Romo Gusti dan Mama Sindy, Gereja akan Ditinggalkan? (Goresan Akar Rumput Bunga Rampai)

Romo Gusti dan Mama Sindy, Gereja akan Ditinggalkan? (Goresan Akar Rumput Bunga Rampai)



Suara Numbei News - Dua atau tiga minggu terakhir, Gereja Katolik dihebohkan dengan kasus 
yang menimpa Romo Gusti dan Mama Sindy, yang nota bene Romo Gusti adalah seorang imam Keuskupan Ruteng, sedangkan Mama Sindy adalah seorang ibu dan istri dari seorang suami yang bernama Valentinus.

Lepas dari kebenaran yang masih simpang-siur, kasus ini ternyata telah menyita atensi publik teristimewa umat Gereja Katolik Keuskupan Ruteng dan Indonesia pada umumnya.

Kasus ini juga telah melahirkan beragam komentar yang berseliweran di media sosial. Ada komentar positif dan ada pula yang negatif. Dan secara pribadi, saya teramat terkejut membaca sebuah komentar yang mengatakan bahwa Gereja akan ditinggalkan, dengan merujuk pada kondisi terkini Gereja Eropa masa kini.

Pertanyaannya adalah apakah Gereja dan secara khusus Gereja Katolik Nusa Tenggara akan ditinggalkan? Biarlah Sang Waktu yang akan menjawabnya, dan biarlah waktu akan membuktikan semuanya. Tetapi yang pasti, jika Gereja dan secara khusus kaum klerus atau kaum tertahbis dan biarawan-biarawati tidak segera merefleksikan makna panggilan hidupnya secara jujur, maka segala hal mungkin saja bisa terjadi.

Secara kasat mata, saya mencatat dua hal pokok yang menyebabkan kemerosotan Gereja Nusa Tenggara dewasa ini. Dua hal yang dimaksud adalah transparansi pengelolaan keuangan dan kemurnian hidup selibat. Dalam mana kedua hal yang dimaksud telah melahirkan skeptisisme dan apatisme terhadap Gereja, yang pada akhirnya menjauhkan umat beriman dari aktivitas kehidupan menggereja.

Transparansi Keuangan 

Kehidupan Gereja tidak dapat lepas dari "uang" sebagai sarana yang memperlancar segala aktivitas menggereja. Pada kenyataannya umat tidak pernah mengeluh atau tidak memberikan kewajiban finansial untuk membantu pelayanan Gereja.

Namun demikian Gereja tidak dapat menutup mata terhadap beragam kasus besar yang telah melanda Gereja yakni korupsi dan pelayanan sakramen yang berorientasi "uang". Dan ditambah lagi dengaan penggunaan dan pertanggungjawaban yang jauh dari kata transparan.

Kedua hal ini pada akhirnya menjadi biang skeptisme dan apatisme umat. Bahkan tidak jarang melahirkan pemberontakan pribadi lewat sikap menjauhkan diri atau tidak mau terlibat sama sekali dalam kehidupan Gereja. Bahkan yang lebih buruk dari itu adalah tidak sedikit umat Gereja Katolik yang dengan terang-terangan mengaku akan berpindah Gereja atau bahkan berpindah agama.

Naif rasanya jika patokan dan tolak ukur iman adalah uang. Namun demikian, Gereja tidak dapat diam dan menutup mata terhadap kenyataan ini. Artinya bahwa Gereja perlu memikirkan cara yang tepat untuk mengelola keuangan Gereja secara jujur dan transparan.

Dan lebih lanjut adalah berkaitan dengan pelayanan sakramen-sakramen yang "menyandera" kebutuhan iman umat, pada hemat saya Gereja tetap harus berpatokan pada norma kanonik yakni "salus animarum suprema lex" (keselamatan jiwa-jiwa adalah hukum yang utama). Dan ini mengharuskan Gereja berpikir dan bekerja kreatif untuk menghidupi pelayanan Gereja dengan tidak serta-merta hanya mengaharapkan iuran atau dana-dana lain dari umat.

Pada akhirnya Gereja juga perlu menyadari fakta sosial bahwa umat dewasa ini hidup dalam tekanan ekonomi yang kuat karena beragam tuntutan hidup. Anehnya umat kemudian justru mendapat tekanan dari Gereja yang seharusnya memberikan "kelegaan" kepada umatnya.

Pada hemat saya paroki-paroki perlu kreatif menata kehidupan ekonomi paroki dengan memanfaatkan segala sarana dan aset paroki dengan bijak untuk membantu keberlangsungan kehidupan Gereja di paroki. Lebih lanjut, Gereja juga perlu memanfaatkan komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) di paroki untuk membantu perekonomian umat, sehingga umat bisa keluar dari kemelut beban ekonomi dewasa ini.

Kemurnian Selibat 

Selibat bukan sekedar tidak menikah, tetapi yang lebih mendasar adalah menjaga kemurnian selibat. Umat lebih disakiti menyangkut hal yang satu ini, karena ini adalah kebanggaan terbesar umat dari para imam dan biarawan-biarawatinya.

Bila kemudian para imam atau kaum biarawan-biarawati menodai kemurnian selibatnya, maka ini akan sedemikian mengguncang iman umat. Banyak umat yang kemudian berpendapat, "imam juga manusia", tetapi sebenarnya amat menyakiti hati umat. Dirasa benar bahwa kebanggan mereka sirna, dan tidak ada lagi hal yang bisa dibanggakan dari para imam atau biarawan-biarawatinya.

Saya berpendapat bahwa para calon imam atau biarawan-biarawati perlu jujur dengan dirinya masing-masing. Dan peran ini amat penting ditelusuri selama masa pendidikan dan terus diperbarui setelahnya melalui pola pembinaan dan pendampingan yang intens.

Dan lebih lanjut, bila kemudian kejadian pengingkaran kemurnian selibat tetap terjadi, pendekatan yang "super ketat" juga perlu diambil. Belajar dari kasus-kasus yang pernah terjadi dengan pendekatan "pindah tempat tugas" ternyata tidak berdampak positif.

Ini artinya jika ada para imam atau biarawan-biarawati terjerat kasus-kasus besar maka Uskup atau pemimpin tarekat hidup bakti atau tarekat hidup kerasulan perlu mengambil sikap tegas seturut norma hukum kanonik.

***

Secara pribadi saya amat mencintai Gereja. Serentak dengan itu pula amat bangga dengan Gereja Katolik. Sebagai umat yang senantiasa loyal kepada Gereja, harapannya adalah agar para imam atau biarawan-biarawati tetap setia dan jujur dalam menghayati janji dan kaul-kaulnya secara total.

Bila pada akhirnya tidak mampu berkanjang dalam janji dan kaul-kaul, maka perlu kiranya sikap jujur terhadap diri sendiri, agar bijak menentukan pilihan hidup. Berani mengambil sikap menjadi tanda kearifan.

Pada akhirnya Gereja juga perlu menyadari fakta sosial bahwa umat dewasa ini hidup dalam tekanan ekonomi yang kuat karena beragam tuntutan hidup. Anehnya umat kemudian justru mendapat tekanan dari Gereja yang seharusnya memberikan "kelegaan" kepada umatnya.

Pada hemat saya paroki-paroki perlu kreatif menata kehidupan ekonomi paroki dengan memanfaatkan segala sarana dan aset paroki dengan bijak untuk membantu keberlangsungan kehidupan Gereja di paroki. Lebih lanjut, Gereja juga perlu memanfaatkan komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) di paroki untuk membantu perekonomian umat, sehingga umat bisa keluar dari kemelut beban ekonomi dewasa ini.

Kemurnian Selibat 

Selibat bukan sekedar tidak menikah, tetapi yang lebih mendasar adalah menjaga kemurnian selibat. Umat lebih disakiti menyangkut hal yang satu ini, karena ini adalah kebanggaan terbesar umat dari para imam dan biarawan-biarawatinya.

Bila kemudian para imam atau kaum biarawan-biarawati menodai kemurnian selibatnya, maka ini akan sedemikian mengguncang iman umat. Banyak umat yang kemudian berpendapat, "imam juga manusia", tetapi sebenarnya amat menyakiti hati umat. Dirasa benar bahwa kebanggan mereka sirna, dan tidak ada lagi hal yang bisa dibanggakan dari para imam atau biarawan-biarawatinya.

Saya berpendapat bahwa para calon imam atau biarawan-biarawati perlu jujur dengan dirinya masing-masing. Dan peran ini amat penting ditelusuri selama masa pendidikan dan terus diperbarui setelahnya melalui pola pembinaan dan pendampingan yang intens.

Dan lebih lanjut, bila kemudian kejadian pengingkaran kemurnian selibat tetap terjadi, pendekatan yang "super ketat" juga perlu diambil. Belajar dari kasus-kasus yang pernah terjadi dengan pendekatan "pindah tempat tugas" ternyata tidak berdampak positif.

Ini artinya jika ada para imam atau biarawan-biarawati terjerat kasus-kasus besar maka Uskup atau pemimpin tarekat hidup bakti atau tarekat hidup kerasulan perlu mengambil sikap tegas seturut norma hukum kanonik.

***

Secara pribadi saya amat mencintai Gereja. Serentak dengan itu pula amat bangga dengan Gereja Katolik. Sebagai umat yang senantiasa loyal kepada Gereja, harapannya adalah agar para imam atau biarawan-biarawati tetap setia dan jujur dalam menghayati janji dan kaul-kaulnya secara total.

Bila pada akhirnya tidak mampu berkanjang dalam janji dan kaul-kaul, maka perlu kiranya sikap jujur terhadap diri sendiri, agar bijak menentukan pilihan hidup. Berani mengambil sikap menjadi tanda kearifan.

 


 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama