Kepekaan saya terhadap
adanya budaya feminisme postmodern berawal dari seringnya melihat konten-konten
wanita yang secara sengaja memamerkan oppai dan bodi hotnya. Konten wawancara
dadakan di pinggir jalan yang sengaja memberikan pertanyaan random juga
mewarnai kayanya beranda saya. Konten macam apa ini! Tapi kok nagih? Kok bikin
penasaran? Bodohnya lagi diputar hingga berulang kali.
Berdiskusi bersama
Novelia Putri seorang seleb Tik Tok yang memiliki 48,1 ribu followers dan telah
mendapat lebih dari 114 ribu like pada konten yang telah dipublikasikannya.
Baginya membuat konten di Tik Tok adalah sesuatu yang memberikan dampak positif
sekaligus memerdekakan dan memberdayakan.
“Membuat konten di Tik
Tok saya lakukan ketika gabut aja. Kontennya bebas, se-mood nya aja, lebih ke
hal yang baru sih, yang belum dipakai orang jadi hal itu menjadi daya tarik
orang” katanya (07/01/2024). Mayoritas konten yang ia publikasikan adalah
visualisasi dirinya baik berupa kumpulan foto (klip video jedag-jedug) dan
tarian tren viral yang dipadukan dengan backsound populer. Novelia mengatakan “Senangnya
buat konten di Tik Tok itu dapat uang dari banyaknya tayangan dan like, juga
bebas berekspresi”.
Feminisme postmodern
telah mengeksplorasi metode untuk memberdayakan perempuan melalui media
digital, salah satunya Tik Tok. Feminisme ini tidak disadari telah menavigasi
norma gender dalam masyarakat. Melalui sesuatu yang dianggap kepositifan seks
dan membiarkan perempuan atas kepemilikan seksualitas atas tubuh mereka adalah
cara guna melawan norma-norma gender patriarki. Kepemilikan ini mendorong
budaya barat terhadap budaya lokal guna menormalisasi konten yang dianggap
cabul dan bahkan termasuk ke dalam kategori pornografi ringan.
Hal ini tentu
memunculkan kontroversi, apakah feminisme standar Tik Tok ini memerdekakan dan
memberdayakan, atau justru mengobjektifikasi?
Feminisme Standar Tik Tok Mungkin Lebih Merugikan
daripada Menguntungkan Gerakan Feminis
Sebagai seorang
laki-laki, saya rasa adanya fenomena feminisme standar Tik Tok justru mengarah
ke objektifikasi kepositifan tubuh. Algoritme Tik Tok mendorong pengguna
(perempuan) untuk membuat konten-konten sugesif dan terang-terangan bersifat
seksual serta lebih ke arah menyombongkan anggota tubuh. Bukan tanpa maksud.
Konten seperti ini memperbesar peluang mereka untuk mendapat banyak penayangan
dan like serta sekaligus melibatkan mereka ke dalam algoritme viral.
Selaras yang dikatakan
Novelia, “banyak konten-konten yang memiliki konsep sama (seperti miliknya)
menirukan tren-tren viral seperti menari mendapat ribuan tayangan dan like”.
Wanita-wanita yang
memiliki standar kecantikan postmodern akan mendapat banyak penayangan dan
like. Meskipun gagasan tentang pengungkapan konten dan tren yang menampilkan
tubuh wanita dinilai sebagai sesuatu yang merendahkan adalah subjektif. Tetapi
yang jelas bagi saya konten semacam ini memunculkan maskulinitas beracun.
Di era saat ini,
anggapan tentang kepemilikan kepositifan atas tubuh perempuan melalui media
digital yang dianggap sebagai bagian dari feminisme adalah kepalsuan. Mengapa?
Sebab tetap saja kepemilikan sebenarnya terletak pada pandangan laki-laki.
Justru ini akan merugikan gerakan feminisme modern yang seharusnya mengangkat
seluruh kelompok perempuan yang terpinggirkan. Malahan sekarang tergantikan
dengan wanita-wanita good looking yang dianggap memiliki tubuh ideal. Wanita
yang dianggap “biasa” tidak akan mendapat sorotan publik.
Konten-konten seperti
ini selalu berada diposisi wahid. Generasi perempuan muda selama menggunakan
Tik Tok akan terus terpapar feminisme radikal. Jika ditentang maka mereka akan
berkoar-koar dan mendukung sebuah antitesis yang disebut “kebebasan”.
Algoritma Tik Tok Mampu Mendoktrin Kesetaraan Gender
yang Bullshit
Sering kali muncul di
beranda, konten-konten yang melontarkan satu pertanyaan random ke orang-orang
di jalan, terkhusus sasarannya adalah seorang wanita. Konten seperti ini memang
membuat kita penasaran, diputar hingga selesai bahkan berulang kali.
Teringat betul satu
konten Tik Tok yang menayangkan seorang wanita kemudian ditanyai soal kriteria
laki-laki idaman. Dari beberapa wanita sebagai narasumber menyatakan paradigma
yang hampir sama. Kesamaannya terlihat di pernyataannya menyebut tidak
membutuhkan laki-laki yang ganteng, asalkan sanggup membiayai gaya hidup wanita
itu. Terlihat materialistis.
Saat ditanya soal
pekerjaan rumah tangga, mereka menganggap pekerjaan semacam ini bukan
semata-mata tanggung jawabnya. Mereka berpendapat jika laki-laki yang ingin
mendapatkannya, maka mereka dituntut untuk menjadikan dia ratu dan melemparkan
pekerjaan tersebut ke asisten rumah tangga. Itu pun saya pikir kalo
laki-lakinya mampu memakai jasa asisten.
Banyak netizen
mendukung algoritme wanita tersebut di kolom komentar, bahwa wanita harus
diratukan tidak hanya laki-laki yang dianggap posisi utama dalam rumah tangga.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa feminisme Tik Tok dapat mendoktrin kesetaraan
gender soal pekerjaan. Jelas saya menganggap ini bukan lagi feminis tetapi
ingin memenangkan gender.
Namun bagi saya
kesetaraan gender tak akan terwujud secara fair. Wanita-wanita Tik Tok selalu
menengok ke atas, menganggap pekerjaan para Menteri, DPR atau pekerjaan berada
dan memiliki posisi semuanya mayoritas adalah laki-laki. Wanita menginginkan
kesempatan yang sama. Namun, ketika diberi statement bahwa mayoritas kuli
bangunan adalah laki-laki mereka bungkam. Harusnya diberikan kesempatan yang
sama dong, harus adil.
Pernyataan-pernyataan mereka soal kesetaraan gender tak lebih dari omong kosong. Tetapi yang jelas peristiwa ini menunjukkan gambaran cita-cita mereka yang mencoba mendorong tren misogini patriarki.