Kampanye digital sudah
sangat canggih di tengah era dispruptif saat ini. Era digital begitu
memusingkan kepala, karena perlu analisa yang cukup membedakan mana yang benar,
mana yang hoaks. Mana yang substansi, mana yang sensasi, mana gagasan yang
keren, mana yang sentimen. Lupakan dulu masalah ini.
Saya mencoba melihat
lebih jauh kampanye konvensional. Bagaimana pun juga, model kampanye inilah
yang bergerak dan mewarnai lapangan. Salah satunya ialah pemasangan spanduk,
baliho, atau banner secara masif dan menyebar.
Sebagai pengguna jalan
misalnya, yang sehari-hari melintasi jalan dengan melihat muka caleg di tepi
jalan, tentu akan muak. Tetapi pertanyaan ontologisnya adalah apakah kampanye
konvensional ini masih relevan dan efektif? Mengingat biaya yang dikeluarkan
juga tidak sedikit. Caleg DPRD kota misalnya, setidaknya harus menyiasati
pemasangan banner di tiap titik dapilnya. Begitu juga Caleg DPRD Provinsi yang
terdiri dari beberapa dapil, apalagi DPR mewakili titik seluruh provinsi.
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, saya ada sedikit cerita sewaktu pengalaman sebagai
surveyor. Ada satu perumahan yang warganya cukup padat, saking padatnya ada 2
RW di sana. Mulai saya masuk gerbang perumahan, dan menyisiri tiap gang-gang
perumahan ada fenomena yang tak biasa.
Hampir di beberapa
rumah warga dan warung-warung, ada satu spanduk caleg yang dominan, sebut saja
Caleg A. Ternyata caleg tersebut tinggal di perumahan itu. Mulailah saya
mendatangi responden dan bertanya. Saya menduga dari awal, berdasarkan
pemasangan spanduk di sejumlah titik perumahan, setidaknya satu atau dua orang
kalau ditanya minimal yang dia kenal Caleg A dan punya keputusan besar memilih
calon tersebut.
Ternyata tidak sesuai
ekspekasi saya, dari jawabannya terlihat ia masih swing (abu-abu) bahkan untuk
memilih partai saja berbeda dengan Caleg A. Sedikit nakal saya menimpali,
“kenapa tidak memilih Caleg A saja pak?” dia pun masih ragu dengan pertanyaan
saya. Saya pun memberi kode “itu pak yang banyak spanduknya..” ternyata dia
beralasan bahwa Caleg A belum memperkenalkan dirinya ke warga khususnya lingkup
RT si responden. Ternyata, iklanisasi setingkat perumahan saja tidak menyentuh
hati warga secara signifikan.
Pada kesempatan lain,
ada kasus menarik. Sebut saja Caleg B. kasus ini mirip seperti kasus pertama,
Caleg B ini hanya berjarak 5 langkah dari rumahnya. Seperti lagu Ayu Ting-Ting,
"Calegku memang dekat, lima langkah dari rumah". Namun, tidak seindah
nyanyian Ayu, responden ini malah tidak memilih Caleg B tersebut dan posisinya
masih dibilang swing voters. Ternyata ia beralasan bahwa Caleg B tersebut
kurang akrab dengan tetangganya sendiri.
Dari kasus di atas,
tampaknya iklanisasi konvensional belum memberikan dampak yang signifikan jika
tidak dilakukan pertemuan-pertemuan tatap muka dengan warga. Bahkan, Caleg yang
tinggal di lingkungan yang sama saja, belum tentu mau memilih jika belum
terbangun suasana keakraban/ sosialisasi terhadap visi-misinya. Belum lagi
design spanduk yang monoton, belum menyentak di ingatan orang yang melihatnya.
Daripada memboroskan
anggaran kampanye, para Caleg mestinya melakukan trobosan baru untuk menarik
hati masyarakat. Beberapa cara mungkin bisa dilakukan.
Pertama, memperbanyak
kampanye pertemuan tatap muka langsung ke warga. Kedua, membangun jaringan akar
rumput mulai tiap kecamatan, kelurahan, RW, dan RT. Pada puncaknya yaitu
jaringan per TPS. Ketiga, mengedepankan kampanye untuk mengeruk suara pemilih
pasti (strong voters) ketimbang pemilih abu-abu (swing voters). Karena pada akhirnya,
rakyat akan memilih dari hati mereka. Sesuatu yang berasal dari hati akan lebih
mudah diterima ke hati.