Tentunya ini sudah
berlaku selama puluhan tahun semenjak pemilu pasca reformasi di adakan, namun
yang menjadi pertanyaan adalah apakah para calon eksekutif saja yang bisa
berdebat dan di saksikan oleh masyarakatnya? Bagaimana dengan calon legislatif
tidak perlu berdebat dan bermain di balik layar?.
Tentunya dari
pertanyaan ini harusnya dapat di jawab oleh demokrasi Indonesia, kehidupan
politik kita selalu terus menerus berputar pada politik uang, joget-joget dan
janji-janji manis, apakah masyarakat hari ini tidak bertanya-tanya mengapa
cara-cara seperti itu yang harus terus di pakai? kenapa tidak mengadu gagasan
di depan masyarakat yang akan memilih mereka dan menyampaikan visi dan misi ke
depan jika terpilih?
Ok untuk menjawab
seluruh pertanyaan-pertanyaan ini mungkin kita harus merefleksikan diri kita
sebagai masyarakat Negara ini apakah kita secara pribadi memiliki kualitas dan
memahami politik, atau kita menganggap politik seperti definisi pada umumnya
yakni seni menggapai kekuasaan?. Tentu untuk terlepas pola itu kita sebagai
masyarakat harus mendefinisikan politik sebagai suatu hal yang baik seperti
yang diketahui bahwa politik memiliki 5 konsep dasar yakni: 1. Negara, 2.
Kekuasaan, 3. Pengambilan keputusan, 4. Kebijakan dan 5. Pembagian atau
Alokasi.
Tentunya dari kelima
dasar ini kita selalu terpaku pada nomor dua yaitu kekuasaan padahal dalam
demokrasi Indonesia kita menganut juga konsep trias politika yang mana
kekuasaan dibagi menjadi 3 yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif
masing-masing dari ketiga lembaga ini memiliki fungsi dan perannya sehingga
kehidupan politik demokrasi bisa terbangun karena kekuasaan tidak dilekatkan
pada satu orang seperti sistem monarki absolut (nanti saya akan menjelaskan di
lain tulisan), kekuasaan di bagi sehingga ada dialog dan diskusi dalam proses
menentukan kebijakan.
sehingga pada akhirnya
semua adil karena dipilih langsung oleh rakyat. Mengapa menurut penulis calon
legislatif juga harus di buat forum debat sebelum pemilihan? karena yang
pertama masyarakat memiliki hak untuk mengetahui gagasan dan pandangan jika
terpilih nanti dan tidak boleh hanya berupa baliho atau selebaran namun dialog
terbuka dengan masyarakat daerah pilihannya. Mungkin penulis akan menjelaskan
teknisnya tapi catatan ini buah pikiran penulis sendiri dalam mengonsepkan
debat calon legislatif ini.
Gedung DPRD tentunya
memiliki batas kursi dan banyaknya kursi tersebut di tentukan oleh banyaknya
penduduk saya ambil contoh pada kabupaten Kaimana yang jelas kampung halaman
saya sendiri. Terdapat 299 calon legislatif dan pada DAPIL 1 terdapat 113 calon
anggota legislatif yang mana pasti pembaca akan mengatakan bahwa tidak akan
mungkin sekian banyak calon di dudukan pada panggung yang sama.
Padahal sederhana
tinggal membagi dalam satu hari setiap partai mengajukan satu anggotanya di
masing-masing DAPIL untuk melakukan debat jadi para CALEG DAPIL 1 akan saling
berdebat tentang gagasan mereka. Dan hari debat disesuaikan dengan banyaknya
kursi pada DAPIL tersebut itu.
Di Kaimana sendiri pada
DAPIL 1 tersedia 7 kursi dan ada sekitar 17 partai politik yang terdaftar dan
mengikuti kontestasi politik tidak ada salahnya setiap CALEG dalam satu partai
secara bergantian selama 7 hari naik di panggung untuk menyampaikan visi-misi
mereka di depan khalayak ramai dan nantinya masyarakat sendiri yang akan
menilai seberapa pantas para CALEG ini maju sebagai perwakilan mereka.
Memang akan terdengar
ribet namun menurut penulis ini satu-satunya cara untuk mengubah kehidupan
politik di negara ini, penulis juga sudah muak dengan strategi kampanye yang
menggunakan politik uang, joget-joget dan sekedar janji-janji yang sebetulnya
secara administrasi tidak semudah itu.
Demokrasi artinya
dialog artinya para pemimpin dan perwakilan masyarakat merupakan orang yang
lahir dari masyarakat dan tahu apa yang di butuh kan masyarakat, dia yang
mendengar kesusahan masyarakat bukan orang yang punya ambisi untuk
melanggengkan bisnis ataupun hal-hal pribadi. Maka dari itu menurut penulis
debat calon legislatif sangat diperlukan untuk mengubah itu.
Mungkin banyak yang
mengatakan bahwa menjadi pemimpin di suatu negara ataupun daerah tidak semudah
itu, relasi dengan pebisnis dan kapitalis menjadi salah satu kekuatan CALEG
namun kita terlepas dari itu semua kita harus melihat kinerjanya dan rekam
jejaknya, apa yang sudah dilakukannya selama ini bahkan sebelum masuk dalam
politik (mungkin lebih jelasnya bisa baca tulisan saya sebelumnya “Mencari perwakilan
Rakyat Yang Ideal di Kabupaten Kaimana” yang banyak membahas tentang CALEG
muda.
Mengembalikan demokrasi
ke asalnya di negara yang sudah terkontaminasi dengan politik kotor tentu
sangatlah sulit namun dengan keyakinan yang mendalam dan usaha tentunya dapat
mengubah itu, kita sebagai masyarakat tentu memiliki hak dan kewajiban yang
sama dalam negara ini tinggal cara kita dalam memenuhinya seperti apa
tergantung pemikiran kita.
Tidak ada salahnya jika
seorang pemimpin lahir dari pendidikan yang seadanya namun dia jujur dan peduli
dengan masyarakatnya dari pada pemimpin yang membeli ijazah hanya untuk namanya
di cantumi gelar. Debat seharusnya di setiap kontestasi pemilihan agar dialog
dan masalah masyarakat terdengar oleh para CALEG. Pada akhirnya pilihan itu
balik ke pembaca, berubah atau tetap pada kemunafikan?