Merayakan atau Meratapi Hari Pendidikan Nasional?

Merayakan atau Meratapi Hari Pendidikan Nasional?



Suara Numbei News - Apakah hari pendidikan nasional (hardiknas) setiap tanggal 2 Mei patut dirayakan atau justru diratapi, ketika mutu pendidikan bangsa kian menurun?

Cerita soal pendidikan selalu tidak ada habisnya untuk dikupas. Apa yang salah dalam pendidikan bangsa ini? Tentu saja kompleks, mulai dari komitmen alokasi anggaran pendidikan 20% di pemerintah sampai kondisi pembelajaran di daerah-daerah, khususnya daerah terpencil, pelosok, dan terluar.

Pendidikan yang berkualitas adalah sebuah idaman dari setiap negara dan setiap insan. Pertanyaan sederhananya adalah apa itu pendidikan berkualitas? Mengacu pada Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan yang berkualitas tidak lain adalah pengembangan potensi peserta didik dengan nilai-nilai luhur yang disebutkan berupa kecerdasan, keterampilan, kepribadian, dan bermoral.

Tidak dapat dinafikan bahwa manusia adalah satu-satunya organisme di dunia yang selalu dilanda polemik makna, tidak hanya persoalan-persoalan yang menyangkut biologis. Maka dalam histori peradaban, muncul apa yang dinamakan disorientasi nilai-nilai dan makna hidup. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana memulainya?

Saat bernostalgia pada masa kecil, banyak yang tidak asing bahkan sering mendapatkan nasihat bahwa "kebisaan dimulai dari kebiasaan". Sesungguhnya kalimat sederhana ini memiliki kedalaman makna yang luar biasa di dalam tema pendidikan.

Pendidikan yang berkualitas akan terwujud dan tercapai bilamana kebiasaan yang timbul pun berkualitas. Kebiasaan adalah tendensi seseorang di dalam rutinitasnya. Pertanyaan berikutnya, apakah kebiasaan pendidikan bangsa ini telah baik? Melihat fenomena dan pola yang ada, jawabannya adalah belum (sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh konstitusi). Ruang pendidikan bangsa ini masih diselimuti degradasi nilai-nilai luhur dalam pendidikan, oleh rong-rongan pragmatisme maupun kredensialisme.

Dua hal ini masih menjadi the main reason (alasan utama) rendahnya kualitas. Mulai dari pertukaran nilai (tujuan pendidikan yang sarat kapitalistik), hingga mengkapitalisasi pendidikan an sich. Kurikulum pendidikan memang telah progresif (karena kompetitif) dengan kurikulum merdekanya dan konsentrasi terhadap kompetisi global, namun sekaligus regresif (secara kualitas).

Kurangnya penekanan soal nilai memiliki implikasi yang serius di dalam kultur dehumanisasi global. Generasi muda bangsa perlahan hanyut ke dalam arus ketercekikan dan cengkeraman para elite global, elite kapital, maupun elite ruang-ruang sosial (seperti media sosial atau media massa); mereka tidak sadar bahwa pada gerakan-gerakan tertentu, kehidupan manusia dikendalikan.

Lebih jauh, tidak sedikit anak didik bangsa dipertontonkan oleh drama-drama yang tidak bermoral seperti pejabat korupsi, nepotisme, jual-beli ijazah, bahkan fenomena plagiasi dan kecurangan akademik lain yang pelakunya notabene adalah role model dari proses pedagogis.

Bagaimana kemudian, anak bangsa menghadapi tantangan ini jika mengucapkan nilai luhur saja mereka latah dan terus saja dipertontonkan oleh contoh buruk pendidikan secara berulang sehingga akan terekam di benak peserta didik?

Terlebih masa depan, manusia akan menghadapi tantangan baru, sehingga diskursus hari-hari ini sampai esok menuntut suatu keharusan dalam memaknai ulang lagi arti humanisme. Para generasi muda bangsa tidak boleh cedal dalam berdialog atau memaknai soal trans-humanisme, post-humanisme, atau yang disebut Zoltan B. Simon post-anthropocentric stance agar supaya muncul konsep terbaik untuk kehidupan manusia di masa depan.

Berbenah Pendidikan

Pada intinya, pendidikan berkualitas mengandaikan ada dua output (hasil) utama. Pertama, kultur curiga yang artinya selalu kritis terhadap apa pun. Kekritisan ini kemudian akan memunculkan kesadaran akan adanya suatu (dalam bahasa Richard Rorty) “solidaritas sosial”.

Kedua, bagaimana menyusun suatu pola sehingga terbentuk adanya pola yang diilhami oleh nilai-nilai luhur di masyarakat. Tentu setiap negara mempunyai nilai luhur tersendiri, dan di Indonesia sendiri misalnya perilaku kebangsaan seyogyanya ditopang atau diilhami oleh nilai-nilai Pancasila. Jika poin pertama membangkitkan kesadaran (secara internal), poin kedua ini adalah implementasi konkretnya.

Membenahi pendidikan berkualitas yang sarat nilai adalah tugas semua pihak, terkhusus komitmen serius dari pemerintah. Kultur pendidikan yang berkualitas niscaya menyelamatkan manusia dari bahaya hegemoni dan pola lain kolonialisme. Masyarakat menanti babak baru pendidikan ke depan, apalagi menyambut tonggak emas Indonesia tahun 2045. Yang jelas, 2.300 tahun lalu Aristoteles pernah berpesan bahwa, excellence (keunggulan) bukanlah suatu tindakan atau perbuatan, namun sebuah pembiasaan.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama