Inilah pertanyaan
mendasar yang selalu ditanyakan kepada publik yang kemudian harus dijawab oleh
partai politik dan para politisi agar mendapatkan simpati publik. Maka, tugas
partai politik dan politisi adalah menjadi semacam ‘toko serba ada’ yang menyediakan
semua kebutuhan pelanggan atau calon pelanggannya, yang dalam hal ini adalah
masyarakat.
Jika publik
menginginkan figur politisi yang merakyat, maka partai politik dan politisi
akan menampakkan dirinya sebagai sosok yang merakyat sehingga masyarakat akan
memberikan persepsi bahwa partai politik atau politisi yang dimaksud adalah
sosok yang merakyat dan sesuai dengan harapannya.
Begitu pula, jika
ternyata calon pemilihnya menginginkan figur yang visioner, religius, dan
amanah misalnya, maka para politisi juga akan berupaya untuk menampakkan
dirinya sebagai figur yang visioner, religius, dan amanah untuk mendapatkan
hati masyarakat yang berimbas pada kenaikan tingkat elektabilitasnya dan partai
politiknya.
Hal ini bisa dilihat
dari visi-misi yang diusung, jargon yang diangkat, atau visual yang
ditampilkannya; pakaian dan aksesoris yang dikenakan, latar yang digunakan, dan
lainnya. Sekali lagi, hal ini tidak lain adalah bagian dari upaya untuk
memenuhi harapan publik terhadap sosok ideal yang pantas dijadikan pilihan
politik dalam gelaran pesta demokrasi mendatang.
Itulah secara mudah
untuk menggambarkan apa yang disebut dengan imagologi politik, atau yang lazim
dikenal dengan istilah pencitraan. Sebenarnya, tujuan dari pencitraan ini
sendiri adalah untuk membangun persepsi publik terhadap sebuah brand sehingga
melahirkan brand awareness terhadap produk tertentu.
Dalam dunia bisnis,
membangun brand awareness atau citra sebuah produk menjadi hal yang sangat
vital. Sayangnya, bahasa ‘pencitraan’ di Indonesia ini malah lebih dekat dengan
rumpun kosakata yang berkaitan dengan partai politik, politisi, dan segala
macam aktivitas politiknya. Sehingga ketika mengucap kata ‘pencitraan’, secara
otomatis persepsi kita adalah politik.
Komunikasi Politik; Seni Membangun Persepsi
Mungkin ada benarnya
jika mengatakan bahwa komunikasi politik adalah tentang seni dalam membangun
persepsi politik terhadap publik, baik itu membangun persepsi tentang partai
politiknya maupun politisinya itu sendiri. Mungkin pertanyaan selanjutnya
adalah apakah politisi yang membangun persepsi agar publik dapat diarahkan
sesuai dengan keinginan politiknya, atau justru politisi yang membangun
persepsi tentang partai politik dan dirinya sesuai dengan keinginan publik?
Pertanyaan ini cocok
jika dianalogikan dengan strategi marketing dari perusahaan produsen smartphone
dan mobil yang saat ini semakin menjamur di dunia. Misalnya, apakah fitur-fitur
yang berlimpah pada handphone dan mobil itu memang sesuai dengan kebutuhan konsumen?
Atau sebenarnya konsumen tidak terlalu membutuhkan fitur sebanyak itu, tetapi
produsen smartphone dan mobil sedang membangun persepsi kepada publik bahwa
fitur-fitur melimpah yang disematkan di smartphone dan mobil-mobil mereka
adalah sebuah kebutuhan? Dalam dunia industri, persepsi diciptakan agar
produk-produk yang diciptakan dapat diterima oleh pasar dengan baik yang pada
akhirnya memiliki produk dari produsen tersebut adalah sebuah kebutuhan.
Inilah yang sedang
dibangun dalam proses komunikasi politik kita saat ini, di mana partai politik
dan figur yang diusung sedang dipersepsikan sebagai ‘semacam kebutuhan’ atau
jawaban dari problematika yang dihadapi oleh bangsa dan negara saat ini. Maka,
kebutuhan masyarakat didata dan dianalisis sehingga memunculkan visi-misi dan
program kerja yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat. Bagaimana cara
mengenalkan dan menawarkannya, itulah tugas dari komunikasi politik. Tentu
harapannya dengan membangun persepsi yang sesuai dengan keinginan masyarakat,
partai politik dan figur yang diusung dapat dipilih oleh masyarakat.
Hal lain yang juga
perlu dipahami adalah bahwa para politisi akan selalu membangun persepsi yang
baik tentang dirinya untuk menarik simpati publik. Maka tidak heran jika citra
yang diusung adalah citra tentang kebaikan, kepedulian, keberpihakan dan
sebagainya. Artinya, semua politisi yang ingin mendapatkan simpati masyarakat
akan berupaya untuk mempersepsikan dirinya sebaik dan seideal mungkin.
Oleh karena itu, pada
tataran realitas, tidak semua orang yang dipersepsikan sebagai ‘orang baik’
oleh publik adalah orang yang benar-benar baik secara realitas. Bisa jadi, ini
adalah bagian dari keberhasilan menciptakan persepsi publik atas dirinya yang
dicitrakan sebagai ‘orang baik’. Begitu pula dengan orang yang dipersepsikan
negatif oleh publik, mungkin juga tidak sepenuhnya negatif. Bisa jadi, masih
lemah dalam upaya membangun brand atas dirinya di publik, atau ‘kalah’ dengan
lawan politiknya yang lebih kuat dalam membangun persepsi ‘baik’ terhadap diri
mereka.
Inilah yang kemudian
secara lebih mudah disebut dengan ‘manipulasi realitas’ di mana sifat alamiah
yang dimiliki bisa jadi berbeda dengan karakter yang dicitrakan atau
dimunculkan dalam benak publik. Maka, pertanyaan pamungkasnya adalah lalu
jargon-jargon yang diusung oleh para politisi saat ini, apakah benar-benar
didasari atas karakter alamiah atau sekadar upaya untuk membangun persepsi
dalam rangka memenuhi ekspektasi publik?
Medio Jumat 05 Januari 2024