Cinta mesti berada pada tataran esensi, bukan
sekedar eksistensi, yang dipelihara dan dinikmati setiap detik proses
melaluinya. Bahwa dalam perjalanan cinta kerap kali terjadi letupan-letupan
yang mengejutkan, kita senantiasa berusaha untuk mampu melerai dan
menanggulanginya. Karena kita menempatkan cinta itu tidak sebatas kenangan dan
pikiran. Ia adalah bagian dari interaksi antara kita untuk menjaga harmoni.
Membuat “bara” nya tetap menyala hangat dalam jagad hati kita masing-masing.
Istriku sayang,
Seperti yang sudah aku
lakukan setiap
tahun kelahiranmu, hari ini Surat Cinta Terbuka buatmu kutulis kembali,
memperingati usia kelahiranmu. Aku selalu membangun sebuah “monumen”
abadi tiap tahun, mengenang saat-saat bersejarah kita saat ikrar dinyatakan,
janji diteguhkan dan niat dikuatkan dalam sebuah ikatan bahtera rumah tangga.
Sebuah “lembaga” sakral dimana kita menyemai benih-benih cinta secara konsisten
lalu menuainya dengan rasa bahagia yang membuncah. Tak terlerai.
Seperti dituliskan
dalam buku Plato And The Theory Of
Forms, Tim Ruggiero, Philosophical Society, July 2002, Plato mengisahkan
semula kita dan pasangan kita sesungguhnya dilahirkan sebagai
kembar. “Mereka diciptakan Tuhan
dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki,
dan seterusnya, tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan
mereka harus berbagi”, kata Plato filsuf Yunani Kuno terkenal
itu. Suatu hari, karena takdir tertentu yang tak terjelaskan, mereka harus
terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka
akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan
kelak—bila mereka mengikuti panggilan itu—mereka akan bertemu kembali.
Mungkin saja ada yang
memaknai apa yang disampaikan Plato sebagai sesuatu yang absurd dan melankolis.
Tapi tidak bagiku. Kehadiranmu disisiku, selama hampir 2 tahun lebih ini adalah
bagian dari kesatuan hati kita yang dibagi bersama dalam suasana suka dan duka
sepanjang mengarungi samudera kehidupan. Kisah Adam dan Hawa yang diciptakan
Allah Pencipta dalam kondisi tubuh yang lengkap namun rusuk yang terbagi.
Mereka terpisah dan akhirnya bertemu kembali di Jabal Nur (Gunung
Cahaya) dan menyatukan diri dalam harmoni, berbagi dalam satu hati, satu jiwa.
Istriku sayang,
Bagiku kehadiranmu
menggenapi segala kekosongan dan melengkapi semua kehampaan. Memilikimu adalah
belajar untuk saling mengerti dan memahami setiap perbedaan. Menyadari bahwa
keinginan kita untuk saling melampiaskan rasa rindu tiada akhir dengan
berkomitmen bersama dan berikhtiar menggali lebih dalam esensi cinta dan
kehidupan dalam setiap langkah perjalanan kita, adalah sesuatu yang niscaya.
Sedih maupun Gembira. Suka maupun Duka. Kita “mewarnai” semuanya dengan indah,
dengan corak yang kita sukai. Satu hati, Satu jiwa.
Aku ingin kita “tumbuh”
hingga tua bersama, menyaksikan buah hati kita Felisha dan adiknya-adiknya
kelak meniti masa dewasa, meraih impiannya, mengawal mereka ke masa depan dan
kelak akan mempersembahkan kepada kita cucu-cucu yang cantik dan ganteng. Kita
berdua akan duduk di serambi depan rumah, menyaksikan kilau mentari menuju
peraduannya dan aku akan membisikkan larik-larik puisi buatmu
Kerapkali
kita menyempatkan diri duduk diberanda
bercakap
tentang hal-hal tak penting dan upaya-upaya menanggulangi kegetiran
seraya
menatap gelap yang luruh perlahan dipelupuk mata
dan
kunang-kunang melintas anggun membawa kerlip harapan
sementara
rindu memantul-mantul gemas lewat debar lirih di jantung kita
Bintang
tersipu dipelukan awan saat kisah-kisah manis kuceritakan
terbang
bersama desir lembut angin yang menyibak rambut tipis di keningmu
“Kita
telah menoreh malam dengan angan-angan,” ucapku haru
lalu
hening melingkupi segenap semesta
Kerapkali
aku mengajakmu menatap kelam di lanskap langit
seraya
berusaha merengkuh impian yang berkelebat bersama gegas waktu
dan
memori yang selalu kita catat dengan hati riang,
senantiasa
menjadi jejak menandai kehadiran dan ketidakhadiran,
juga
perih kehilangan sepanjang perjalanan
karena
kita selalu yakin, indah, selalu tiba pada saatnya,
senyata
hembusan nafas dan delik cemburu rembulan diatas sana
janji
yang telah dan akan kita tunaikan, tanpa rasa enggan
merasuk
pada rangkaian musim dimana kiprah kita terpacak jelas
tak
akan pernah ada rasa sesal
karena
rasa telah nyata mengalir lewat kata-kata dan realita
dan
hidupmu, hidupku, hidup kita menyatu dalam gemuruh cinta
pada
impian gemilang serta pendar asa
yang
telah kita toreh dengan jemari gemetar di pucuk malam..
Istriku sayang,
Aku ingin menceritakan
kembali padamu sebuah kisah menarik dari cerpen O’Henry (nama pena dari William
Sidney Potter) berjudul “The Gift of
Magi”. Diceritakan pada cerpen yang dipublikasikan pertama kali tahun 1906
tersebut, sepasang suami istri yang hidup miskin, James dan Della yang saling
mencintai satu sama lain bermaksud memberikan hadiah terindah bagi pasangan
masing-masing di hari Natal. Sayang mereka tak memiliki uang. Akhirnya Della
menjual rambutnya yang indah dan hitam mengkilat untuk membeli rantai emas
pelengkap jam tangan emas kebanggaan James. Tak disangka-sangka, James justru
menjual jam tangan emasnya untuk membeli sisir berhiaskan mutiara untuk rambut
hitam mengkilat sang istri. Hilang sudah harta berharga yang mereka miliki
menjadi barang yang tak berguna.
Namun, apa yang ingin
dikatakan O’Henry dalam cerpen ini memiliki makna sangat dalam. Bahwa hadiah
cinta, ketulusan dan kasih yang mendalam jauh lebih berharga dari sekedar sisir
mutiara atau rantai emas. Mereka boleh saja menjadi lebih miskin, namun
peristiwa ini membuat jiwa mereka lebih kaya.
Aku teringat peristiwa
serupa ketika kita pernah bertualang untuk melihat awal kehidupan bahtera rumah tangga kita berdua dan dengan lapang dada sembari saling pandang satu sama
lain ditengah-tengah kepulan asap penggorengan sambal goreng ati, cinta itu
mengalir deras dari kedua kelopak matamu seperti kamupun melihat kasih yang
menggelora memancar dari mataku.
Setelah bertahun-tahun
berlalu, kita kembali menapak tilas perjalanan cinta kita. Berkaca pada cermin
diri dan berjanji bersama untuk tetap berkomitmen memeliharanya secara intens
dan berkelanjutan.
Aku bersyukur kepada Tuhan
yang Mahakuasa menjalani kehidiupan pernikahan yang indah bersamamu dan juga anak
kita Felisha dan adik-adiknya.
Jalan panjang dan
terjal terbentang dihadapan kita, istriku sayang. Tapi yakinlah, bersamaku,
kita akan melewati semuanya dengan penuh keyakinan dan ketegaran. Semoga Tuhan
Mahapengasih senantiasa melindungi dan menjaga kita dalam menempuh perjalanan
itu.
Terimakasih telah
menjadi istri yang hebat untukku dan ibu yang luar biasa buat Felisha dan juga
adik-adiknya kelak selama ini hingga keabadian.
"Hanya perlu beberapa detik untuk mengatakan aku mencintaimu, tetapi butuh seumur hidup untuk menunjukkan betapa aku mencintaimu. Happy birthday to you untukmu istri tercinta, 21 Februari 2024”