aSialnya potensi ini
belum dikelola dengan baik. Kemandirian pangan di Desa masih rendah. Tercermin
dari skor Global Food Sequrity Index
(GFSI) tahun 2022 yakni 60,2, jauh di bawah rata-rata GFSI dunia di kisaran
62,2 bahkan di bawah rata-rata GFSI Asia Pasifik sebesar 63,4. Hal ini
menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 113 negara di dunia dan ke 10 dari
23 negara di Asia Pasifik.
Ketidakmandirian pangan
adalah ekses dari pengabaian pembangunan Desa dalam rentang waktu yang lama.
Tak perlu menyesalinya. Dengan program Desa Mandiri Pangan (DMP) yang telah
digulirkan pemerintah, kita berharap ketersediaan pangan mencukupi.
Keputusan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No 82 Tahun 2022 tentang
Pedoman Ketahanan Pangan di Desa disebutkan tujuan ketahanan pangan di Desa:
meningkatkan ketersediaan pangan baik dari hasil produksi masyarakat Desa
maupun dari lumbung pangan Desa; meningkatkan keterjangkauan pangan bagi warga
masyarakat Desa; dan meningkatkan konsumsi pangan yang beragam, bergizi
seimbang, aman, higienis, bermutu, serta berbasis pada potensi sumber daya
lokal.
Darwis dkk (2014)
menyebut 5 tujuan dari program ini: meningkatkan ketersediaan pangan dengan
memaksimalkan sumber daya yang dimiliki secara berkelanjutan; meningkatkan
distribusi dan akses pangan masyarakat; meningkatkan mutu dan keamanan pangan
Desa; meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat; dan meningkatkan
kualitas penanganan masalah pangan.
Setelah bergulir, DMP
juga belum optimal. Penyebabnya karena keterbatasan sumber daya manusia:
perencanaan program dan adaptasi teknologi; sulitnya mendapat sumber daya
kapital; lemahnya kelembagaan (pemerintah desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat
Desa/LKMD, kelompok tani-gabungan kelompok tani, dll); infrastruktur pertanian
terutama irigasi; akses pada pupuk, dan sebagainya.
Ini masalah klasik yang
tak kunjung dibenahi dengan tuntas, padahal Desa merupakan arena utama produksi
pangan. Lambannya perbaikan atas ragam dimensi tersebut bukan saja menghasilkan
ketidakmandirian pangan di level Desa, tetapi menjalar ke tingkat nasional.
Petani menjadi manusia yang selalu kalah. Petani takluk! Kemiskinan menjadi
image petani dan nahasnya lagi mereka kesulitan mendapatkan pangan. Produsen
yang melarat di rumahnya sendiri. Dalam spectrum lebih luas, masyarakat dengan
ekonomi menengah ke bawah sangat rentan dengan kelaparan. Padahal hak atas
pangan adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai manifestasi demokrasi
pangan. Agar demokrasi pangan dapat mewujudkan tujuannya, maka perlu
menciptakan alternatif sebagai ruang transformasi, mengupayakan inklusi bagi
warga kurang mampu dalam tata kelola sistem pangan.
Ketika terjadi
kelaparan atau krisis pangan akut, salah jika kita berpikir, seperti yang
dikemukakan Amartya Sen (1981) dalam bukunya “Poverty and Famines: An Essay on
Entitlement and Deprivation” bahwa fenomena kelaparan atau krisis pangan
terjadi akibat ketidakseimbangan mekanis antara produksi pangan dan jumlah
penduduk.
Fakta ini bahkan bisa
terjadi bersamaan dengan pangan yang berlimpah namun individu dan keluarga
kehilangan daya beli untuk membeli pangan. Dengan kata lain, kebebasan mendasar
yang diperbolehkan oleh hak tersebut untuk memiliki pangan dalam jumlah yang
cukup, baik karena diperoleh dengan berproduksi atau karena diperoleh dengan
membeli di pasar, telah hilang.
Pendalaman UU Desa
Tak bisa disanggah
bahwa keberhasilan Desa-Desa berubah karena perubahan politik pembangunan Desa.
Sejak lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan Desa
segera menjadi kesadaran baru atas kemandekan yang dialami Desa sekian puluh
tahun. UU ini memberi kewenangan lokal Desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak
asal usul (rekognisi). Desa diberi ruang penuh—kewenangan total bagi Desa untuk
memutuskan dan menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan berskala Desa.
Bahkan keputusan kolektif warga dalam forum Musyawarah Desa (MusDes) adalah
mutlak yang bahkan pemerintahan level di atas Desa tidak dibenarkan membatalkan
keputusan itu. Dalam bahasa ekonomi dan politik disebut desentralisasi Desa.
Agar kewenangan ini
menjadi manfaat, Desa membutuhakn sumber daya (kapital) membiayai
pembangunannya. Sebagai amanat UU No 6/2014, pemerintah memiliki instrumen
“dana transfer” ke Desa (disebut Dana Desa/DD).
10 tahun DD bergulir
ada kemajuan yang baik dan progresif. Namun bukan tanpa masalah.
Catatan-catatan kritis untuk perbaikan terus bermunculan dengan titik fokus
terbesar pada dimensi non legal formal, lebih pada esensi UU Desa yakni pendalaman
pembangunan desa, bagaimana spirit dan tujuan UU ini terbumikan—konkret.
Pada 5 tahun pertama
(2014-2019) DD lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur fisik
seperti jalan, jembatan, dan lain-lain, dalam 3 tahun terakhir prioritas penggunaan
DD mengalami perluasan. Sejak 2022 melalui Peraturan Presiden No 104 Tahun 2021
di pasal 5 angka (4) huruf b disebutkan penggunaan dana Desa untuk program
ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20%.
Spirit Perpres di atas
sangat relevan dengan tantangan Indonesia, merujuk pada upaya pencapaian SDGs
Desa utamanya pada terwujudnya Desa tanpa kemiskinan, Desa tanpa kelaparan,
Desa sehat dan sejahtera, infrastruktur dan inovasi Desa sesuai kebutuhan,
kemitraan untuk pembangunan Desa, dan kelembagaan Desa dinamis dan budaya Desa
adaptif.
Mengutip Ahmad Erani
Yustika (2019:6-7) pendalaman program DD mesti bertumpu pada tiga hal besar.
Pertama, menggerakkan program sebagai titik tolak kesadaran untuk menegakan
perspektif yang utuh akan pembangunan Desa. Kedua, meninggikan pengetahuan
bahwa sumber daya ekonomi Desa harus dikuasai dan dikelola warga Desa.
Penguasaan sumber daya ekonomi, penguatan organisasi ekonomi, dan advokasi
kebijakan ekonomi guna meneguhkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi Desa.
Ketiga, memastikan isu tata kelola Desa sebagai khazanah merawat keragaman
Desa. Negara tidak perlu berobsesi secara berlebih untuk mengatur Desa, tetapi
memperlebar ruang bagi Desa.
Untuk mencapai itu
semua, mengutip Ahmad Erani Yustika sudah sepatutnya energi Desa digeser.
Pertama, infrastuktur tidak salah, sebab bagi Desa tertinggal masih akan
menjadi kebutuhan primer. Namun sudah waktunya pula untuk membuka ruang
strategis yang dipertukarkan yakni informasi. Diperlukan data persoalan dan
potensi Desa sehingga menjadi bahan baku dalam merumuskan dan mengambil
keputusan melalui MusDes. Di sini perlunya ekspansi kapabilitas manusia sebagai
arena yang mesti dimenangkan.
Kedua, menghubungkan
pembangunan Desa dengan agenda besar bangsa yaitu mengurangi ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan. Ada banyak program yang bisa disanggah dan
peningkatan produksi pangan menjadi agenda urgent agar tercapai kemandirian
pangan. Dilaksanakan dengan prinsip-prinsip partisipatif, gotong royong, setara,
swadaya, kemandirian, keterpaduan, dan berkelanjutan.
Pendalaman ini akan
dinilai berhasil apabila ketersediaan pangan dari hasil produksi masyarakat
Desa; ketersediaan pangan dari lumbung pangan Desa; ketersediaan data dan
informasi mengenai hasil produksi; dan ketersediaan pangan yang beragam,
bergizi seimbang. Kemudian keterjangkauan pangan di Desa terdiri atas
kelancaran distribusi dan pemasaran pangan; dan ketersediaan bantuan pangan
bagi masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, maupun dalam keadaan darurat.