Apakah para peserta
debat bakal jual beli serangan. Atau sekedar saling lempar visi misi normatif
saja.
Pun demikian para
pemirsa di depan layar televisi. Ada yang sudah bersiap mencatat dan mencuplik
bagian mana saja yang bisa mereka cuit di media sosial. Lainnya ada yang
memilih berdoa agar capres jagoannya tampil memukau.
Di episode terakhir,
para capres diuji tak hanya sekedar keintelektualannya tapi juga sikap dan
gesture yang ditampilkan.
Hasilnya cukup
mengejutkan, semua capres ternyata memilih untuk cari aman. Setelah di 4
episode sebelumnya mereka manfaatkan sebagai momentum konsolidasi suara. Kini, mereka
memilih untuk menyasar sekira 30-an persen undecides voters.
Tak ada serangan
personal atau pembunuhan karakter seperti di debat-debat sebelumnya. Semua
berjalan tenang dan banjir apresiasi.
Meski begitu, lewat
mata kamera yang tajam, semua calon tak bisa berpura-pura dan menyembunyikan
karakter dasarnya. Anies tetap memunculkan kesan cerdasnya, lalu Prabowo
menjadi lebih tulus dan bijaksana, semenatra Ganjar makin angkuh.
Transformasi Prabowo
Meski sering beda
pandangan dengan Rocky Gerung, kali ini saya satu suara dengannya. Terutama
saat menanggapi bagian terakhir debat kelima Pilpres 2024. Kata Bung Rocky,
semua episode debat yang melibatkan para capres, menjadi panggung milik Anies.
Tapi khusus di debat
kelima, dan di bagian closhing statement, Prabowo telah menunjukkan ketulusan
dengan meminta maaf kapada lawan debatnya. Hal yang tak bisa dilakukan Ganjar
maupun Anies.
“Di debat terakhir ini,
di closhing statement ketulusan ada pada Prabowo. Eish, anda boleh hina tapi
seseorang yang angkuh dan tiba-tiba menundukkan kepala, dan serius mengatakan
saya meminta maaf,” ujar Rocky Gerung.
Tentu saja gesture ini
memberi kesan berbeda di tengah sisa masa kampanye yang makin memanas. Semua
pihak banyak yang tak menyangka.
Jutaan mata menjadi
saksi, momen paling emosional dari pemilihan presiden dan wakil presiden yang
diselenggarakan KPU mendadak adem ayem. Suasana tegang di lokasi debat,
langsung berubah menjadi cair dan santai.
Debat yang juga
seringkali jadi panggung sandiwara, kini berubah menjadi ajang ketulusan dan
kedewasaan. Dialog yang mereka bangun jadi lebih konstruktif atau solutif
meminjam bahasanya Prabowo Subianto.
Publik juga disajikan
pertunjukkan bahwa politik tak melulu harus dipenuhi oleh saling serang.
Melainkan jadi ajang buat mikirin perubahan dan pertumbuhan bangsa ke arah yang
lebih baik.
Prabowo bahkan mengaku
dirinya sepakat dalam isu-isu mendasar. Seperti kesehatan, pendidikan,
kebudayaan yang dilontarkan Anies maupun Ganjar.
Hebatnya, Prabowo
Subianto memperlihatkan kedewasaan yang luar biasa dalam debat terakhir. Tidak
hanya berbicara tentang kebijakan dan visi politiknya, Prabowo menunjukkan
sesuatu yang jauh lebih mendalam: kemampuannya untuk meminta maaf.
Tentu saja meminta maaf
bukan berarti tanda kelemahan, tetapi tanda kedewasaan dan kematangan
intelektual. Ini jadi ciri jika seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk
mengakui ketidaksempurnaan dan mau belajar dari kesalahan.
Prabowo tak cuma
mengakui kesalahannya, tetapi juga berkomitmen untuk bertindak dengan lebih
baik di masa depan, menunjukkan bahwa ia siap menerima masjkan bahkan kritik
untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.
Ini sekkaligus
membenarkan kesaksian mantan presiden ketiga, BJ Habibie tentang Prabowo.
Seorang intelektual yang lahir dari keluarga intelektual. Baik ayah maupun
kakeknya adalah seorang begawan ekonomi.
Puncak intelektualitas
Gesture Prabowo dalam
The Last battle ini bukan hanya tentang permintaan maaf pribadi, tetapi juga
tentang mengubah paradigma politik secara keseluruhan. Dalam dunia politik yang
penuh bumbu dan retorika keras ini mengirimkan pesan kuat bahwa kejujuran,
kerendahan hati, dan keterbukaan harus menjadi bagian integral dari
kepemimpinan.
Lebih dari sekadar
tindakan simbolis, permintaan maaf Prabowo membuka jalan untuk membangun
jembatan antara berbagai pihak yang terlibat dalam politik. Ini merupakan
panggilan untuk rekonsiliasi dan persatuan, mengundang dialog yang mendalam dan
konstruktif di antara mereka yang mungkin pernah merasa terluka atau diabaikan.
Dalam polarisasi
politik yang makin memecah belah masyarakat saat ini, gestur Prabowo menawarkan
harapan yang segar. Ini adalah pengingat bahwa di balik perbedaan politik, kita
semua manusia yang rentan terhadap kesalahan, tetapi juga mampu belajar dan
berkembang. Meminta maaf bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kekuatan sejati
dari seorang pemimpin yang memimpin dengan hati.
Gesture prabowo yang
meminta maaf kepada semua calon presiden juga sejalan dengan apa yang
disampaikan fenomonolog, Edmund Husserl tentang pentingnya menemukan “inti dari
pengalaman manusia yang murni.”
Kata Husserl, sikap
seseorang terhadap lingkungan dan pengalaman memengaruhi cara kita memahami dan
berinteraksi dengan dunia. Pemahaman yang dalam dan reflektif tentang
pengalaman subjektif dapat dianggap sebagai manifestasi dan intelektualitas
paling puncak.
Ini juga mengingatkan
kita akan perkataan Gusdur bahwa orang yang paling ikhlas dan tulus kepada
rakyat itu adalah Prabowo Subianto.
***