Tokoh intelektual
asal Flores, Nusa
Tenggara Timur ( NTT ) tersebut diketahui meninggal pada Senin, 22 Januari
pukul 03.46 WIB di RS Suyoyo, Jakarta Selatan.
Kabar duka kepergian
Ignas Kleden juga beredar luas di grup WA. Alumni seminari tinggi Ledalero
tersebut meninggal dunia dalam usia 76 tahun.
"Dukacita mendalam
dan doa kami. Semoga almarhum mendapatkan kedamaian sejati di haribaan Allah
Maha Kasih. Dan semoga keluarga tercinta yang ditinggalkan, mendapatkan
penghiburan dari Allah sendiri," demikian ucapan duka dari seorang
kerabatnya.
Dikutip dari
www.katolikku.com, Dr. Ignas Kleden lahir pada tanggal 19 Mei 1948 Waibalun,
Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Setelah menyelesaikan
pendidikan di Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Larantuka, ia lalu
menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere,
Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer
Philosophie, Muenchen, Jerman (1982) , dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi
dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Selama tulisan ini
melalui tulisannya, Ia dikenal luas sebagai kebijaksanaan sastra, cendekiawan,
dan sosiolog kenamaan Indonesia.
Profil intelektual
dibangun sejak ia masih muda. Sejak mahasiswa filosofi di Ledalero, ia
aktif menulis di Majalah Vox yang dikelolah oleh sekolah tinggi tersebut.
Ketika masih tinggal di
Flores, Ignas sudah mengenal majalah Basis Yogyakarta dan rutin mengirimkan
tulisannya ke majalah itu.
Dia juga menulis
artikel di majalah Budaya Jaya Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk
majalah Tempo.
Ia pernah bekerja
sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. Selain
itu, ia juga pernah bekerja sebagai editor di yayasan Obor Jakarta (1976-1977),
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and
Economic Studies, Jakarta.
Ignas Kleden ikut
mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.
Setelah hijrah ke Ibu
Kota, tahun 1974, Ia semakin aktif menulis, baik di majalah maupun jurnal, dan
menjadi kolumnis tetap majalah Tempo.
Esainya mengenai
sastra dimuat di majalah Basis, Horison, Budaya Jaya, Kalam, harian Kompas, dan
lain-lain.
Buku Anjing-Anjing
Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan Kompas 1997) juga memuat esainya,
"Simbolis Cerita Pendek". Kumpulan esai tentang perbukuan, Buku
dalam Indonesia Baru (1999), memuat salah satu tulisannya, "Buku di
Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan".
Buku kumpulan esainya
adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) dan Sastra Indonesia dalam
Enam Pertanyaan (2004).
Ia menulis kata
pengantar untuk mempertimbangkan Tradisi karya Rendra (1993), Catatan Pinggir 2
karya Goenawan Mohamad (1989), dan Yel karya Putu Wijaya (1995).
Tahun 2003, bersama
sastrawan Sapardi Djoko Damono, menerima Penghargaan Achmad Bakrie. Ia
dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di
Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam melalui esai dan kritik
kebudayaannya.
Masih banyak tulisan
karya Ignas yang tersebar di berbagai jurnal, majalah,koran dan website, baik
nasional maupun internasional.
Dia tetap menulis aktif
hingga mau menyambutnya pada hari ini. Selamat jalan Pak Ignas.****