seorang guru agama Katolik turut
serta dalam mengajarkan faham moderasi beragama kepada anak didiknya di
sekolah, ia sedang melaksanakan kewajibannya untuk menyelamatkan masa depan
bangsa Indonesia dalam bingkai persatuan dan kesatuan.