Tetapi, di sisi lain
dapatlah dikatakan bahwa perceraian itu sebagai sebuah model pertanggungjawaban
sekaligus tindakan jujur. Jujur bahwa keduanya mengakui kalau mereka memang
telah membagi kehangatan tubuh dan menghalalkan segala cara karena terdorong
oleh magma desakan cinta yang meluap panas di antara mereka. Bergelora.
Mama Sindy dan Pastor
Gusti jujur, fair. Mereka memutuskan cerai agar keduanya tidak hidup dalam
selimut kemunafikan seumur hidupnya. Keduanya jujur mengakui bahwa mereka
saling mencintai satu terhadap yang lain.
Pastor Gusti tentu saja
sadar tidak hanya pada sebabnya, tetapi juga sadar pada akibatnya. Dirinya
mencintai Mama Sindy, begitupun sebaliknya. Cinta di antaranya meminta
pertanggungjawaban sekaligus kerendahan hati untuk bersikap jujur pada keadaan.
Karena itu, meskipun
keduanya bertindak tidak adil terhadap anak dan suami pertamanya Mama Sindy,
tetapi keduanya toh telah sanggup berlaku jujur terhadap keadaan hubungan di
antara mereka. Kejujuran itu penting, baik dan perlu. Tuhan tahu, tetapi Dia
tidak menyahut.
Banyak kasus sejenis
terjadi pada orang yang berstatus sosial persis sama dengan perilaku Pastor
Gusti dan Mama Sindy. Kita tahu itu. Tetapi,
mereka tidak berani jujur dan tidak siap bertanggung jawab.
Pastor yang tidak jujur
pastilah bertabiat buruk dan busuk. Jubah yang dikenakan hanya semacam
pembungkus palsu. Tembok biara hanya tameng sosial. Pasangan selingkuhnya pun
sama buruknya. Mereka hidup dalam selimut kemunafikan untuk seumur hidupnya. Tuhan tahu, tetapi Dia tidak menyahut.
Pasangan selingkuhan
yang demikian mengambil jalan munafik seumur hidup demi merawat topeng monyet
egoisme dangkal.
Maka saya salut
terhadap sikap Pastor Gusti dan Ny. Gusti alias Mama Sindy. Keduanya tegas
memilih hidup bersama sebagai suami istri. Papa mama produk mesin selingkuh.
Saya berdoa untuk
mantan suami dan terutama anak-anak dari Mama Sindy. Batin mereka pasti telah
sungguh sangat terluka. Tetapi itulah sejarah. Tuhan tahu tetapi Dia tidak
menyahut.
Peristiwa Pak Gusti dan
Mama Sindy ini mengingatkan saya pada kisah tragika di novel karya Morris West,
novelis terkenal Australia.
West melukiskan dengan
sempurna bagaimana dendam seorang anak pada ibu dan pria selingkuhannya yang
berujung pada pembunuhan tragis di sebuah tempat di Italia.
***
Tidak ada maksud
terselubung selain sebagai sebuah curahan isi hati untuk belajar bersama
sebagai Umat Allah, entah sebagai hirarki maupun awam, agar di masa depan
Gereja dapat meminimalisasi kasus yang menodai Gereja yang Satu, Kudus, Katolik,
dan Apostolik.
Kita kembali ke kasus
yang menimpa Romo Gusti dan Mama Sindy. Berdasarkan hasil klarifikasi Romo
Gusti maupun suaminya, terdapat kesamaan perihal kedua belah pihak yang sudah
dianggap seperti keluarga sendiri, sehingga sudah amat biasa berkumpul bersama.
Bagi saya secara pribadi, hasil klarifikasi keduanya menunjukkan ada sesuatu yang salah. Kesalahan itu yang kemudian berujung pada dugaan "skandal" yang menodai wibawa Gereja lokal maupun Gereja Universal.
Selibat-Menikah
Selibat (tidak menikah)
dan menikah merupakan panggilan. Keduanya dipanggil menuju kekudusan hidup.
Selibat dipanggil menjadi kudus lewat hidup tidak menikah. Dalam "status
tidak menikah" ini mereka berjuang untuk hidup suci demi memperjuangkan
Kerajaan Allah.
Sebaliknya seorang
awam, melalui "status menikah" mereka berjuang menjadi kudus dalam
seluruh pergumulan hidup mereka di tengah dunia.
Saya mengulangi
pernyataan ini, "Selibat bukan sekedar tidak menikah, tetapi yang lebih
mendasar adalah menjaga kemurnian selibat". Kalau sekedar tidak menikah,
maka di tengah masyarakat teramat banyak orang yang tidak menikah dengan
beragam alasan.
Namun demikian, hidup
selibat sebagai sebuah panggilan adalah panggilan dan pilihan menjadi kudus,
hidup murni/suci demi melayani Allah dan sesama. Ini berarti bahwa panggilan
menjadi "kudus, murni/suci" merupakan usaha yang berlangsung
sepanjang hayat untuk tetap menjadi kudus/suci/murni dalam kerapuhan manusiawi
mereka.
Ini bisa terjadi
melalui beragam cara dan sarana. Salah satunya adalah menjalin dan menjaga
pergaulan yang sehat dengan semua orang.
Pertanyaannya, apakah
hasil klarifikasi dari dugaan skandal tersebut adalah pergaulan yang sehat?
Bagi saya jelas tidak sehat!!! Alasannya adalah panggilan selibat berarti
bergaul dengan semua orang yang berdasar pada cinta tanpa pamrih dan cinta yang
tidak mengikat diri kepada atau untuk orang-orang tertentu saja.
Relasi eksklusif
seorang selibater pada kenyataannya amat berbahaya karena telah mengikat diri
kepada orang/kelompok tertentu, yang pada akhirnya bisa mengabaikan orang lain.
Dan pada akhirnya dapat menjerumuskan seorang selibater kepada cinta eksklusif
yang seharusnya menjadi ciri khas panggilan hidup menikah bagi seorang awam.
Saya mencatat satu hal
yang kiranya menjadi atensi bagi seorang calon atau seorang selibater. Ini
berkaitan dengan kebiasaan para calon atau seorang selibater yang kerap mencari
"orang tua asuh".
Secara pribadi saya
teramat risih dengan hal ini. Apalagi biasanya "orang tua asuh" yang
dicari adalah orang-orang berduit, dan ditambah lagi dengan paras yang
"cantik". Yang pada akhirnya akan berlanjut pula ke relasi baru
dengan "kakak asuh", "adik asuh", "tetangga asuh"
dan seterusnya.
Ini perlu menjadi perhatian
serius. Seorang calon atau selibater adalah mereka yang terpanggil untuk
mencintai dan melayani semua orang. Ciri dasarnya adalah cinta inklusif dan
bukan cinta eksklusif.
Ditambah lagi sering
berkunjungnya seorang calon atau selibater kepada "orang-orang tertentu
ini" akan melahirkan perasaan tidak puas bagi umat yang tidak menjadi
"orang tua asuh", yang nota bene adalah umat yang seharusnya juga
mendapatkan cinta dan perhatian yang sama dari seorang yang terpanggil secara
khusus.
Menikah-Selibat
Hidup menikah juga
adalah panggilan menjadi suci/kudus. Melalui hidup menikah, seorang laki-laki
mengikat dirinya secara utuh/total kepada seorang wanita yang dicintainya untuk
seumur hidup, dan sebaliknya. Relasi cinta dalam hidup menikah bersifat eksklusif,
terbatas kepada orang tertentu saja.
Dalam konteks hidup
menikah, relasi inklusif yang bersifat tertutup adalah pengingkaran terhadap
cinta yang seharusnya tertuju kepada orang tertentu saja.
Bahaya yang kerap
terjadi adalah ketika salah satu pihak membuka diri kepada orang-orang tertentu
untuk masuk dan menjadi bagian dalam relasi hidup mereka. Biasanya ini akan
berujung pada tindakan pengingkaran lewat perselingkuhan.
Perselingkuhan bisa
terjadi karena ada ruang yang diberikan kepada orang lain. "Ruang"
yang dimaksud adalah "hati", "rumah" dan "kamar".
Yang seharusnya ruang-ruang ini adalah ruang privat.
Untuk menjaga hidup
menikah maka teramat penting untuk menjaga ruang "hati",
"rumah" dan "kamar" tetap menjadi ruang privat. Relasi
dengan orang lain itu penting sebagai perwujudan realitas kemanusiaan, namun
tetap harus menjaga relasi dan ruang privat yang hanya berlaku untuk diri
sendiri dan orang tertentu saja.
Ini berlaku pula dalam
relasi antara seorang yang menikah dan seorang selibater. Relasi mereka adalah
relasi "gembala" dan "domba". Relasi di antara mereka
adalah saling menguatkan lewat doa dan perhatian yang seperlunya, tanpa harus
memasuki dan mendatangi wilayah privat-nya masing-masing.