Kita ambil contoh sederhana, misalnya terdapat seorang
Menteri yang kemudian ia juga merupakan kader atau bahkan ketua umum partai
politik. Siapa yang akan dapat menjamin bahwa setiap ruang dan geraknya adalah
representasi kepentingan public? Sama halnya dengan setiap anggota DPR dalam
memutuskan sesuatu di sanayan. Siapa yang bisa menjamin bahwa setiap keputusan
yang diambil merupakan representasi dari kepentingan public? Sedangkan dalam
setiap pengambilan keputusan, padangan fraksi menjadi bagian yang penting dalam
keputusan tersebut.
Lebih parah lagi Ketika ada Menteri yang kemudian ia
juga sebagai ketua umum partai. Jika terjadi fenomena rapat Bersama komisi di
DPR, yang kemudian ketua komisi dan anggota komisi tersebut terdapat anggota
partai politik yang sama dengan ketua umum partai, apakah akan ada jaminan
terjadi checks and balances di ruangan itu?
Hal sederhana seperti ini akan dapat mempengaruhi
kinerja pejabat public yang kemudian akan berdampak ke masyarakat lebih luas.
Tidak ada yang dapat menjamin bahwa pejabat public yang kemudian juga sebagai
ketua umu partai maupun anggota partai tidak melayani kepentingan partainya,
sedangkan kepentingan partai belum tentu menjadi keinginan atau kebutuhan
masyarakat.
Jika kita telisik Kembali Undang-Undang yang
mengatur tentang Partai politik, yaitu Undang-Undang No 2 Tahun 2008 terkhusus
pada BAB V tentang tujuan dan fungsi, terdapat ayat dan poin yang sedikit
ambigu Ketika di telaah Kembali. Contohnya pada Pasal 11 ayat 1 tentang fungsi
partai politik pada poin c yang berbunyi “penyerap, penghimpun dan penyalur
aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara”.
Dalam poin ini, penulis merasa ambigu, mengingat
dalam poin tersebut masyarakat juga seharusnya dilibatkan oleh partai politik
dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Sedangkan dalam pengambilan
keputusan partai politik yang juga diatur dalam Undang-undang No 2 Tahun 2008
BAB X Tentang pengambilan keputusan pada pasal 28 berbunyi “pengambilan
keputusan sebagaimana dimaksud pada pasal 27 sesuai dengan AD/ART partai
Politik”. Artinya jika dalam pengambilan keputusan Partai Politik di kembalikan
lagi ke aturan internal Partai Politik, maka tidak ada kewajiban masyarakat
terlibat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan Partai Politik.
Bukankah merumuskan dan menetapkan kebijakan negara
seperti yang dimaksud pada pasal 11 ayat 1 diatas merupakan bagian dari
keputusan partai politik? Jika tidak maka perdebatan akan selesai. Namun jika
iya, tentu ini menjadi masalah terhadap masa depan perumusan kebijakan publik
mengingat peran dan keterlibatan masyarakat sangat nihil untuk itu.
Namun penulis mencoba berasumsi, jika pasal 28 itu
tidak ada kaitannya terhadap pasal 11 ayat 1 poin c, lantas seperti apa
mekanisme partai politik ini dalam fungsinya sebagai penyerap, penghimpun dan
penyalur aspirasi masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara?
Jika kemudian ada yang menjawab, mekanisme penyerapan, penghimpun dan penyalur
aspirasi masyarakat dilakukan oleh DPR yang berasal dari partai tersebut,
berarti benar bahwa setiap anggota DPR merupakan representasi dari partai.
Kemudian bagaimana jika penyerapan, penghimpun dan
penyalur aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh DPR jika seperti asumsi diatas
berbeda dengan sikap partai? Mengingat terdapat tesis pada paragraf diatas yang
menyatakan bahwa tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengembilan keputusan
partai politik.
Tentu tahap paripurnanya adalah sikap partai,
mengingat pengambilan keputusan di senayan didasarkan pada pandangan oleh sikap
setiap Fraksi partai politik. Belum jika kita berbicara contoh kasus ketua umum
partai yang menjadi Menteri, kemudian melakukan rapat komisi untuk merumuskan
kebijakan dan melakukan koreksi, yang kemudian dalam perumusan kebijakan dan
koreksi tersebut didasarkan dari sikap partai politik yang ketua umumnya juga
sebagai Menteri yang sedang rapat komisi Bersama anggota DPR yang juga anggota
partai dari ketua umum tersebut. Apakah ini sebuah posisi yang ideal?
Penulis berpendapat, jika sistem pemerintahan yang
menerapkan konsep trias politica dapat berjalan dengan ideal, harus ada
pembatasan ruang dan waktu terhdap partai politik agar tidak terjadi konflik
kepentingan dan juga ambiguitas dalam menjalankan peran dan fungsi
masing-masing jabatan. Mungkin ini yang menjadi penyebab utama, lemahnya
control dan serapan aspirasi public yang dilakukan oleh DPR saat ini.
Seharusnya ada pembatasan aturan bagi pejabat
public, khususnya eksekutif yang mengatur agar status keterikatan terhadap
Partai Politik tertentu harus dihilangkan, serta terkhusus di Legislatif agar
mengatur secara gambling atau bahkan merevisi mekanisme pengambilan keputusan
di Legislatif yang didasarkan bukan dari sikap Fraksi.
Kita semua berharap, agar sistem demokrasi di
Indonesia dapat efektif dalam merumuskan kebijakan public yang memang
benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat agar dapat mewujudkan Masyarakat yang
sejahtera sesuai dengan semangat dan tujuan Indonesia merdeka. Demokrasi bukan
perihal memilih pemimpin saja, namun juga partisipasi dalam pengambilan keputusan
agar dapar berpihak ke rakyat Indonesia.