FN menyatakan ketidaksetujuannya
terhadap kesepakatan yang melibatkan denda sebesar 200 juta rupiah, serta
berbagai barang adat, dan menegaskan bahwa kasus ini harus diselesaikan melalui
jalur hukum.
Penolakan ini
disampaikan FN setelah dilaporkannya kasus tersebut ke Mapolres Malaka pekan
lalu. Kapolres Malaka, Rudi Junus Jacob Ledo, melalui Kasat Reskrim Salfredus
Sutu, menyatakan bahwa penyelidikan sedang berlangsung sesuai dengan aturan dan
mekanisme yang berlaku.
Pihak kepolisian
berjanji akan memberikan perkembangan terbaru kepada pihak pelapor.
FN mengungkapkan bahwa
kesepakatan damai adat dibuat tanpa sepengetahuannya dan melibatkan tetua adat
dari Desa Kamanasa serta keluarga terduga pelaku, yang merupakan ASN aktif di
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Malaka.
Kesepakatan ini meliputi
satu lembar kain adat perempuan, satu kumbang sopi, satu ekor ayam jantan, satu
ekor sapi, dan uang tunai sebesar 200 juta rupiah.
FN merasa dipaksa untuk
menandatangani kesepakatan tersebut, yang menurutnya tidak menghargai martabat
dan kehormatan anaknya.
"Saya tidak setuju
dengan kesepakatan ini karena anak saya bukan untuk dihargai dengan uang 200
juta. Kasus ini harus diajukan ke penegak hukum untuk mendapatkan
keadilan," tegas FN.
Reaksi FN yang menolak
kesepakatan damai adat sepihak ini menimbulkan dukungan dari berbagai kalangan
masyarakat yang mendesak agar proses hukum tetap berjalan transparan dan
adil.
Mereka berharap pihak
berwenang bisa menyelesaikan kasus ini tanpa adanya intervensi dari pihak mana
pun.
Ketidaksetujuan FN terhadap
kesepakatan damai adat juga menjadi sinyal penting bagi aparat dan masyarakat
untuk lebih menghargai hak-hak korban dan keluarganya dalam kasus-kasus seperti
ini.
Proses hukum yang adil
dan transparan diharapkan bisa memberikan keadilan bagi korban dan mencegah
terjadinya kesepakatan sepihak di masa depan. *** gardaindo.com