Arendt dan Kejahatan
Ketika Hannah Arendt
secara terkenal membahas persidangan Otto Adolf Eichmann, seorang perwira Nazi
terkemuka dan penyelenggara utama dalam kengerian Holocaust, kesimpulannya
sangat kontroversial. Deskripsinya tentang ‘Banalitas Kejahatan’ dan eksplorasi
peran kepasifan dalam memungkinkan terjadinya beberapa kekejaman terbesar yang
pernah disaksikan, memecah belah dan membuat jijik banyak akademisi yang
mencoba memahami kebrutalan yang terjadi di bawah pengawasan Eichmann.
Arendt sendiri adalah
seorang pengungsi Yahudi, yang melarikan diri dari gejolak di tanah airnya,
Jerman, di tengah meningkatnya anti-Semitisme. Hubungannya yang kini menjadi
terkenal dengan profesornya di universitas, Martin Heidegger, yang kemudian
menjadi pendukung rezim Nazi, sering disebut-sebut sebagai momen penting dalam
memahami pembentukan pandangan akademis dan tentang kebangkitan rezim fasis.
Sebagai seorang
akademisi Yahudi terkenal, yang berasal dari generasi individu seperti ibunya
yang harus meninggalkan tanah airnya (sekarang Lithuania) karena meningkatnya
anti-Semitisme, diskusi Arendt tentang fasisme menjadi bagian integral dari
filsafatnya. Pada intinya, ia memiliki keinginan untuk memahami dan menjelaskan
kejahatan. Dia mengeksplorasi hal ini melalui berbagai kacamata, mengandalkan
gagasan seperti ras dan politik antarpribadi untuk melintasi dan mempelajari
kebangkitan rezim totaliter dan brutal.
Ada interaksi yang
menarik antara keinginan pribadi dan intelektual untuk memahami dalam karyanya,
sebuah faktor yang dapat berisiko mengaburkan visinya, tetapi justru membuatnya
berbakat secara fenomenal dalam mengeksplorasi dan mendekonstruksi
konsep-konsep abstrak, dan khususnya ‘kejahatan’.
Konteks Pemikiran Arendt
Tulisan-tulisan Arendt,
mulai dari The Human Condition yang luas hingga teks-teks yang lebih terfokus
dan tepat seperti On Violence, diikat oleh hasrat utama untuk memahami
faktor-faktor apa yang menyebabkan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Ada
kebutuhan mendasar yang diungkapkan dalam karya-karya ini untuk
mengontekstualisasikan dan membongkar sifat masyarakat di zaman modern, yang
mendorongnya untuk mengeksplorasi beragam topik mulai dari kolonialisme hingga
populisme.
Pergeseran utama dalam
pandangan Arendt adalah kebangkitan kapitalisme, dan pada gilirannya, sebuah
tahap baru dalam sejarah dunia yang didorong oleh “akumulasi kekuasaan yang
tidak terbatas demi kepentingannya sendiri” (Margaret Canovan, 2002, “Rakyat,
Massa, dan Mobilisasi Kekuasaan: Paradoks ‘Populisme’ Hannah Arendt”). Sebagai
hasil dari pergeseran ini, pengejaran kekuasaan menjadi lebih diprioritaskan
daripada pencerahan peradaban, dan nilai-nilai kemanusiaan serta stabilitas
menjadi terpinggirkan.
Prinsip perluasan dan
devaluasi individu ini menjadi kunci dari karya Arendt, dengan pendapatnya
tentang topik-topik seperti kolonialisme dan imperialisme yang pada dasarnya
berakar pada ide ini. Sebagai contoh, ia percaya bahwa kolonialisme pemukim
didorong oleh keinginan tulus untuk perluasan masyarakat, sehingga memandangnya
sebagai kekuatan positif, sedangkan sebaliknya, imperialisme mewakili
keserakahan yang semakin besar akan kekuasaan dan marjinalisasi kepentingan
manusia yang lebih luas.
Ketika mencoba
mendiskusikan dan menganalisis pemikiran Arendt, dan mengapa ia begitu terpaku
pada pendefinisian dan pembongkaran fenomena politik, ide-ide seperti
kewaspadaan terhadap marjinalisasi kepentingan manusia sangatlah penting.
Kompleksitas dari nilai-nilai ini, dan cara dia menanganinya dalam tulisannya,
membuatnya menjadi seorang pemikir yang sangat sulit untuk diringkas. Hal ini
menyebabkan beberapa kritikus berpendapat bahwa konsep-konsepnya, termasuk
ide-idenya tentang kejahatan, sangat bervariasi dalam pemikirannya.
Beberapa kritikus menggambarkan
Origins dan Eichmann in Jerusalem sebagai “buku yang menandai evolusi pemikiran
Arendt”, tetapi realitas pemikirannya jauh lebih bernuansa dan konsisten
daripada yang diberikan oleh diskusi-diskusi tersebut (B Seyla Benhabib, 2010,
‘Hukum Internasional dan Pluralitas Manusia di Bawah Bayang-bayang
Totalitarianisme’).
Apa yang Dimaksud Hannah Arendt dengan “Kejahatan
Radikal”?
Salah satu karya Arendt
yang paling penting dan berpengaruh adalah analisisnya mengenai kebangkitan
rezim absolut dalam The Origins of Totalitarianism. Karya ini merupakan
eksplorasi yang sangat rinci dan kaya akan akar-akar rezim totaliter, dibagi
menjadi tiga esai panjang yang mengeksplorasi antisemitisme, imperialisme, dan
akhirnya, totalitarianisme. Dia menempatkan pergeseran politik tertentu di
pusat kebangkitan totalitarianisme, menggambarkan bagaimana, misalnya, “sebelum
era imperialisme, tidak ada yang namanya politik dunia, dan tanpanya, klaim
totaliter atas kekuasaan global tidak akan masuk akal.”
Ada beberapa kritik terhadap
Origins sebagai propaganda Perang Dingin yang dirancang untuk menjelek-jelekkan
Uni Soviet dan mengagungkan Barat. Namun, diskusi-diskusi ini cenderung
menyederhanakan nuansa karya Arendt dan cara dia menangani topik-topik yang
besar dan sangat kontroversial.
Secara umum, karya
Arendt menyalahkan kebangkitan totalitarianisme pada kesediaan, dalam beberapa
hal, dari masyarakat; dia memandangnya sebagai “produk manusia”. Seperti yang
ia komentari dalam karyanya yang lain, On Violence, “tidak ada pemerintahan
yang secara eksklusif didasarkan pada cara-cara kekerasan yang pernah ada”,
yang menyiratkan suatu tingkat kepatuhan di antara para tokoh non-politik.
Namun, dapat dikatakan
bahwa fenomena mendasar yang membuat totalitarianisme begitu unik dan mencengangkan
bagi Arendt adalah cara totalitarianisme membentuk kembali pemahaman manusia
tentang kejahatan. Hal ini menjelaskan pernyataan Arendt seperti “masalah
kejahatan akan menjadi pertanyaan mendasar dari kehidupan intelektual
pascaperang di Eropa.” Bagi banyak kritikus, obsesi Arendt untuk mengatasi
sifat rezim totaliter sebagian disebabkan oleh karena rezim-rezim tersebut,
seperti yang telah dibahas oleh Richard Bernstein, adalah “yang paling dekat
dengan pemahamannya tentang kejahatan radikal”, yaitu bagaimana rezim-rezim
tersebut merupakan “usaha yang disengaja untuk membuat manusia menjadi manusia
yang tidak berguna.”
Konsep ini adalah
konsep yang sangat penting untuk memahami penjelasan Arendt mengenai sifat
rezim totaliter, sekaligus kengeriannya yang sangat unik. Seperti yang ia
jelaskan dalam babnya tentang imperialisme, sifat politik internasional telah
mengalami pergeseran mendasar pada abad ke-20, dan “disintegrasi negara-bangsa
dan runtuhnya hak asasi manusia sebagai standar politik yang efektif terjadi
bersamaan” (Richard J. Bernstein, 2010, “Apakah Refleksi Arendt tentang
Kejahatan Masih Relevan?”, hal. 298). Dikombinasikan dengan meningkatnya
antisemitisme dan pergolakan politik secara umum, hal ini menghasilkan ruang di
mana totalitarianisme dapat meningkat dan manusia dapat direduksi menjadi
bentuk yang kurang manusiawi.
Pergeseran sosial yang
besar ini menghasilkan kecemasan dan ketakutan, yang dieksploitasi oleh rezim
politik dan memungkinkan munculnya politik totaliter. Pada gilirannya, rezim
menciptakan narasi kebenaran absolut, yang bergantung pada kecemasan ini dan
menampilkan dirinya sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Akibatnya, antisemitisme dan gagasan tentang pemimpin yang serba tahu mampu
menguasai sebagian besar penduduk, dan menjadi ditegaskan sebagai kebenaran
baru. Hasilnya adalah sebuah tahap kejahatan yang baru, yang bagi Arendt sangat
berbeda dari peristiwa-peristiwa pembunuhan massal atau genosida yang pernah
terjadi sebelumnya.
Rangkuman Arendt
tentang Kejahatan dalam Origins mungkin paling baik ditangkap dalam salah satu
suratnya kepada Karl Jaspers, di mana ia menulis bagaimana ia tidak dapat
secara tepat meringkas “apa sebenarnya kejahatan radikal itu… tetapi menurut
saya, hal ini berkaitan dengan… menjadikan manusia sebagai manusia yang tidak
berguna.”
Bagi Arendt, kejahatan
Holocaust tidak terletak pada banyaknya teror dan kekerasan yang diciptakannya,
tetapi pada kemampuannya untuk menghapus keberadaan para korbannya, untuk
menghilangkan semua bukti kehidupan mereka. Dia berbicara tentang bagaimana di
dalam kamp-kamp, Nazi “memperlakukan orang-orang seolah-olah mereka tidak
pernah ada untuk membuat mereka menghilang dalam arti harfiah.” Bagi Arendt,
ini adalah pengertian kejahatan yang paling nyata: tidak hanya membunuh dalam
jumlah yang sangat besar, tetapi juga mendefinisikan ulang kebenaran di sekitar
ideologi politik dan benar-benar menyingkirkan mereka dalam segala hal.
Eichmann di Yerusalem: Hannah Arendt tentang
Banalitas Kejahatan
Memahami sentralitas
kejahatan dalam Origins karya Arendt merupakan hal yang fundamental dalam
mendekati konteks tulisannya tentang pengadilan Adolf Eichmann. Eichmann adalah
salah satu perwira utama yang terlibat dalam mengkoordinasikan kengerian
Holocaust, khususnya logistik untuk mengangkut jutaan orang Yahudi menuju
kematian mereka di kamp-kamp di seluruh Eropa. Persidangan Eichmann
dipublikasikan secara luas, dan Arendt dikirim untuk membuat liputan atas nama
The New Yorker. Laporannya, dan buku yang dihasilkan dari liputan tersebut,
sangat kontroversial sehingga masih menjadi pusat warisan Arendt hingga
beberapa dekade kemudian. Buku ini memecah belah komunitas internasional,
terutama di kalangan diaspora Yahudi yang terguncang oleh peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada dekade-dekade sebelumnya.
Inti dari analisis
Arendt terhadap persidangan tersebut adalah kekagumannya terhadap Eichmann
sebagai manusia. Dia terkejut dengan betapa polosnya Eichmann dalam kaitannya
dengan kengerian yang telah dilakukannya dan mendapati dirinya berjuang untuk
menyelaraskan pria di depannya dengan kejahatan mengerikan yang sedang diadili.
Liputan jurnalis lain, seperti Moshe Pearlman, juga bergulat dengan kesenjangan
ini, mencoba menyelaraskan narasi kejahatan rezim Nazi yang menghebohkan dengan
orang-orang yang tampaknya biasa yang mengabadikannya.
Di sini, pemahaman
Arendt mengenai fasisme dan kejahatannya yang unik memberinya perspektif yang
inovatif dan mendalam. Isu yang menjadi inti dari kebangkitan totalitarianisme,
mulai dari konstruksi narasi kebenaran hingga penyangkalannya terhadap
kemanusiaan banyak orang, sangat penting baginya untuk mengurai kebingungan
Eichmann. Kesimpulannya yang terkenal berpusat pada idenya tentang “banalitas
kejahatan”, sebuah konsep yang menunjukkan bahwa kejahatan bukanlah kekuatan
tindakan radikal, tetapi kegagalan untuk berpikir dan mempertimbangkan perilaku
Anda sendiri.
Eichmann bukanlah
seorang monster atau manusia yang jahat. Dia justru “sangat dan sangat normal.”
Hal ini tercermin dalam diskusi Eichmann sendiri mengenai kejahatannya, dengan
menulis, “Ada kebutuhan untuk menarik garis antara pemimpin yang bertanggung
jawab dan orang-orang seperti saya yang dipaksa untuk menjadi alat belaka di
tangan para pemimpin … Saya bukan pemimpin yang bertanggung jawab, dan dengan
demikian saya tidak merasa diri saya bersalah.” Eichmann sendiri menggemakan
kesimpulan Arendt yang mengerikan: bahwa kengerian kejahatan Eichmann bukanlah
kepercayaannya pada tindakannya, tetapi kurangnya keinginan untuk mempertanyakannya.
Karya-karya Arendt
masih terus didiskusikan dan dianalisis secara ekstensif beberapa dekade
setelah kematiannya. Di dunia yang diguncang oleh peristiwa-peristiwa bencana
kejahatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, Arendt menantang narasi-narasi
yang menenangkan tentang kebaikan dan kejahatan dan menghadapi banalitas yang
menakutkan dari kebangkitan rezim-rezim fasis. Bagi Arendt, memahami kejahatan,
dan konflik antara nilai-nilai kemajuan manusia dan kekuatan pasif dari
perubahan politik, merupakan hal yang sangat penting bagi pemahaman kita akan
peristiwa-peristiwa di abad ke-20, dan sangat penting bagi harapan umat manusia
untuk mencegah kengerian semacam itu terulang kembali.*