Cerita soal pendidikan
selalu tidak ada habisnya untuk dikupas. Apa yang salah dalam pendidikan bangsa
ini? Tentu saja kompleks, mulai dari komitmen alokasi anggaran pendidikan 20%
di pemerintah sampai kondisi pembelajaran di daerah-daerah, khususnya daerah
terpencil, pelosok, dan terluar.
Pendidikan yang
berkualitas adalah sebuah idaman dari setiap negara dan setiap insan.
Pertanyaan sederhananya adalah apa itu pendidikan berkualitas? Mengacu pada
Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan
pendidikan yang berkualitas tidak lain adalah pengembangan potensi peserta
didik dengan nilai-nilai luhur yang disebutkan berupa kecerdasan, keterampilan,
kepribadian, dan bermoral.
Tidak dapat dinafikan
bahwa manusia adalah satu-satunya organisme di dunia yang selalu dilanda
polemik makna, tidak hanya persoalan-persoalan yang menyangkut biologis. Maka
dalam histori peradaban, muncul apa yang dinamakan disorientasi nilai-nilai dan
makna hidup. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana memulainya?
Saat bernostalgia pada
masa kecil, banyak yang tidak asing bahkan sering mendapatkan nasihat bahwa
"kebisaan dimulai dari kebiasaan". Sesungguhnya kalimat sederhana ini
memiliki kedalaman makna yang luar biasa di dalam tema pendidikan.
Pendidikan yang
berkualitas akan terwujud dan tercapai bilamana kebiasaan yang timbul pun
berkualitas. Kebiasaan adalah tendensi seseorang di dalam rutinitasnya.
Pertanyaan berikutnya, apakah kebiasaan pendidikan bangsa ini telah baik?
Melihat fenomena dan pola yang ada, jawabannya adalah belum (sesuai dengan apa
yang diamanatkan oleh konstitusi). Ruang pendidikan bangsa ini masih diselimuti
degradasi nilai-nilai luhur dalam pendidikan, oleh rong-rongan pragmatisme
maupun kredensialisme.
Dua hal ini masih
menjadi the main reason (alasan utama) rendahnya kualitas. Mulai dari
pertukaran nilai (tujuan pendidikan yang sarat kapitalistik), hingga
mengkapitalisasi pendidikan an sich. Kurikulum pendidikan memang telah
progresif (karena kompetitif) dengan kurikulum merdekanya dan konsentrasi
terhadap kompetisi global, namun sekaligus regresif (secara kualitas).
Kurangnya penekanan
soal nilai memiliki implikasi yang serius di dalam kultur dehumanisasi global.
Generasi muda bangsa perlahan hanyut ke dalam arus ketercekikan dan cengkeraman
para elite global, elite kapital, maupun elite ruang-ruang sosial (seperti
media sosial atau media massa); mereka tidak sadar bahwa pada gerakan-gerakan
tertentu, kehidupan manusia dikendalikan.
Lebih jauh, tidak
sedikit anak didik bangsa dipertontonkan oleh drama-drama yang tidak bermoral
seperti pejabat korupsi, nepotisme, jual-beli ijazah, bahkan fenomena plagiasi
dan kecurangan akademik lain yang pelakunya notabene adalah role model dari
proses pedagogis.
Bagaimana kemudian,
anak bangsa menghadapi tantangan ini jika mengucapkan nilai luhur saja mereka
latah dan terus saja dipertontonkan oleh contoh buruk pendidikan secara
berulang sehingga akan terekam di benak peserta didik?
Terlebih masa depan,
manusia akan menghadapi tantangan baru, sehingga diskursus hari-hari ini sampai
esok menuntut suatu keharusan dalam memaknai ulang lagi arti humanisme. Para
generasi muda bangsa tidak boleh cedal dalam berdialog atau memaknai soal trans-humanisme,
post-humanisme, atau yang disebut Zoltan B. Simon post-anthropocentric stance
agar supaya muncul konsep terbaik untuk kehidupan manusia di masa depan.
Berbenah Pendidikan
Pada intinya,
pendidikan berkualitas mengandaikan ada dua output (hasil) utama. Pertama,
kultur curiga yang artinya selalu kritis terhadap apa pun. Kekritisan ini
kemudian akan memunculkan kesadaran akan adanya suatu (dalam bahasa Richard
Rorty) “solidaritas sosial”.
Kedua, bagaimana
menyusun suatu pola sehingga terbentuk adanya pola yang diilhami oleh
nilai-nilai luhur di masyarakat. Tentu setiap negara mempunyai nilai luhur
tersendiri, dan di Indonesia sendiri misalnya perilaku kebangsaan seyogyanya
ditopang atau diilhami oleh nilai-nilai Pancasila. Jika poin pertama
membangkitkan kesadaran (secara internal), poin kedua ini adalah implementasi
konkretnya.
Membenahi pendidikan
berkualitas yang sarat nilai adalah tugas semua pihak, terkhusus komitmen
serius dari pemerintah. Kultur pendidikan yang berkualitas niscaya
menyelamatkan manusia dari bahaya hegemoni dan pola lain kolonialisme.
Masyarakat menanti babak baru pendidikan ke depan, apalagi menyambut tonggak
emas Indonesia tahun 2045. Yang jelas, 2.300 tahun lalu Aristoteles pernah
berpesan bahwa, excellence (keunggulan) bukanlah suatu tindakan atau perbuatan,
namun sebuah pembiasaan.