Namun, itu adalah pandangan yang picik. Nyatanya,
setiap pertemanan bekerja pada berbagai level intensitas, berjalan pada
fungsi-fungsi yang berbeda, memenuhi kebutuhan yang berbeda. Dengan kata lain,
macam pertemanan amat luas. Ia berkisar dari teman sehati-sejiwa hingga kawan
bermain yang paling cuek sekalipun.
Dengan mengadopsi kategorisasi Judith Viorst,
seorang humoris popular dan editor buku Redbook, saya mengemukakan sejumlah
tipologi pertemanan.
Pertama, teman sewaktu-waktu (convenience friends).
Ia adalah teman tanpa alasan yang khas: tetangga sebelah rumah, kenalan di
tempat pemandian mobil, ibu dari teman paling akrab anak Anda, atau ibu-ibu
ketika Anda menikmati juice dan kue-kue setiap minggu di taman bermain
anak-anak. Teman sewaktu-waktu semata-mata terkait dengan waktu. Ia meminjam
perabot makannya ketika Anda menyelenggarakan pesta; membawa anak Anda menonton
sepak bola dengan mobilnya ketika Anda sakit; mengantarkan Anda menjemput mobil
di bengkel, atau merawat kucing kesayangan Anda ketika Anda pergi liburan.
Sebagaimana Anda melakukan hal yang sama buatnya.
Tetapi, Anda tidak pernah terlalu dekat atau bercerita terlalu banyak padanya.
Anda tetap mempertahankan wajah publik dan jarak emosional Anda darinya. Anda
hanya menuturkan kelebihan berat badan, tapi bukan karena didera depresi; Anda
bercerita padanya kalau Anda marah, tapi bukan karena meradang murka; Anda
mengungkapkan terjepit uang bulan ini, tapi bukan karena mengalami krisis
keuangan dewasa ini. Namun demikian, bukan berarti tidak ada nilai-nilai
berharga yang dijumpai pada jenis pertemanan ini. Unsur tolong-menolong melekat
kuat padanya.
Kedua, teman kepentingan khusus (special-interest
friend). Macam pertemanan ini tidak dekat dan tidak perlu melibatkan anak-anak,
alat-alat dapur, binatang piaraan. Nilainya terletak pada adanya kepentingan
yang sama; teman sekantor, teman se-klub latihan Yoga, teman bermain tennis,
atau teman dari Asosiasi Advokasi Wanita.
Ketika masih mahasiswa, saya punya kenalan yang
sama-sama pernah ikut kursus psikologi. Kami sama-sama menikmatinya. Senang
rasanya pergi bersama orang yang kita kenal, berdiskusi tentang materi yang
telah kita pelajari, pulang bersama seusai kursus. Perkaranya, apa yang kami
perbuat cuma bekerja bersama (doing together), bukan menjadi bersama (being
together).
Wulan, seorang rekan wanita, pernah bertutur kepada
saya bahwa ia punya teman yang punya hobi pergi shopping; yang memiliki cita
rasa tinggi; yang tahu persis di mana untuk membeli apa; dan, lebih penting
dari itu semua, yang tahu apa yang mesti dibeli. Wulan tidak punya waktu
mengikuti perkembangan terbaru eyeshadow, hemlines, sepatu, bahkan baju kaus.
Tapi, semenjak itu (ya ampun!) ia tahu persis model terbaru eyeshadow,
hemlines, atau sepatu. Ia mulai risih bila baju kausnya mulai terlihat
ketinggalam zaman. Ia sangat senang punya teman dengan hobi suka berbelanja.
Ketiga, teman sejarah (historical friend). Saya
ingat seorang teman yang tahu betul bagaimana saya sewaktu kelas dua SD bersama
Ibu Endang, sewaktu sama-sama “main lore” di belakang rumah di desa Sukarami,
sewaktu keluarga saya harus pindah dari rumah kontrakan yang satu ke kontrakan
yang lain, sewaktu bapak tercinta “dirumahkan” selama tujuh bulan, dan sewaktu
adik saya Farhan dituduh mencuri dan ditahan polisi walau sukar dibuktikan.
Kami saling memahami tekstur hidup masing-masing.
Ia selalu memuji sup kol yang dibuta nenek saya
setiap Minggu pagi, sebagaimana saya tak akan melupakan kelihaian jari-jemari
pamannya seketika bermain piano. Namun, waktu telah bergulir dan kami menjalani
hidup yang berbeda. Sekarang, karena persoalan waktu dan tempat, kami hanya
punya sedikit persamaan, tapi kami tetap menjadi bagian yang erat dari masa
lalu.
Hal yang tak jauh berbeda bisa terjadi pada siapa
pun, termasuk diri Anda. Ketika pergi ke Bukittinggi, Anda akan singgah ke
rumah “konco pelangkin” Anda semasa remaja dulu. Yang mengetahui bagaimana rupa
gigi Anda di saat masih pakai kawat gigi. Yang mendengar bagaimana “gegernya”
suara Anda sebelum ikut latihan vokal dengan group Teater Harakah di Fakultas
Sastra Unand. Yang menyaksikan penampilan Anda pertama kali di depan kelas
setelah lulus jadi dosen. Dan yang, dengan kehadirannya, menghampirkan Anda
lebih dekat dengan bagian terdepan diri Anda, sebuah bagian paling penting
untuk tidak pernah dan akan Anda lupakan. Tidak semua teman yang bisa
mengembarakan memorinya kepada itu semua.
Keempat, teman persimpangan jalan (crossroad friend).
Seperti halnya teman sejarah, teman jenis ini diukur dari derajat signifikansi
yang dikandungnya, baik telah atau tengah berlangsung. Mungkin ia adalah teman
satu ruangan dengan Anda di saat kuliah; di saat Anda masih sebagai karyawan
muda yang gesit di sebuah kota besar; atau di saat Anda bersama-sama melewati
masa kehamilan, kelahiran dan tahun-tahun mencekam untuk menjadi seorang ibu.
Kehadirannya telah membuhulkan ikatan yang kuat,
suatu ikatan yang punya potensi raksasa untuk menjadi abadi, meskipun kedekatan
hari ini hanya ditandai kartu ucapan Lebaran sekali setahun. Atas hasrat yang
sama untuk meraih mimpi yang sama, di sanalah berseminya pertemanan yang kuat.
Kelima, teman lintas generasi (cross-generational
friend). Teman sejarah dan persimpangan jalan ditandai oleh keinginan untuk
memelihara suatu tingkat kedekatan khusus—pasif tapi siap dibangunkan kapan
saja. Bisa saja intensitas pertemuan Anda dengan mereka sudah relatif
berkurang. Hanya saja, bilamana Anda sekali berhubungan, sifatnya sangat intens
dan pribadi. Ikatan kedekatan serupa juga bisa tersambung kuat pada jenis
pertemanan yang lintas generasi, semisal hubungan orang tua dan anak—anak-ibu
atau anak-bapak.
Gemala punya seorang teman yang sebaya dengan ibunya.
“Saya berbagi banyak hal melebihi apa yang saya lakukan pada ibu kandung saya
sendiri“ ungkapnya. Wanita itu adalah tempat ia bercerita tentang musik, buku,
dan kehidupan. Gemala lebih lanjut berujar, “Yang saya peroleh darinya adalah
pengalaman yang amat berharga. Bagi saya, apa yang dialami dan dinikmatinya
adalah sebuah perspektif anak muda. Hal ini menjadi kesenangan tersendiri buat
kami berdua.”
Sewaktu di SMU, saya berkenalan dengan seorang ibu
yang sudah lanjut. Ia berumur enam puluh tahun. Ia seorang pekerja keras. Buat
saya, ia adalah sosok ibu yang bijaksana, yang tak jemu mendengarkan
keluh-kesah saya, yang selalu hadir tatkala saya membutuhkan pertolongan, dan
siap siaga membina fluktuasi rohani yang saya alami.
Ia adalah figur yang bukan saja menjadi cermin
seorang ibu yang ideal, ia bahkan seorang keramat hidup yang inspiratif di
tengah ketidakpastian, kejutan, dan risiko hidup. Sebagai anak, kita
mendambakan berbagi hati dan rahasia diri. Sebagai ibu atau bapak, kita menyambut
tersibaknya hati dan rahasia diri, berwatakkan kearifan demi memenuhi hasrat
anak muda yang tengah dan terus mencari. Sungguh macam pertemanan yang indah
sekali.
Keenam, ada teman pertengahan (medium friend), teman
yang cukup baik (pretty good friend), teman yang sangat baik (very good friend),
dan teman yang terbaik (best friend). Jenis pertemanan sulit dibedakan tapi
bisa dipisahkan. Ukurannya pada tingkat kedekatan. Bila dikerucutkan lagi,
semuanya disesuaikan dengan kadar kepedulian yang diberikan.
Sebagai misal, bila Anda seorang wanita yang sudah
berumah tangga, kepada teman pertengahan (medium friend) Anda hanya bercerita
kalau semalam bertengkar dengan suami. Tidak lebih; kepada teman yang cukup
baik (pretty good friend), Anda menuturkan bahwa pertengkaran itu membuat Anda
sedemikian marah sehingga sampai tidur di dipan gudang; kepada teman yang
sangat baik (very good friend) dengan terus terang Anda mengungkapkan betapa
kemarahan yang Anda rasakan ada hubungannya dengan wanita yang bekerja pada
kantor suami Anda; dan hanya kepada teman terbaik (best friend) Anda
menyibakkan tabir kejadian yang sebenarnya antara suami Anda dan wanita itu
sedetail-detailnya.
Saya percaya bahwa teman terbaik (best friend)
saling mencintai, menyokong, dan mempercayai secara total. Dengan teman
terbaik, kita mengungkapkan rahasia hati masing-masing, memberikan pertolongan
tanpa diminta, dan mengisahkan setiap kebenaran walaupun pahit dan menyakitkan.
Namun, kita—Anda dan saya—tidak harus setuju dengan
semuanya, menoleransi sudut pandang orang lain, dan menerima tanpa
pertimbangan, termasuk tipologisasi pertemanan di atas. Hanya anak berusia 12
tahun yang menerima apa pun tanpa pertimbangan. Apa yang dikemukakan di atas
hanya sekumpulam muara pikir yang pada akhirnya bakal menuju samudra kebenaran
yang sangat luas dan dalam.