Lagi lima bulan ke
depan, rakyat Indonesia masih harus memenuhi hak dan kewajiban politiknya untuk
berpartisipasi dalam Pilkada yang merupakan bagian integral dari rezim Pemilu
di Indonesia. Sedikitnya terdapat 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia yang akan menggelar Pilkada secara serentak pada 27 November nanti.
Pilkada sebagai gelaran terakhir dari rangkaian Pemilu 2024 ini sudah
seyogyanya dijadikan sebagai pesta demokrasi bagi rakyat.
Dinamika
Historis
Saya hendak mengajak
sidang pembaca berkontemplasi sejenak secara historis mengenai proses pemilihan
pemimpin daerah di Indonesia. Semata-mata agar kita semua mensyukuri proses
yang kita miliki dan jalani hari ini. Sejarah membuat kita selalu belajar,
mawas diri, dan tidak lupa. Pada masa kolonialisme dan imperialisme Belanda di
Indonesia, pemilihan pemimpin di level daerah sangat ditentukan oleh rezim
kolonial.
Pemimpin pada level
provinsi adalah pemerintahan kolonial, sedangkan di bawahnya, yakni
kabupaten/kota, adalah pribumi-pribumi yang mendapatkan kepercayaan dari rezim
kolonial untuk memerintah saudara sebangsa dan setanah air mereka. Kondisi ini
memberikan pemaknaan bahwa kolonialisme di masa lalu telah mengorbankan hak
politik bangsa Indonesia. Elit lokal didudukkan sebagai 'boneka politik' untuk
berhadap-hadapan dengan saudara sebangsanya sendiri.
Ketika Indonesia
memasuki fase kemerdekaan, proses pemilihan pemimpin di level lokal sedikit
jauh lebih baik dibandingkan rezim kolonial imperial Belanda. Gubernur sebagai
pemimpin di level provinsi diangkat oleh presiden sebagai eksekutif tertinggi,
sedangkan pemimpin kabupaten sebagai wilayah administratif di bawah provinsi
dipilih oleh menteri dalam negeri.
Kondisi ini mengandung
makna bahwa pada masa itu, dengan segala dinamika politik yang berlangsung,
sirkulasi elit di level daerah atau lokal belum sepenuhnya demokratis.
Nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi daulat rakyat belum
terimplementasi dengan baik. Politik top-down sangat kental terasa.
Situasi ini masih bisa
kita mafhumi mengingat pada masa itu kita masih berproses sebagai bangsa dan
negara. Setidaknya apa yang terjadi pada masa itu menjadi pelajaran historis
yang bisa kita ambil hikmahnya bagi penguatan demokrasi saat ini.
Di era orde baru,
anasir-anasir demokrasi mulai menguat, meskipun belum dijalankan seutuhnya.
Pileg untuk wakil rakyat di parlemen, baik pusat maupun daerah, dijalankan
secara langsung dengan rakyat sebagai pemilih. Namun tidak dengan Pilpres dan
pemilihan kepala daerah. Rezim yang berlaku adalah rezim Pemilu representatif
untuk level eksekutif, dalam hal mana presiden, wakil presiden, gubernur,
bupati, dan wali kota dipilih oleh parlemen di level masing-masing.
Yang menjadi 'cacat
demokrasi' pada waktu itu adalah belum adanya batasan periode waktu berkuasa
untuk presiden dan wakil presiden, serta dijalankannya dwi fungsi ABRI yang
berdampak pada dikaryakannya pejabat militer aktif sebagai pejabat kepala
daerah. Situasi pada era orde baru ini bisa dikatakan sebagai 'setengah
demokrasi', yakni demokrasi yang belum sepenuhnya dijalankan sesuai kaidah.
Era pascareformasi
menjadi momentum dan titik balik pelaksanaan politik elektoral di level daerah
yang sesuai dengan norma demokrasi. Ketika amandemen konstitusi mengamanatkan
presiden dipilih langsung oleh rakyat maka Pilpres 2004 menjadi momentum
pelaksanaannya. Hal ini juga berlaku di level daerah ketika Pilkada secara
langsung dengan rakyat sebagai voters digelar pertama kali pada 2005, di era
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Demokrasi berjalan pada
jalurnya secara sempurna. Rakyat di daerah diberikan kebebasan untuk menentukan
pilihannya secara merdeka pada dua aras Pemilu, yakni legislatif dan eksekutif.
Baik kepala daerah maupun anggota parlemen di daerah memiliki legitimasi
masing-masing karena langsung dipilih oleh rakyat.
Sistem checks and
balances menjadi lebih hidup karena terbuka ruang dialektika yang lebar antara
eksekutif dan legislatif. Konsekuensi negatifnya tentu ada, seperti munculnya
dual legitimacy antara kepala daerah dan anggota parlemen karena masing-masing
mengklaim mendapatkan legitimasi langsung dari rakyat.
Proses historis yang
saya sampaikan di atas setidaknya menebalkan rasa syukur kita terhadap proses
demokrasi yang telah berjalan. Apa yang kita miliki hari ini merupakan proses
panjang nan berliku. Demokrasi bukanlah barang instan yang bisa diwujudkan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Kokohnya rezim Pilkada
Indonesia hari ini merupakan buah manis dari komitmen bangsa untuk memeluk
demokrasi. Selain perubahan mekanisme Pemilu dari representatif menjadi
langsung, ada faktor pendukung lainnya yang eksis, yakni kebijakan regulatif
dalam bentuk otonomi daerah, UU Pemerintahan Daerah, dihapuskannya dwi fungsi
ABRI, serta komitmen untuk mewujudkan pemerataan pembangunan sebagai tantangan
ekonomi Indonesia.
Kritik terhadap
sentralisasi pemerintah di masa lalu menjadi sumbu penyulut munculnya
separatisme GAM dan OPM. Ketimpangan menganga lebar antara Jawa dan luar Jawa.
Ini hanya bisa dijembatani apabila daerah diberikan kewenangan untuk mengatur
dan mengurus pemerintahannya sendiri, serta rakyat daerah diberikan keleluasaan
untuk memilih pemimpinnya sendiri secara langsung melalui Pemilu.
Tantangan dan Peluang
Tantangan pelaksanaan Pilkada
2024 saat ini sejatinya tidak mudah, terlebih lagi apabila kita melihatnya
dalam kerangka pembangunan nasional jangka panjang. Pembangunan nasional di
sini adalah pembangunan yang bersifat holistik, sinergis dan kolaboratif antara
pembangunan fisik dan pembangunan manusia.
Ketiadaan haluan negara
dalam proses pembangunan nasional kerap kali menimbulkan ketidakajegan dalam
kerja-kerja rezim yang memerintah. Seringkali antara satu rezim dengan yang
lainnya tidak berkesinambungan dan saling menegasikan. Demikian pula halnya
dengan kolaborasi antara pusat dan daerah yang kerap terkendala karena visi
misi yang berbeda antar-level pimpinan.
Argumentasi yang
dipakai adalah dipilih langsung oleh rakyat. Klaim legitimasi ini menimbulkan
perbenturan satu sama lain. Tak heran jika ada program kerja pemerintah di
level pusat berbeda dengan level provinsi, demikian pula halnya dengan level
provinsi yang berbenturan dengan level kabupaten/kota.
Tantangan lainnya
adalah kontribusi pemerintahan daerah terhadap penguatan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi pada level nasional dikontribusi oleh pertumbuhan ekonomi
di level daerah. Apabila ada sumbatan atau kendala dalam memacu pertumbuhan
ekonomi di level daerah, maka berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi di level nasional.
Indonesia adalah negeri
yang kaya akan sumber daya alam. Otonomi daerah menjadi jendela bagi
masing-masing daerah untuk mengoptimalkan kapasitas dan kontribusi mereka
masing-masing. Namun demikian, apa yang seharusnya terjadi tidak senyatanya
terwujudkan.
Papua misalnya,
meskipun kaya sumber daya alam, tapi masih berstatus sebagai wilayah
administratif yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya. Ada problematika yang
melekat pada rezim pemerintahan daerah, jamaknya adalah tata kelola yang belum
sepenuhnya mengakomodasi prinsip good and
clean governance.
Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, ada juga peluang-peluang yang perlu
kita optimalkan bersama. Partai politik sebagai pilar demokrasi semakin besar
kontribusinya dalam perbaikan sistem dan tata kelola politik pemerintahan.
Dinamika dan sikap politik ada aras Pilpres dan Pileg tidak selalu berjalan
paralel dengan dinamika daerah. Sederhananya, meskipun satu parpol tidak
berkoalisi dengan parpol lain di Pileg, akan tetapi peluang koalisi terbuka
pada Pilkada.
Bagi mereka yang
skeptis, ini disebut sebagai pragmatisme politik. Namun dalam kaca mata politik
kemaslahatan, yang terjadi adalah kapasitas dan kebijaksanaan parpol dalam
menangkap aspirasi dan dinamika yang berkembang di level daerah. Parpol yang
matang akan lebih mendengar aspirasi rakyat mengenai kandidat mana yang
prospektif untuk diusung, sehingga perbedaan sikap pada aras Pemilu lainnya
bisa dijembatani.
Peluang lainnya adalah
besarnya postur generasi muda sebagai voters pada Pilkada nanti. Dinamika sosio
politik ini perlu dengan cermat disikapi oleh parpol. Dibukanya kesempatan oleh
banyak parpol bagi tokoh-tokoh muda untuk berpartisipasi dalam Pilkada
sejatinya merupakan bentuk kepekaan dan kebajikan yang dimiliki oleh parpol
sebagai pilar demokrasi.
Saya pribadi berharap
gelaran Pilkada 2024 ini menjadi ajang pesta bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat yang memiliki hak pilih harus menunaikan kewajibannya untuk memberikan
suara di bilik suara sebagai bentuk partisipasi politik. Rakyat sebagai pemilih
jangan sungkan untuk berpartisipasi sejak dini dalam proses penjaringan calon
oleh parpol.
Mereka berhak
menyuarakan dukungan bagi figur-figur yang mereka anggap kompeten. Mereka juga
berhak untuk mengkritisi jika ada parpol yang mengusung calon-calon yang
bermasalah secara hukum.
Bagi pemerintahan
terpilih ke depan, Pilkada ini menjadi momentum untuk mengakselerasi
program-program yang telah dicanangkan. Target pertumbuhan ekonomi yang dipatok
8 persen oleh presiden terpilih Prabowo Subianto akan lebih mudah tercapai
apabila dalam Pilkada kali ini terpilih figur-figur yang mumpuni dalam
mengelola potensi sumber daya alam daerah, sehingga dapat memacu pertumbuhan
ekonomi di daerah semaksimal mungkin yang berkontribusi pada pemenuhan target
pertumbuhan ekonomi nasional.