Toleransi menjadi tema umum yang didengungkan di mana-mana karena ada persoalan intolerasi. Toleransi dalam pemahaman umum menjadi acuan bagi kita untuk memahami toleransi dalam kaitan dengan kehidupan menggereja.
Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Agama sangat berperan penting dalam kehidupan untuk menata nilai-nilai manusia. Agama pula menjadi kebutuhan rohani atau sebagai spiritual bagi manusia dan sang pencipta. Setiap agama mengajarkan hal hal yang baik dalam berkehidupan dan tidak mengajarkan hal yang buruk. Setiap agama menyampaikan adanya saling kerukunan dan kedamaian. Tetapi sekarang sering terjadi konflik apalagi dinegara Indonesia, yang mana agama selalu dibawa demi kepentingan pribadi.
Toleransi
secara etimologis berasal dari bahasa latin “tolerare”, yang berarti sabar dan menahan
diri. Toleransi didefenisikan sebagai suatu sikap
saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam
masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi dapat menghindari
terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang
berbeda dalam suatu kelompok masyarakat.
Toleransi
dapat mempunyai warna etis-sosial, religius, politis dan yuridis serta
filosofis maupun teologis. Secara kasar toleransi merujuk pada sikap membiarkan perbedaan pendapat dan
perbedaan melaksanakan pendapat untuk beberapa lapisan hidup dalam satu
komunitas. Secara umum pemahaman toleransi meliputi pendirian mengenai membiarkan berlakunya keyakinan
atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai pada level religius, sosial, etika
politis, filosofis maupun tindakan-tindakan yang selaras dengan keyakinan
tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu
masyarakat atau komunitas.
Istilah
toleransi mencakup banyak bidang. Salah satu bagiannya adalah toleransi beragama, yang dipahami sebagai sikap saling menghormati dan menghargai antar
penganut agama lain, seperti:
- Tidak memaksakan orang lain untuk menganut
agama kita;
- Tidak mencela/menghina agama lain dengan
alasan apapun; serta
-
Tidak melarang ataupun mengganggu umat agama lain untuk beribadah sesuai
agama/kepercayaannya.
Pada
umumnya manusia hidup dengan bentuk atau pola
toleransi: dalam keluarga, dalam kampung, dalam organisasi, dalam paguyuban
beriman, dalam perusahaan, dalam pernerintahan. Dalam komunitas politik, dalam
bidang-bidang nilai, toleransi secara mutlak diperlukan demi demokrasi. Namun
toleransi memang membutuhkan batas. Batasnya adalah bahwa pelaksanaan toleransi
tidak mengganggu ketertiban umum. Namun perlu juga disadari bahwa batas itu
tidak jelas. Motivasi toleransi dalam komunitas politik adalah kesetaraan semua
warga. Pluralisme menjadi landasan mutlak. Ide dasarnya adalah bahwa tak ada
manusia yang bisa memiliki kebenaran utuh maupun cara menemukan kebenaran
secara sempurna. Sebab pencarian kebenaran diakui sebagai proses majemuk yang
menyejarah, tidak sekali jadi. Selain itu toleransi diperlukan agar suara hati
masing-masing orang dapat berfungsi secara wajar dan saling dihargai.
Pengertian
toleransi dapat juga diartikan sebagai kelapangan dada, suka rukun dengan siapa
pun, membiarkan orang berpendapat, atau berpendirian lain, tidak mengganggu
kebebasan berpikir dan berkeyakinan dengan orang lain. Dalam pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa toleransi pada dasarnya memberikan kebebasan
terhadap sesama manusia, atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan
keinginanya atau mengatur hidupnya, mereka bebas menentukan nasibnya
masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak
melanggar dengan aturan yang berlaku sehinga tidak merusak sendi-sendi
perdamaian. Perbedaan tak dapat
dipungkiri di dunia ini, didalam perbedaan akan sangat di perlukan di dalamnya
adanya tengang rasa, pengertian dan toleransi.
Di
dalam memaknai toleransi terdapat dua penafsiran. Pertama, penafsiran yang
bersifat negatif yang menyatakan bahwa toleransi itu cukup mensyaratkan adanya
sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda
maupun yang sama. Sedangkan yang kedua adalah yang bersifat positif yaitu
menyatakan bahwa harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang
lain atau kelompok lain.
Toleransi
dalam pelaksanaanya dalam sikap harus didasari pula oleh sikap kelapangan dada
terhadap orang lain dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang
sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut. Rasa penuh
keikhlasan dan dapat menerima hal-hal yang tidak sama dengan prinsip yang
dipegang sendiri tetapi hal tersebut tak lantas membuat dasar prinsip sendiri
hilang bahkan membuatnya semakin kuat.
Toleransi
beragama mempunyai arti sikap lapang dada seseorang untuk menghormati dan
membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan
ketentuan agama masing-masing yang diyakini tanpa ada yang mengganggu atau
memaksakan baik dari orang lain maupun dari keluarganya sekalipun. 8 Karena
manusia memiliki hak penuh dalam memilih, memeluk dan meyakini sesuai dengan
hati nuraninya. Tak seorang pun bisa memaksakan kehendaknya. Untuk itu
toleransi beragama sangatlah penting untuk menciptakan kerukunan umat beragama.
Umat
beragama pada saat ini menghadapi problematika baru bahwa konflik agama sebagai
fenomena nyata. Karena hal tersebut umat beragama harus menemukan titik
persamaan, bukan mencari perbedaan yang pada akhirnya jatuh pada konflik
sosial. Namun pada kenyataanya, sejarah sudah membuktikan bahwa konflik agama
menjadi sangat rentan, bahkan sampai menyulut pada rasa dendam oleh umatumat
sesudahnya. Inti masalah sesungguhnya bahwa perselisihan atau konflik antar
agama adalah terletak pada ketidak-percayaan dan adanya saling curiga.
Masyarakat agama saling menuduh satu sama lain sebagai yang tidak toleran, dan
keduanya menghadapi tantangan konsep-konsep toleransi agama. Tanpa harus
mempunyai kemauan untuk saling mendengarkan satu sama lain. Inilah sah satu
satu sebab terjadinya ketidakharmonisan umat beragama di Indonesia.
Perbedaan
adalah hal yang tak dapat dipungkiri oleh siapapun. Dalam toleransi semakin
dalam perbedaan semakin dalam pula diperlukan sikap tenggang rasa pengendalian
diri dan pengertian. Jika ada pertentangan seperti apapun itu harus memeliki
kesadaran untuk selalu menjaga kesetiakawanan, toleransi dan rasa persaudaraan.
Harus pula bisa mengendalikan diri dari emosi yang bisa memicu permusuhan.
Setiap manusia juga harus menanggalkan sikap egois, ingin menang sendiri dan
menganggap dirinyalah yang selalu benar. Setiap perbedaan ataupun
kesalahpahaman yang terjadi sebisa mungkin diselesaikan secara bersama tanpa
ada perasaan memihak ataupun membeda-bedakan. Karena pada hakikatnya perbedaan
bukan untuk dibedakan tetapi untuk memberikan warna dalam nuansa perdamaian.
Untuk menciptakan kondisi yang penuh perdamaian, masyarakat, pemerintah dan
negara harus saling bahu membahu untuk mencapai tujuan bersama. Karena
pemerintah juga bertanggung jawab penuh atas eksistensi agama, kehidupan
beragama dan kerukunan hidup beragama. Antara masyarakat, negara, dan
pemerintahan masing-masing memiliki peranan yang penting dalam kontribusinya
membangun perdamaian. Masing-masing tak dapat dipisah dan berjalan
sendiri-sendiri karena antara masyarakat, negara, dan pemerintahan saling
memiliki keterkaitan. Negara berdiri karena adanya masyarakat yang kemudian di
dalamnya terdapat pemerintahan yang mengaturnya.
Toleransi dalam Ajaran Katolik
Gereja
Katolik mengajarkan adanya keselamatan kepada setiap orang yang percaya kepada
Injil. Gereja Katolik juga tidak egois bahwa keselamatan tidak hanya pada agama
Katolik. Gereja Katolik mengakui adanya keselamatan diluar Gereja. Umat yang
tidak mengenal Injil tetap memperoleh keselamatan kekal. Gereja Katolik
menyadari akan adanya ajaran dari agama-agama yang berbeda. Perbedaan itu
mengungkapkan kenyataan mengenai ajaran kebenaran dari setiap agama yang ada.
Membangun kehidupan beragama yang baik bukanlah berdasarkan
toleransi yang semu, yang mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa semua agama
sama saja. Gereja Katolik tetap menghargai agama-agama
yang lain, mengimani adanya unsur-unsur
kebenaran di dalam agama-agama yang lain, namun tanpa perlu mengaburkan apa
yang dipercayainya, yaitu sebagai Tubuh Mistik Kristus, di mana Kristus sendiri
adalah Kepala-Nya. Oleh karena itu, Gereja Katolik tetap melakukan
evangelisasi, baik dengan pengajaran maupun karya-karya kasih. Dengan kata
lain, Gereja terus mewartakan Kristus dengan kata-kata dan juga dengan
perbuatan kasih.
Konsili
Vatikan II dalam Nostra Aetate mengatakan demikian :
“Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan
suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merefeleksikan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta
ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan
diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang
menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib
mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia
manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan
segala sesuatu dengan diri-Nya. Maka Gereja menmemotivasi
para
puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja
sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang
iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan
harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat
pada mereka.”
Toleransi
menjadi bermasalah ketika salah satu pihak merasa dalam posisi mutlak benar,
khususnya karena ketentuan ilahi. Sulitnya adalah bahwa
toleransi diperlukan pada saat orang harus mewujudkan suatu yang tampaknya
mutlak namun harus ditampakkan dalam kondisi terbatas. Kondisi terbatas itu
dapat secara. mendasar berbatas atau secara insidental berbatas, misalnya
tergantung situasi politik, sosial, ekonomis, budaya, psikhis atau biologis.
Paus
Yohannes XXIII dalam Pacem in Terris (no. 14) menunjukkan sikap positif juga
terhadap toleransi. Toleransi didukung oleh pendirian bahwa pada kodratnya
semua manusia itu sama. Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia menjelaskan seluruh sikap itu dalam rangakaian satu sama lain,
yang secara berangsur-angsur dilengkapi: bahwa dari alasan kodratinya semua
manusia hanya mempunyai pilihan untuk mentoleransi pendirian dan praktik hidup,
satu sama lain. Sebab setiap manusia, dari kodratnya sendiri, memang setara.
Maka tidak ada alasan bahwa orang satu tidak mentoleransi orang lain.
Gereja
Katolik membenarkan
bahwa setiap orang memiliki hak
untuk memilih keyakinannya masing-masing dan tidak boleh dipaksa maupun
dicampuri oleh pihak manapun termasuk peraturan negara sekalipun. Ajaran Gereja
melalui Konsili Vatikan II, dalam dekrit Dignitatis Humanae artikel dua
mengajarkan tentang kebebasan beragama.
“Pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama.
Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari
pihak orang-perorangan maupun kelompok–kelompok sosial dan kuasa manusiawi mana
pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa
untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam
batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan
maupun di muka umum, baik sendiri maupun bersama orang lain. Konsili menyatakan
bahwa hak atas kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi
manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal
budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama itu harus diakui dalam tata
hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.” (Dignitatis Humanae,
Artikel 2).
Pernyataan
dalam ajaran Gereja ini ingin menyampaikan bahwa Gereja Katolik sangat
menghormati adanya perbedaan. Gereja menyadari bahwa Gereja Katolik merupakan
salah satu agama dari sekian banyak agama di dunia. Gereja berusaha membangun
toleransi yang positif. Gereja Katolik menjawabi kenyataan banyak agama itu,
dengan sikap toleransi. Ajaran toleransi itu sudah ditampakkan dalam
dokumen-dokumen Gereja. Gereja juga meyakini bahwa agamaagama yang ada memiliki
nilai dimata Tuhan. Ajaran toleransi yang ingin dikenalkan Gereja Katolik bukan
hanya sekedar ucapan membiarkan umat beragama beribadah ataupun tidak melarang
agama-agama lain. Gereja Katolik menginginkan untuk hidup berdampingan dengan
saling menghormati dan saling belajar melalui perbedaan yang dihadapi.
Kalau
kita mau sempurna, tentu tidak puas dengan hanya bersikap toleran. Kalau kita
mau realistis, mungkin malah harus belajar toleran. Sebab, jangankan mau
sempurna mencintai sesama seperti diri sendiri, toleran pada sesama pun kita
belum tentu dapat.
1. Refleksi/
Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang dengan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi
yaitu baik dari segi agama, ras, etnis, budaya, dan lain sebagainya. Hal
tersebut merupakan suatu potensi, yakni yang dapat menjadikan sebagai pemersatu
suatu bangsa. Akan tetapi dengan adanya tingkat kemajemukan yang tinggi
tersebut juga sekaligus bisa menjadikan sebuah ancaman yang sangat besar yakni
sebagai faktor yang sangat rentan akan timbulnya sebuah konflik.
Dalam
realitasnya, konflik akibat intoleransi sampai saat ini masih sering terjadi
dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Padahal, mestinya kenyataan adanya
perbedaan agama, paham, penafsiran dan organisasi keagamaan haruslah diterima
sebagai kenyataan yang harus diterima. Solusi yang harus diupayakan adalah
bagaimana mengelola perbedaan itu menjadikan kekuatan dalam kehidupan sosial
keagamaan dan mencerminkan kedewasaan beragama dalam kerangka kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sejak dini harus sudah
ditanamkan kesadaran kepada anak-anak, pelajar, pemuda dan mahasiswa tentang
adanya realitas kemajemukan bangsa ini.
Toleransi
merupakan elemen dasar yang dibutuhkan untuk menumbuh kembangkan sikap saling
memahami dan menghargai perbedaan yang ada, serta menjadi entry point bagi
terwujudnya suasana dialog dan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat.
Agar tidak terjadi konflik antar umat beragama dalam masyarakat. Agar tidak
terjadi konflik antarumat beragama, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif
untuk kelompok masyarakat, dari tingkat anak-anak, remaja, hingga dewasa. Lebih
dari itu prinsip-prinsip toleransi harus betul-betul bekerja mengatur
perikehidupan masyarakat secara kolektif.
Peranan
agama dalam sejarah selalu merupakan hal yang memiliki dua peran sekaligus. Di
satu pihak, agama telah memberikan nilai dan visi, sumber spiritualitas,
prinsip-prinsip etik dan dorongan revolusioner untuk memerangi ketidakadilan
dan penindasan dalam masyarakat. Di lain pihak, umat beragama dan
institusi-institusi agama seringkali menghalangi kamajuan-kemajuan ilmiah dan
perkembangan serta perubahan sosial, dan dalam beberapa kondisi, juga berada
dalam pihak kaya dan kuat yang melawan si miskin dan lemah. Tambahan lagi mereka
juga menyumbangkan ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik dalam masyarakat.
Demikianlah
yang terjadi, sekalipun para penganut agama biasanya menyanggah pernyataan
tersebut sambil mangakui bahwa keonaran memang senantiasa muncul dikalangan
penganut agama, namun dalam hal ini agama tidak bisa dipersalahkan. Yang salah
adalah para penganutnya, karena tidak memahami sekaligus mempraktekkan ajaran
agama secara benar. Tetapi bagi yang kritis akan membalik argumen di atas
dengan mengatakan: kalau agama itu memang benar namun tidak mampu mempengaruhi
para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa
gunanya agama yang benar namun tidak dapat mempengaruhi watak pemeluknya.
Oleh
karenanya, sikap intoleransi harus dideteksi sejak dini dan dijadikan dasar
untuk mengembangkan budaya toleransi, demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.Dapat dikatakan bahwa agama lain di IndonesiaIslam, Kristen
Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan kepercayaan lain-secara normatif
mengajarkan kepada pemeluknya agar bersikap positif kepada komunitas beragama
lainnya yang menganut praktek keagamaan yang berbeda. Sehingga mereka semua
terbuka untuk saling berdialog. Karenanya, sangat penting untuk menekankan
ajaran normatif agama tentang nilai toleransi. Tetapi, pembicaraan normatif
saja tidak cukup. Mungkin kita membutuhkan suatu konversi-bukan dalam arti
mengubah agama kita-tetapi mengubah wawasan sempit yang ekslusif dalam
kehidupan nyata sehari-hari menjadi sikap toleransi positif dan saling menghormati.
Sekolah
merupakan sebuah lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan
masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli sosiologi pendidikan,
bahwa terdapat relasi yang kuat antara dunia pendidikan dengan masyarakat. Baik
dan buruknya masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana sesungguhnya
pendidikan berperan dalam masyarakat yang berfikir dewasa, terbuka, arif dan
bijaksana.Guru merupakan salah satu faktor kunci dari keberhasilan dalam proses
belajar mengajar disekolah. Sebagai pihak yang bertindak sebagai transfere of
knowledge dan fasilitator para siswa disekolah, tenaga pendidik (guru)
merupakan profesi yang mutlak membutuhkan persyaratan kemampuan (kompetensi).
Sebagai suatu sistem, pendidikan memiliki sejumlah komponen yang saling
berkaitan antara satu dan lainnya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Komponen pendidikan tersebut antara lain; komponenkurikulum, guru, metode,
sarana prasarana, dan evalusai. Selanjutnya, dari sekian komponen pendidikan
tersebut, guru merupakan komponen pendidikan terpenting, terutama dalam
mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu
pendidikan.
Dapat
dikatakan bahwa semua agama di Indonesia
yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan kepercayaan lain
secara normatif mengajarkan kepada pemeluknya agar bersikap positif kepada
komunitas beragama lainnya yang menganut praktek keagamaan yang berbeda.
Sehingga mereka semua terbuka untuk saling berdialog. Karenanya, sangat penting
untuk menekankan ajaran normatif tentang nilai toleransi. Tetapi pembicaraan
normatif saja tidak cukup. Mungkin kita membutuhkan suatu konversi bukan dalam
arti mengubah agama kita, tetapi mengubah wawasan sempit yang eksklusif dalam
kehidupan nyata sehari-hari menjadi sikap toleransi positif dan saling
menghormati.
Selanjutnya,
bagaimana pendidikan dapat menyumbangkan toleransi beragama, yaitu dengan:
a.
Pertama kali, pandangan-pandangan atau sindiran-sindiran negatif pada agama
lain harus dihindari. Seluruh bentuk pesan kebencian harus dihentikan.
b.
Guru atau pemimpin agama harus selalu bersikap hormat ketika membicarakan
kepercayaan, praktek atau komunitas agama lain. Jika ia hendak mengkritik
sesuatu, hal ini harus dilakukan dengan cara yang sesopan dan selayak mungkin
dengan cara menunjukkan bahwa kritisisme berasal dari sudut pandang agama lain
yang terkait.
c.
Berkebalikan dengan larangan bagi anak dari keluarga yang memeluk suatu agama
untuk berinteraksi dengan anak dari keluarga yang memeluk agamalain, justru
interaksi di antara mereka harus digalakkan. Anak-anak hendaknya didorong untuk
saling memberikan ucapan selamat pada hari raya keagamaan dan ikut serta
menikmati kegembiraan.
d.
Anak-anak dari berbagai agama hendaknya dilibatkan bersama dalam suatu kegiatan
sosial budaya. Setelah mereka mencapai usia dewasa dan duduk dibangku sekolah
pada tingkat yang memungkinkan mereka untuk berpikir mandiri, hendaknya mereka
dibimbing untuk berdiskusi bersama tentang problem-problem sosial dan etika
politik seperti narkotika, AIDS/HIV, demokrasi, HAM, masalah hak-hak kaum
minoritas dari sisi etnis, suku, dan agama, keadilan sosial, solidaritas
terhadap masyarakat miskin, dan masalahmasalah terkait lainnya.
e.
Pada seluruh jenjang pendidikan tinggi dan universitas, mahasiswa hendaknya
menerima pengetahuan dasar tentang kepercayaan dan praktek keagamaan dari
agama-agama resmi negara dari dosen yang berkompeten dan simpatik yang
mempunyai sudut pandang moderat.
f.
Anak-anak dan generasi muda harus belajar untuk tidak melecehkan anak-anak dari
kelompok minoritas, tetapi sebaliknya harus mengembangkan sikap toleran dan
bertanggung jawab kepada mereka.
g.
Generasi muda secara terang-terangan harus dikenalkan dengan kenyataan bahwa
masyarakat modern, termasuk masyarakat mereka sendiri, adalah majemuk. Mereka
hendaknya juga diajari keterampilan dan pengetahuan yang dapat menjadikan
mereka menguasai secara positif pluralisme budaya dan agama. Generasi muda
jangan didorong pada pola pikir fanatik yanng sempit, tetapi hendaknya diajari
untuk berpola pikir terbuka dan toleran.
Selain
itu guru sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya tidak terlepas dari
kehidupan lingkungan sosial dan masyarakat, maka seorang guru juga dituntut
untuk memiliki kompetensi sosial, kompetensi sosial guru tersebut
sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk: (a) Berkomunikasi lisan, tulis,
dan/atau isyarat secara santun; (b) Menggunakan teknologi komunikasi dan
informasi secara fungsional; (c) Bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua
atau wali peserta didik; (d) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar
dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; (e) Menerapkan
prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
Peran
guru dalam menumbuhkan nilai toleransi pada peserta didik di Sekolah dapat
dilakukan melalui berbagai cara. Dari hasil pengalaman saya sebagai guru agama
Katolik, yaitu mengenai upaya dan usaha yang dilakukan guru Pendidikan Agama
Katolik untuk menumbuhkan nilai toleransi siswa dalam aspek memotivasi diri.
Peran
guru pendidikan Agama Katolik tersebut adalah guru sebagai motivator, mediator,
dinamisator , inspirator.
a)
Guru sebagai motivator maksudnya memberikan motivasi kepada siswa agar siswa
dapat berakhlak terpuji dan selaui berbuat baik pada semua orang.
b)
Guru sebagai mediator adalah guru menjadi media bagi siswa-siswinya untuk
memperdalam keilmuan agamanya.
c)
Guru sebagai dinamisator, guru mendinamiskan siswa yang sedang mengalami
permasalahan-permasalahn agar dapat menyelesaikan masalah tersebut. Adapun
siswa yang bisa bercerita bukan hanya siswa yang beragama Katolik saja, akan
tetapi semua siswa tidak memandang suku, agama dan ras.
d)
guru sebagai inspirator, guru akan menginspirasi siswa dengan memberikan
masukan-masukan atau motivasi bahwa perbedaan itu indah dan perbedaan adalah
rahmat dan anugerah Tuhan.
Penanaman
nilai-nilai toleransi beragama pada pembelajaran Pendidikan Agama Katolik yang
berlangsung di sekolah, dimana
pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan
1)
memberi kesempatan kepada semua peserta didik untuk mengikuti pembelajaran
agama sesuai pemahaman agamanya masing-masing,
2) menciptakan iklim toleran pada setiap
pembelajaran (belajar dalam perbedaan, membangun rasa saling percaya,
memelihara sikap saling pengertian, menjunjung tinggi sikap saling mengasihi).
3)
memperdalam materi terkait (Toleransi).