Meski demikian,
konfigurasi perolehan kursi ini akan memungkinkan terjadi perubahan jika
gugatan PPP ke Mahkamah Konstitusi dikabulkan. Seperti yang kita ketahui,
partai berlambang ka'bah tersebut sedang mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi karena kegagalannya memenuhi parliamentery threshold sebesar 4%
sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang. Sementara itu, berdasarkan keputusan
KPU, perolehan PPP pada gelaran Pemilu 2024 ini sebesar 3,87 persen atau kurang
0,13 persen untuk bisa kembali mendudukkan wakilnya ke senayan.
Perebutan kursi
parlemen pada pemilu 2024 lalu menjadi perhelatan yang panas selain tentunya
pemilu Presiden. Mengapa demikian? Tidak lain karena perolehan kursi legislatif
sangat berpengaruh kepada proses penentuan kebijakan yang akan dijalankan oleh
pemerintah. Maka dari itu, tak heran jika koalisi pemenang yang mengusung
Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 masih membutuhkan dukungan dari partai non
koalisi untuk menjadi bagian dari koalisinya.
Pasalnya, jika melihat
komposisi yang ada saat ini, koalisi yang diisi oleh Gerindra, Golkar, PAN, dan
Demokrat (serta beberapa partai non parlemen yang terdiri dari PSI, Gelora,
PBB, dan Garuda) agaknya masih belum menjadi koalisi mayoritas. Dihitung dari
perolehan keempat partai koalisi yang lolos di senayan, jumlahnya adalah 280
kursi atau setara dengan 48,27 persen. Sementara sisanya sebanyak 300 kursi
atau setara 51,73 persen bukan dari koalisi Prabowo-Gibran.
Oleh karena itu, memang
butuh dukungan minimal 1 fraksi lagi untuk memastikan dukungan mayoritas di
legislatif. Hal ini penting untuk memastikan kebijakan dan penganggaran yang
diusulkan oleh Presiden mendapatkan persetujuan mayoritas kursi legislatif.
Maka tidak heran, jika partai non koalisi seperti PKB dan NasDem juga mulai
ingin ditarik ke koalisi. Sebab, jika dua partai ini berkoalisi, maka
dipastikan Prabowo-Gibran akan memperoleh dukungan 417 kursi legislatif atau
sekitar 71,89 persen, sekaligus menjadikannya koalisi yang sangat besar.
Dengan adanya koalisi
yang besar, di satu sisi akan mempermudah pengambilan proses legislasi dan
penganggaran sehingga program kerja yang telah dirancang oleh Presiden dan
Wakil Presiden terpilih akan berjalan dengan baik. Namun, pada sisi yang lain,
koalisi besar juga kurang efektif karena proses lobbying di internal koalisi
bisa berjalan cukup lama, karena banyak fraksi yang tergabung di dalamnya,
sehingga kepentingan-kepentingan politik dari fraksi-fraksi di dalamnya juga
harus dapat terakomodir dengan baik. Namun apapun itu, bahwa anggota legislatif
memang memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses penentuan kebijakan
di Indonesia.
Anggota DPR itu Wakil
Rakyat atau Wakil Partai?
Pertanyaan pertama
adalah sebenarnya posisi Anggota DPR RI itu wakil rakyat atau wakil partai?
Mereka adalah orang-orang partai yang ditugaskan untuk mendapatkan suara rakyat
atau wakil rakyat yang dititipkan oleh pemilihnya melalui partai tertentu?
Sejauh ini, saya telah
berdiskusi dengan beberapa orang baik akademisi maupun politisi, dan jawabannya
memang cukup unik. Kenapa pertanyaan ini muncul? Jawabannya adalah karena
terkadang banyak kehendak rakyat yang bisa jadi berbeda dengan kehendak partai
politik. Lalu mana yang akan dipilih oleh Anggota DPR? Tentu mereka akan
mengikuti kehendak partai dengan segala langkah politiknya. Maka, agaknya tidak
heran jika sebenarnya secara de facto istilah wakil rakyat berarti wakil
partai. Di sini menurut saya sudah tidak perlu lagi menggunakan istilah wakil
rakyat, cukup dengan anggota legislatif.
Alasan lainnya
misalkan, para calon anggota legislatif tidak akan bisa maju secara pribadi
(independen) tanpa melalui jalur partai politik. Artinya bahwa calon anggota
legislatif adalah orang yang diajukan atau ditugaskan oleh partai politik untuk
menjadi calon anggota legislatif di daerah-daerah sesuai dengan daerah
pemilihan yang ada. Dengan kata lain, mereka ada representasi partai politik
yang bertugas untuk mencari dukungan terhadap dirinya dan partai politiknya.
Di samping itu, dalam
hal performa anggota legislatif dianggap tidak baik pun, rakyat tidak akan bisa
berbuat banyak, karena kebijakan untuk melakukan pemecatan atau pencopotan juga
berada sepenuhnya di tangan partai politik. Artinya, jika seorang anggota
legislatif dianggap wanprestasi karena tidak menjalankan visi-misi dan program
kerjanya sebagaimana komitmen politik yang disepakati bersama oleh pemilihnya,
maka tidak serta merta masyarakat bisa mengajukan pergantian.
Maka, tidak perlu
terlalu kecewa jika ke depan kebijakan-kebijakan legislatif kadang atau malah
akan banyak yang tidak sesuai dengan kehendak mayoritas masyarakat, karena
ketika sudah menjadi bagian dari anggota legislatif, tingkat kepatuhan mereka
terhadap partai politik akan sangat tinggi dibandingkan dengan kepatuhan
terhadap pemilihnya.
Hal ini salah satunya
juga dikuatkan tentang mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) yang bisa
diposisikan sebagai mechanism control partai politik terhadap para anggota
legislatifnya. Oleh karena itu, dalam hal terjadi perbedaan sikap politik
antara anggota legislatif dengan kebijakan partai politiknya, maka bisa jadi
partai akan melakukan PAW terhadap anggota yang bersangkutan.
Berbeda dengan di
Amerika Serikat misalnya, prosedur PAW dimulai dari inisiatif rakyat pemilih
yang mengajukan petisi kepada para anggota Badan Perwakilan. Bila Badan
Perwakilan Rakyat menyetujui petisi pemilih (konstituen), maka diadakan
pemungutan suara yang akan menentukan apakah wakil rakyat terkait akan lengser
atau tetap di jabatannya. Dengan kata lain, PAW adalah hak dari konstituen,
bukan hak dari partai politik. Jadi anggota legislatif itu wakil partai atau
wakil rakyat?