Dugaan mengenai adanya
karya sastra “rekomendasi” yang mengandung seksualitas, vulgar, dan berbau LGBT
pun disuarakan sejumlah pihak, termasuk para aktivis yang memiliki perhatian
terhadap dunia pendidikan. Pihak terkait pun melakukan klarifikasi dan menyatakan
akan menarik dan merevisi buku setebal 700-an halaman itu.
Kehadiran buku kumpulan
resensi ini sebetulnya akan sangat membantu guru dalam mengajarkan karya sastra
kepada siswa di sekolah. Sebab, selain ulasan, di dalamnya ada petunjuk
penggunaan. Minimal, buku panduan ini dapat menjadi referensi tambahan untuk
memperkaya wacana bagi guru yang mungkin dalam kesehariannya tidak terlalu
banyak waktu untuk meluangkan waktu membaca buku secara utuh.
Mendongkrak Literasi
Dalam pengantar buku
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra disebutkan bahwa program ini
bertujuan sangat mulia, yakni menguatkan kompetensi dan budaya literasi
membaca. Hal yang memang erat sekali kaitannya dengan sastra dan segala
kompleksitasnya. Sastra diyakini dapat menjadi “jalan ninja” untuk meningkatkan
daya baca, kreativitas, dan nalar masyarakat.
Munculnya program ini
memang sebenarnya menggembirakan. Di tengah kelesuan minat baca dan daya beli
buku masyarakat Indonesia, upaya untuk mendekatkan karya sastra menjadi “oase
di padang tandus”. Lesunya daya baca dan daya beli buku memang begitu kompleks
jika dijabarkan. Namun, dengan mencuatnya isu-isu di media sosial belakangan
ini, penulis berharap masyarakat benar-benar peduli pada literasi. Bukan hanya
protes ketika menemukan secuil kekeliruan dari 700-an halaman, tapi cuai untuk
membangun daya baca.
Daya baca yang rendah
memang dipengaruhi berbagai faktor. Salah satunya adalah sulitnya mengakses
bahan pustaka, mahalnya harga buku, dan lemahnya peran instansi pendidikan
dalam menanamkan cinta terhadap buku. Bayangkan, di tengah gempuran konten
video “layar vertikal”, anak-anak usia sekolah saat ini berjarak sangat jauh
dengan buku. Sementara, daya baca tidak bisa dipupuk dengan menonton video yang
polanya satu arah. Berbeda dengan menonton video, dalam proses membaca buku,
kita diajak untuk berpikir, menyelidiki, mencari tahu, dan tidak menyimpulkan
dengan begitu saja.
Mirisnya, masih ada
sekolah yang tidak memiliki fasilitas baca atau perpustakaan yang memadai.
Perpustakaan masih dipandang sebelah mata, sehingga dikelola pun setengah hati.
Koleksi yang tersedia kurang menarik minat, tidak tersedianya program
perpustakaan yang “menggiurkan”, dan tidak terintegrasinya proses pembelajaran
dengan pemanfaatan perpustakaan sehingga siswa hanya berkunjung saat “terpaksa”
bukan karena pembiasaan dan kesukarelaan. Apatah lagi persepsi “sekolah yang
bagus itu dilihat dari perpustakaannya” agaknya masih belum menjadi pemikiran
mayoritas masyarakat kita yang kebanyakan “tergiur” oleh peringkat dan iklan
sekolah di media sosial.
Inti dari pembicaraan
ini sebetulnya adalah bagaimana upaya mendongkrak literasi itu dapat berjalan
tidak hanya mengandalkan apa yang diluncurkan oleh Kemendikbud lewat
programnya. Namun, peran-peran aktif-kontributif masyarakat juga sangat
menentukan karena “rekomendasi” sebagus apa pun yang diluncurkan pemerintah
akan mentah jika tidak ada kesadaran dari diri kita sendiri.
Kurikulum Tak Tampak
Menurut Endaswara
(2012), “sastra itu cermin pemikiran hidup. Sebagai refeleksi pemikiran, sastra
juga menyuarakan sebuah kebenaran hidup. Kalau begitu, sastra, pemikiran, dan
hidup tidak bisa dipisahkan.” Tentu, “kebenaran hidup” di sini dapat bersifat
sangat “relatif” karena setiap karya sastra ditulis oleh pengarang yang bisa
jadi memiliki sudut pandang, kondisi, dan konteks tertentu. Kita dapat belajar
mengenai apa pun yang berkaitan dengan kehidupan dari karya sastra.
Bukan tugas kita
mengarahkan seseorang harus membaca karya sastra seperti apa, bergenre apa, dan
bermuatan apa. Yang terpenting adalah membiarkan anak-anak kita membaca dengan
bebas, sebanyak mungkin bacaan. Jangan ditaburi ketakutan-ketakutan, sementara
di medsos mereka mendapat rerupa asupan yang bahkan bisa jauh lebih buruk
dampaknya. Percayalah, karya sastra bukanlah “kitab doktriner” yang sekali
membaca, apalagi hanya membaca ulasannya, lantas anak akan percaya dan
menjadikannya pegangan hidup. Justru dengan membaca banyak dan ragam karya
sastra kita dapat “pede” generasi ke depan akan lebih terbuka, kritis, dan
mampu menyaring baik-buruk tanpa harus “ditakut-takuti”.
Selain itu, penempatan
karya sastra dalam kurikulum juga sangat penting. Sebab, sastra sendiri di
dalamnya terdapat kurikulum tak tampak (hidden curriculum) yang sebetulnya
dapat ditangkap oleh pembaca secara mandiri. Saking tidak tampaknya, kadang hal
yang esensial ini justru tidak dilihat sama sekali. Dengan program Sastra Masuk
Kurikulum, sebetulnya kita sedang berupaya menampakkan (meng-unhide) tentang
apa, mengapa, bagaimana, dan untuk apa mempelajari karya sastra, khususnya
dalam pembelajaran di sekolah.
Akhir kalam, penulis
berharap buku yang diluncurkan Kemendikbud ini dapat tetap beredar, meskipun
harus lebih dulu “ditarik dan revisi konten”. Tentu, tidak berarti karya sastra
yang tidak masuk ke dalam buku ini tidak direkomendasikan menjadi bacaan.
Justru kita harus menyadari bahwa karya sastra Indonesia amat kaya dan sayang
untuk dilewatkan. Ditunggu hasil revisinya ya, Mas Menteri.