Mari kita bayangkan
sebuah kelas di mana guru tak lagi terikat kurikulum kaku, bebas berkreasi
dalam merancang pembelajaran yang berpusat pada murid. Murid pun tak lagi
terbelenggu rasa takut gagal, berani mengeksplorasi diri dan menemukan
potensinya. Gambaran ini bukan utopia, melainkan cita-cita yang ingin
diwujudkan melalui Merdeka Belajar.
Guru didambakan
memiliki otonomi untuk berinovasi, berkreasi, dan beradaptasi dengan kebutuhan
muridnya. Mereka tak lagi terikat pada "resep" mengajar yang seragam,
melainkan didorong untuk mengembangkan diri dan menjadi fasilitator andal dalam
proses belajar mengajar.
Murid dimimpikan
menjadi murid yang aktif, mandiri, dan berani mengambil alih pembelajarannya.
Mereka tak lagi hanya sebagai penerima informasi pasif, melainkan pembelajar
aktif yang haus akan pengetahuan dan pengalaman baru.
Orang tua juga
diharapkan memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif di rumah. Dukungan dan kepercayaan orang tua akan potensi anak menjadi
pendorong utama bagi murid untuk berdaya dan mencapai potensinya.
Namun, di balik
semangat mulia ini, terdapat jurang yang menganga antara cita-cita dan realita,
serta terdapat tantangan yang tak kalah besar. Pengajaran yang masih kaku,
metode pembelajaran tradisional, dan keterbatasan infrastruktur masih menjadi
hambatan utama dalam mewujudkan cita-cita Guru Merdeka, Murid Berdaya.
Kenyataannya, banyak
guru masih dibebani tugas administratif yang tidak sedikit, tuntutan pelatihan
dan dikejar centang hijau Platform Merdeka Belajar. Hal-hal yang menyita waktu
dan energi yang seharusnya didedikasikan untuk pengembangan diri dan interaksi
dengan murid.
Banyak siswa masih
memiliki rasa takut gagal dan tekanan akademik yang tinggi masih membelenggu
banyak murid sehingga menghambat mereka untuk mengeksplorasi diri dan menemukan
potensinya. Terlebih, keterbatasan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah
di Indonesia menciptakan kesenjangan yang lebar antar siswa di Indonesia.
Mencapai cita-cita Guru
Merdeka, Murid Berdaya membutuhkan kolaborasi apik dari berbagai pihak.
Pemerintah perlu menunjukkan komitmennya dengan menyediakan infrastruktur dan
pelatihan yang memadai bagi guru, meningkatkan anggaran untuk program pelatihan
guru yang merata dengan fokus pada pengembangan pedagogi inovatif dan
penggunaan teknologi dalam pembelajaran.
Pemerintah juga harus
turun tangan dalam pengawasan implementasi kurikulum merdeka, memastikan akses
internet dan perangkat teknologi yang merata bagi seluruh sekolah di Indonesia.
Guru pun harus bersedia membuka diri terhadap perubahan dan terus belajar untuk
mengembangkan kompetensinya.
Peran orang tua juga tak
kalah penting. Orang tua perlu memahami esensi Merdeka Belajar dan mendukung
penuh proses belajar anak dengan menyediakan ruang dan waktu untuk eksplorasi
diri, serta membangun kepercayaan diri anak.
Merdeka Belajar bukan
sekadar program impian Nadiem makarim seorang diri, melainkan sebuah gerakan
transformasi pendidikan yang membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua
pihak. Hari Pendidikan Nasional 2024 menjadi momentum penting untuk bergerak
bersama, mewujudkan Merdeka Belajar, dan mengantarkan generasi muda Indonesia
yang cerdas, kreatif, dan berkarakter.
Namun, perlu diingat
bahwa jalan menuju cita-cita tersebut masih panjang dan penuh rintangan. Tanpa
komitmen kuat, kolaborasi yang solid, dan penyelesaian berbagai permasalahan
yang ada, cita-cita Guru Merdeka, Murid Berdaya, Indonesia Berjaya, akan
menjadi angan-angan belaka.
Mari kita jadikan Hari
Pendidikan Nasional ini sebagai titik balik untuk bergerak bersama, bahu
membahu, mewujudkan transformasi pendidikan yang sesungguhnya, dan mengantarkan
Indonesia menuju masa depan yang gemilang.