Seorang pemimpin akan
direkam tingkah pola, tutur dan perilakunya oleh teknologi. Implikasinya
semakin menyulitkan para pemimpin untuk dapat membohongi masyarakat, meskipun
berbohong merupakan tabiat utama seorang politisi.
Tetapi, di sisi lain
algoritma teknologi pun membahayakan pada beberapa segmen politik yang akan
semakin mempolarisasi masyarakat. Misalnya, algoritma kerap kali menawarkan
hal-hal yang disukai oleh si pengguna tanpa kemudian mengonfirmasi nilai-nilai
etis atau pun kebenaran di dalamnya.
Saat-saat seperti
inilah kemudian arus teknologi yang semakin massif ini perlu untuk diimbangi
dengan perilaku praktis politik yang beroerientasi pada nilai-nilai etis yang
penuh keugaharian dan sadar diri.
Sosok-sosok pemimpin
yang hadir dalam drama panggung politik harus memiliki rasa tahu malu karena
jika tidak maka pemanfaatan teknologi dengan segala konsekuensinya akan
ditrabas.
Hal ini, senantiasa
berkaitan dengan paradigma berpolitik, sekurangnya paradigma politik utamanya
di Indonesia selalu berada pada dua kutub: Kalah-Menang (Kenarokisme) atau
Kesatriya (politik demokratis).
Paradigma pertama
selalu menisbatkan politik pada persoalan kalah-menang, melepaskan proses pada
persoalan yang luhur, pokoknya asal menang saja. Kalah merupakan sesuatu yang
hina, maka dalam prosesnya pelanggaran etika dan lain semacamnya adalah halal.
Di media sosial,
paradigma pertama ini selalu meniscayakan keterpecah belahan, penghembusan isu
meskipun hal itu tendensius dan bohong serta ujaran kebencian adalah hal yang
dianggap normal dalam politik.
Hal ini tentunya
berbanding terbalik dengan pandangan kedua yang mendudukan politik pada
nilai-nilai yang luhur, politik dijadikan acuan untuk merealisasikan ide-ide
pembangunan. Maka, masyarakat dididik untuk dapat berdiri di atas kaki sendiri
baik secara intelektualitas atau pun pada program kerja yang dirumuskannya.
Masyarakat tidak
dididik menjadi manja dengan hanya mengharapkan pemberian semata, masyarakat
tidak diajarkan untuk hanya berpangku tangan saja menerima uluran bantuan
pemerintah yang senyatanya banyak menggembosi APBN.
Melainkan, masyarakat
diberikan kesempatan yang setara dan sama dengan pemberian ruang-ruang kerja
kreatif sekaligus inovatif untuk mengembangkan kemampuannya, hal ini ditopang
pula dengan pendidikan politik dan literasi digital yang mapan.
Sayangnya, pemilu bulan
februari 2024 lalu belum bisa menampilkan paradigma kedua ini, kita masih
terjebak dalam paradigma pertama sehingga tidak memberikan gambaran yang lebih
jelas pada konteks pembangunan nasional ke depan.
Mengharapkan Pemimpin
yang Mampu Menata
Akan tetapi, kita tetap
musti berharap. Pada pemilukada 2024 mendatang, semoga ada pemimpin yang mampu
menata baik menata pikiran, menata kata, dan menata kotanya masing-masing.
Dengan semakin
massifnya perkembangan teknologi tak sedikit banyak pemuda yang akhirnya
memiliki ketertarikan untuk dapat tampil sebagai pemimpin yang mampu menata.
Di beberapa wilayah
misalnya muncul sosok-sosok muda yang digadang-gadang akan maju pada kontestasi
mendatang, Jakarta punya Kaesang-terlepas dari segala kontroversi putusan MA.
Di Cianjur mempunyai
Gardian Muhamad yang digadang-gadang masuk radar calon wakil bupati atau Haji
Ayung (Sahrul Latief) telah banyak mendapat atensi dari golongan mahasiswa dan
pelajar bahwa ia disebut pantas duduk sebagai orang penting di Cianjur, di
Bandung sendiri muncul sosok Faridz Nurul Mubaraq yang disebut akan tampil pada
kontestasi Pilwalkot Bandung.
Masyarakat bisa
memantau nama-nama calon pemimpin yang ada di daerahnya masing-masing untuk
kemudian mendalami bagaimana rekam jejak, visi dan etikabilitasnya sebagai
calon pemimpin.
Dan beruntungnya,
teknologi telah mempermudah hal tersebut, seseorang bisa melakukan tracking
terhadap sosok calon pemimpin yang akan tampil dan kemudian dapat membagikannya
pada masyarakat banyak.
Hal ini tentunya suatu
langkah evolusioner dalam rangka mencari sosok pemimpin yang mampu menata untuk
perbaikan bangsa dan negara ke depannya. (*)