Sahabat dan teman
karibmu meninggalkanmu, keluarga juga seolah meninggalkanmu, padahal sebenarnya
tidak. Dirimu hanya sedang hampa.
Dirimu mungkin memilih
mengelola sendiri kepahitan hidup menjadi manis untuk dikecap.
Keluar, keluarlah dari
lubuk kesedihanmu, begitu kira-kira isi mantra patah hati. Iya seperti diriku
yang ringan kaki melangkah ke mana aku suka.
Keras hati dan keras
kepala terkoneksi dengan sempurna. Kaki menghentak keras, bumi mendengar
kemarahan yang terpendam.
Begitulah, mulut tak
bicara tapi hati bercakap-cakap dengan riuhnya. Sampai aku lupa, aku berada di
mana ini?
Sebuah rumah kayu di
pinggir hutan. Oh, apakah aku seorang putri yang dibuang ke hutan. Lalu memakan
buah apel dan tertidur selamamya, kemudian menunggu sang pangeran membangunkan
dari tidur panjang. Ah itu dongeng.
Aku mulai mencubit
pipi, ini bukan mimpi. Aku mengitari rumah yang ternyata jendela belakangnya
terbuka. Aku kembali berimajinasi, jangan-jangan rumah perompak. Ingin rasanya
mengambil langkah seribu.
"Eit, mau ke mana
nak," sebuah sapaan terdengar di telinga. Seorang nenek sedang asyik
mengunyah daun sirih. Air liurnya berwarna merah pekat di sudut bibir.
Aku terpana. Nenek
sihir, yang jahat sedang ingin menjebak mangsanya, begitu terlintas di pikiran.
Tapi, ini tahun 2024, zaman kuda gigit roti, mustahil.
"Nek, saya kesasar
tdak tahu jalan pulang," akhirnya keluar juga suaraku terbata.
"Jangan kuatir,
nanti diantar pulang," nenek itu berkata. "Ayo masuk!"
Dengan pasrah, aku
mengikuti sang nenek yang bernama Nenek tua, duduk di bangku kayu. Nenek tua mengambil
sirihnya yang baru. Dibersihkannya dengan kain bersih, diambilnya koba/kabir (tempat sirih pinang orang Timor),
kapur sirih, pinang dan dilipatnya daun sirih tersebut. Dia mulai mengunyah dan
menawari ikut makan sirih.
Aku menirukan Nenek tua
renta itu meramu sirih, mengambil sirih, gambir, kapur dan pinang.
Mengunyahnya, terasa kelat dan pedas. Ingin meludah cepat-cepat.
Kami mulai bercakap, sang
Nenek menceritakan bahwa sudah 60 tahun hidup sendiri di pinggir hutan. Semua
gara-gara minggat dari rumah karena kemarahan pada keluarga.
Hidup ini seperti
mengunyah sirih. Kelat tapi bermanfaat. Engkau tahu nak, aku telah mengingkari
filosofi sirih pinang. Sejatinya sirih seperti kulit manusia, pinang adalah
daging, dan air ludah yang berwarna merah adalah darah. Bersatu dalam satu
kesatuan. Dan aku malah memilih pergi, memecah diri pergi dari keluarga.
Karmanya, aku akan mati
sendiri, tanpa keluarga tanpa siapa-siapa. Mata Nenek Tua berlinang, dia
melempar ludah terakhir. Sirih terakhir malam ini.
Aku tercenung,
pelajaran kehidupan yang harus direnungi. Mungkin rasa sombong Nenek Rabiah di
masa muda seperti gejolak diriku kini. Pergi membawa masalah bukan berarti
masalah usai. Atau masalah itu ada pada diriku.
"Nek, aku mau
pulang dan aku tahu ke mana arah harus pulang," ujarku.
"Hati-hati di
jalan," Nenek tua terkekeh.
Aku bergegas pulang,
menoleh ke belakang ingin melambai pada Nenek Rabiah. Aku mengucek mata, di
mana rumah Nenek tua tadi? Seperti tertutup kabut atau memang tak ada?
Aku masih mengenggam
satu ramuan sirih pinang dari Nenek Rabiah, mengunyahnya dan ingin cepat
pulang.