Lepas dari kebenaran
yang masih simpang-siur, kasus ini ternyata telah menyita atensi publik
teristimewa umat Gereja Katolik Keuskupan Ruteng dan Indonesia pada umumnya.
Kasus ini juga telah
melahirkan beragam komentar yang berseliweran di media sosial. Ada komentar
positif dan ada pula yang negatif. Dan secara pribadi, saya teramat terkejut
membaca sebuah komentar yang mengatakan bahwa Gereja akan ditinggalkan, dengan
merujuk pada kondisi terkini Gereja Eropa masa kini.
Pertanyaannya adalah
apakah Gereja dan secara khusus Gereja Katolik Nusa Tenggara akan ditinggalkan?
Biarlah Sang Waktu yang akan menjawabnya, dan biarlah waktu akan membuktikan
semuanya. Tetapi yang pasti, jika Gereja dan secara khusus kaum klerus atau kaum
tertahbis dan biarawan-biarawati tidak segera merefleksikan makna panggilan
hidupnya secara jujur, maka segala hal mungkin saja bisa terjadi.
Secara kasat mata, saya
mencatat dua hal pokok yang menyebabkan kemerosotan Gereja Nusa Tenggara dewasa
ini. Dua hal yang dimaksud adalah transparansi pengelolaan keuangan dan
kemurnian hidup selibat. Dalam mana kedua hal yang dimaksud telah melahirkan
skeptisisme dan apatisme terhadap Gereja, yang pada akhirnya menjauhkan umat
beriman dari aktivitas kehidupan menggereja.
Transparansi Keuangan
Kehidupan Gereja tidak
dapat lepas dari "uang" sebagai sarana yang memperlancar segala
aktivitas menggereja. Pada kenyataannya umat tidak pernah mengeluh atau tidak
memberikan kewajiban finansial untuk membantu pelayanan Gereja.
Namun demikian Gereja
tidak dapat menutup mata terhadap beragam kasus besar yang telah melanda Gereja
yakni korupsi dan pelayanan sakramen yang berorientasi "uang". Dan
ditambah lagi dengaan penggunaan dan pertanggungjawaban yang jauh dari kata transparan.
Kedua hal ini pada
akhirnya menjadi biang skeptisme dan apatisme umat. Bahkan tidak jarang
melahirkan pemberontakan pribadi lewat sikap menjauhkan diri atau tidak mau
terlibat sama sekali dalam kehidupan Gereja. Bahkan yang lebih buruk dari itu adalah
tidak sedikit umat Gereja Katolik yang dengan terang-terangan mengaku akan
berpindah Gereja atau bahkan berpindah agama.
Naif rasanya jika
patokan dan tolak ukur iman adalah uang. Namun demikian, Gereja tidak dapat
diam dan menutup mata terhadap kenyataan ini. Artinya bahwa Gereja perlu
memikirkan cara yang tepat untuk mengelola keuangan Gereja secara jujur dan
transparan.
Dan lebih lanjut adalah
berkaitan dengan pelayanan sakramen-sakramen yang "menyandera"
kebutuhan iman umat, pada hemat saya Gereja tetap harus berpatokan pada norma
kanonik yakni "salus animarum suprema lex" (keselamatan jiwa-jiwa
adalah hukum yang utama). Dan ini mengharuskan Gereja berpikir dan bekerja
kreatif untuk menghidupi pelayanan Gereja dengan tidak serta-merta hanya mengaharapkan
iuran atau dana-dana lain dari umat.
Pada akhirnya Gereja
juga perlu menyadari fakta sosial bahwa umat dewasa ini hidup dalam tekanan
ekonomi yang kuat karena beragam tuntutan hidup. Anehnya umat kemudian justru
mendapat tekanan dari Gereja yang seharusnya memberikan "kelegaan" kepada
umatnya.
Pada hemat saya
paroki-paroki perlu kreatif menata kehidupan ekonomi paroki dengan memanfaatkan
segala sarana dan aset paroki dengan bijak untuk membantu keberlangsungan
kehidupan Gereja di paroki. Lebih lanjut, Gereja juga perlu memanfaatkan komisi
PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) di paroki untuk membantu perekonomian umat,
sehingga umat bisa keluar dari kemelut beban ekonomi dewasa ini.
Kemurnian Selibat
Selibat bukan sekedar
tidak menikah, tetapi yang lebih mendasar adalah menjaga kemurnian selibat.
Umat lebih disakiti menyangkut hal yang satu ini, karena ini adalah kebanggaan
terbesar umat dari para imam dan biarawan-biarawatinya.
Bila kemudian para imam
atau kaum biarawan-biarawati menodai kemurnian selibatnya, maka ini akan
sedemikian mengguncang iman umat. Banyak umat yang kemudian berpendapat,
"imam juga manusia", tetapi sebenarnya amat menyakiti hati umat.
Dirasa benar bahwa kebanggan mereka sirna, dan tidak ada lagi hal yang bisa
dibanggakan dari para imam atau biarawan-biarawatinya.
Saya berpendapat bahwa
para calon imam atau biarawan-biarawati perlu jujur dengan dirinya
masing-masing. Dan peran ini amat penting ditelusuri selama masa pendidikan dan
terus diperbarui setelahnya melalui pola pembinaan dan pendampingan yang
intens.
Dan lebih lanjut, bila
kemudian kejadian pengingkaran kemurnian selibat tetap terjadi, pendekatan yang
"super ketat" juga perlu diambil. Belajar dari kasus-kasus yang
pernah terjadi dengan pendekatan "pindah tempat tugas" ternyata tidak
berdampak positif.
Ini artinya jika ada
para imam atau biarawan-biarawati terjerat kasus-kasus besar maka Uskup atau
pemimpin tarekat hidup bakti atau tarekat hidup kerasulan perlu mengambil sikap
tegas seturut norma hukum kanonik.
***
Secara pribadi saya
amat mencintai Gereja. Serentak dengan itu pula amat bangga dengan Gereja
Katolik. Sebagai umat yang senantiasa loyal kepada Gereja, harapannya adalah
agar para imam atau biarawan-biarawati tetap setia dan jujur dalam menghayati
janji dan kaul-kaulnya secara total.
Bila pada akhirnya
tidak mampu berkanjang dalam janji dan kaul-kaul, maka perlu kiranya sikap
jujur terhadap diri sendiri, agar bijak menentukan pilihan hidup. Berani
mengambil sikap menjadi tanda kearifan.
Pada akhirnya Gereja
juga perlu menyadari fakta sosial bahwa umat dewasa ini hidup dalam tekanan
ekonomi yang kuat karena beragam tuntutan hidup. Anehnya umat kemudian justru mendapat
tekanan dari Gereja yang seharusnya memberikan "kelegaan" kepada
umatnya.
Pada hemat saya
paroki-paroki perlu kreatif menata kehidupan ekonomi paroki dengan memanfaatkan
segala sarana dan aset paroki dengan bijak untuk membantu keberlangsungan kehidupan
Gereja di paroki. Lebih lanjut, Gereja juga perlu memanfaatkan komisi PSE
(Pengembangan Sosial Ekonomi) di paroki untuk membantu perekonomian umat,
sehingga umat bisa keluar dari kemelut beban ekonomi dewasa ini.
Kemurnian Selibat
Selibat bukan sekedar
tidak menikah, tetapi yang lebih mendasar adalah menjaga kemurnian selibat.
Umat lebih disakiti menyangkut hal yang satu ini, karena ini adalah kebanggaan
terbesar umat dari para imam dan biarawan-biarawatinya.
Bila kemudian para imam
atau kaum biarawan-biarawati menodai kemurnian selibatnya, maka ini akan
sedemikian mengguncang iman umat. Banyak umat yang kemudian berpendapat,
"imam juga manusia", tetapi sebenarnya amat menyakiti hati umat.
Dirasa benar bahwa kebanggan mereka sirna, dan tidak ada lagi hal yang bisa
dibanggakan dari para imam atau biarawan-biarawatinya.
Saya berpendapat bahwa
para calon imam atau biarawan-biarawati perlu jujur dengan dirinya
masing-masing. Dan peran ini amat penting ditelusuri selama masa pendidikan dan
terus diperbarui setelahnya melalui pola pembinaan dan pendampingan yang
intens.
Dan lebih lanjut, bila
kemudian kejadian pengingkaran kemurnian selibat tetap terjadi, pendekatan yang
"super ketat" juga perlu diambil. Belajar dari kasus-kasus yang
pernah terjadi dengan pendekatan "pindah tempat tugas" ternyata tidak
berdampak positif.
Ini artinya jika ada
para imam atau biarawan-biarawati terjerat kasus-kasus besar maka Uskup atau
pemimpin tarekat hidup bakti atau tarekat hidup kerasulan perlu mengambil sikap
tegas seturut norma hukum kanonik.
***
Secara pribadi saya
amat mencintai Gereja. Serentak dengan itu pula amat bangga dengan Gereja
Katolik. Sebagai umat yang senantiasa loyal kepada Gereja, harapannya adalah
agar para imam atau biarawan-biarawati tetap setia dan jujur dalam menghayati
janji dan kaul-kaulnya secara total.
Bila pada akhirnya
tidak mampu berkanjang dalam janji dan kaul-kaul, maka perlu kiranya sikap
jujur terhadap diri sendiri, agar bijak menentukan pilihan hidup. Berani
mengambil sikap menjadi tanda kearifan.