Pater Franz Magnis-Suseno, SJ |
Rangsel itu tampak
penuh. Tapi ia tak minta bantuan supir yang mengatarnya. Mei ini, Guru Besar
Emeritus ini akan merayakan HUT Ke-88. Kendati tak mengajar rutin lagi, Pater
Magnis atau Romo Magnis sapaannya, mengaku tak kurang pekerjaan. Berikut
petikan wawancara wartawan HIDUP/HIDUPtv dengan kelahiran Jerman, 26 Mei 1936.
Apa makna bertambahnya usia bagi
Pater?
Bagi saya, itu sesuatu
yang tidak saya pikirkan. Karena saya sibuk menyelesaikan segala macam
pekerjaan dan permintaan. Apakah saya berumur 87 atau 88 tahun, itu terserah
pada Tuhan.
Artinya HUT itu sesuatu yang biasa
saja?
Bagi saya itu biasa
saja. Tidak perlu dirayakan.
Apakah tiap HUT ada ucapan dari
keluarga di Jerman?
Saya punya dua adik.
Saya kira mereka akan kirim WA. Tapi, tentu itu sedikit dirayakan dalam
komunitas Jesuit, di Kolese Hermanum. Biasanya makan malam bersama. Kali ini
akan dirayakan di kampus STF Driyarkara ini.
Di usia mendekati 90
tahun ini masih beraktivitas seperti mengajar, memberi seminar dan lain-lin.
Bagaimana Pater menjaga stamina supaya tetap kuat, sehat, dan bahagia?
Sekarang ini, secara
teratur saya tidak mengajar lagi. Saya hanya mengajar sedikit di matrikulasi.
Saya sudah terlalu tua. Kalau yang tua-tua terus mengajar, kapan yang muda-muda
mengajar. Tapi, saya masih banyak diminta menjadi pembicara dalam seminar.
Kalau orang merasa butuh, saya penuhi. Saya juga masih mau menerbitkan 2-3 buku
yang harus saya persiapkan. Jadi, pekerjaan tidak kurang.
Idealisme masih tinggi?
Selama bisa, ya
kerjakan. Kalau sudah tidak bisa lagi, ya terima saja. Saya kira penting juga
menerima bahwa kita menjadi tua. Apalagi di Indonesia, menjadi tua itu
menguntungkan. Di sini, orang besar hati dengan orang tua, memaafkan, mengerti,
membantu. Jadi enak menjadi tua. Ya, bahagia.
Bagaimana Pater memaknai
kebahagiaan?
Terus terang saja, saya
tidak pernah memikirkan kebahagiaan saya. Enggak punya waktu untuk saya
pikirkan. Saya kira saya merasa bahagia. Pokoknya saya masih banyak pekerjaan.
Rupa-rupanya saya masih bisa memenuhi kebutuhan orang lain. Itu memuaskan juga.
Itu saja. Jadi saya, tidak memikirkan apakah saya bahagia atau tidak.
Bukankah kebahagiaan juga
dipikirkan para filsuf?
Ya. Aristoteles
mengatakan, tujuan manusia adalah menjadi bahagia. Akan tetapi tidak bisa
tercapai kalau mau menjadi bahagia. Tetapi dengan mengembangkan roh dan
mengembangkan kesosialan; hubungan dengan orang lain. Bisa dari keluarga, bisa
dari teman, bisa dalam pekerjaan. Pokoknya, kita akan merasa bahagia kalau bisa
membahagiakan orang lain. Kebahagiaan itu di orang lain bukan sendiri.
Selama menjadi Jesuit, apakah
merasa bahagia?
Katakan saja bahwa saya
tidak pernah tidak merasa bahagia. Jadi itu berarti bahagia (tersenyum).
Konon, seorang Jesuit
harus bisa menemukan Allah dalam segala bidang atau bentuk karya. Pater di
bidang filsafat. Apakah menemukan Allah itu dalam filsafat?
Ini kan suatu hal yang
lama-lama perlu dihayati. Bisa dengan mudah kami, para Jesuit diajar menemukan
Allah dalam segala-galanya. Itu tentu bisa gampang, bisa tidak gampang.
Gampang karena kita tidak perlu memaksakan sesuatu. Tidak gampang karena itu
kita mengandaikan kita melepaskan diri kita sendiri.
Kalau saya mencari
keuntungan kekuasaan, pemenuhan perasaan saya, tidak berarti saya bersama
dengan Tuhan. Diharapakan bisa bersama dengan Tuhan bukan dengan diri saya
sendiri. Saya kira seorang Jesuit, tidak hanya Jesuit, akan merasakan bahwa apa
yang dia alami termasuk, dengan kesalahan, dosa itu, Tuhan beserta dia. Itu
memberi suatu kebahagiaan juga.
Apakah rutin mendoakan brevir atau
misa tiap hari?
Saya tentu selalu tiap
hari. Misa komunitas secara teratur, misa pribadi, juga rutin misa dalam
komunitas berbahasa Jerman, dan sebagainya. Misa dalam arti tertentu adalah
pusat setiap hari. Saya akan merasa miskin kalau tidak ada Misa. Kurang
sesuatu.
Dari Latihan Rohani, apa yang Pater
paling sukai?
Saya sudah tidak punya
Latihan Rohani yang khusus. Saya mencoba untuk selalu mengikutsertakan Tuhan.
Apapun yang saya alami yang saya kerjakan. Menjadikan hidup sehari-hari suatu
doa. Saya juga mendoakan brevir setiap hari, Misa tiap hari, doa pagi dan malam
tiap hari. Di dalam doa-doa itu, saya doakan banyak sekali orang yang dekat
dengan saya, termasuk yang minta didoakan. Tidak berarti kalau saya tidak
berdoa, saya lepas dari Tuhan. Tidak seperti mengembalikan kontak. Dalam arti
tertentu, saya percaya Tuhan selalu bersama saya.
Masih ada hubungan dengan keluarga
di Jerman?
Saya masih ada dua
adik. Saya dekat dengan kedua adik. Kami samua dekat dalam keluarga. Tidak
pernah ada masalah. Kadang-kadang bisa komunikasi dengan mereka, kirim foto dan
sebagainya. Tapi saya tidak akan ke Jerman lagi. Bagi saya, perjalanan
itu terlalu berat. Bagi saya repot pergi ke luar negeri. Pergi dalam negeri
saja sudah agak susah. Apalagi kalau ke Jerman, saya harus cari visa, dan
segala macam itu. Itu sudah tidak perlu. Apalagi dengan WA bisa berkumunikasi.
Kalau sedikit nostalgia, mengapa
memilih datang ke Indonesia mengingat Pater dari keluarga berada, bangsawan?
Saya kira harus
dibedakan. Pertama, tentu saya menjadi Jesuit. Saya menjadi Jesuti, saya kira
itu panggilan yang sangat dini. Saya tidak tahu, apakah ketika anak saya sudah
mau menjadi imam. Pada umur 10 tahun, 1946, saya ditempatkan di Kolese Jesuit.
Gymnasium. Sepertinya dengan masuk di situ mau menjadi Jesuit. Di situ saya
akhirnya masuk Serikat Jesus. Kedua, ke Indonesia, itu sesuatu yang lain.
Saya sudah lima tahun menjadi frater Yesuit, 2 tahun novisiat, 3 tahun
filsafat. Jesuit Selatan, di mana saya masuk Serikat Jesus, mempunyai
misi di Indonesia. Oleh pimpinan Jesuit di Roma, diminta mengirim misionaris ke
Indonesia menggantikan misionaris Belanda. Karena Belanda tidak dapat visa lagi
ke Indonesia karena masalah politik. Misionaris Belanda lalu pergi ke Libanan.
Saya sebetulnya tidak
merasa terpanggil meninggalkan Jerman, tapi ada yang medorong saya untuk pergi
ke Indonesia. Sudah ada beberapa frater Jerman di Indonesia. Mereka sangat
semangat. Tetapi mereka menceritakan sesuatu yang rupa-rupanya, komunis
berkembang di Indonesia, mereka takut Indonesia menjadi komunis. Karena waktu
itu PKI kuat di Indonesia. Di Jerman waktu itu, di samping studi filsafat, saya
ikut satu kelompok yang secara intensif studi Marxisme, Leninisme, bahasa
Rusia. Kami Jesuit, punya prinsip, harus tahu bagaimana musuh berpikir. Musuh
terbesar Gereja Katolik adalah Komunisme saat itu. Karena itu selalu ada Jesut
yang mempelajari teori Komunisme secara mendalam. Di Eropa ada beberapa ahli
saat itu. Saya pikir, di Jerman tidak perlu tambah satu ahli lagi. Mungkin
Gereja Indonsia baik kalau ada orang yang tahu teori Komunisme lalu saya
melamar tahun 1959. Oleh pimpinan saya di Roma, lamaran diterima. Saya dikirim
ke Indonesia tahun 1961.
Apa yang positif dari Komunisme
itu?
Tidak ada yang positif
waktu itu. Bagi saya, Komunisme itu suatu ideologi yang jahat. Komunisme paling
banyak membunuh orang.
Kita melihat ke
Indonesia saat ini. Pater terus menyuarakan ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan
sebagainya. Apa yang mendorong Pater. Pekan lalu ikut juga Aksi Kamisan di
depan Istana Merdeka?
Sebetulnya itu karena
saya diminta. Saya katakan, saya punya keahlian, fokus pada etika pada umumnya,
etika politik. Saya sedikit menguasai teori mengenai negara, hukum, demokrasi,
dan sebagainya. Tapi, kalau saya omong itu, selalu ada permintaan orang.
Misalnya saya salah satu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sebagai ahli waktu
itu. Saya diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang etika. Saya tidak
bicara mengenai Jokowi. Saya menjelaskan apa itu etika, dan mengatakan, kalau
hal-hal seperti ini terjadi tidak etis. Apakah terjadi, itu bukan urusan saya.
Jadi sebagai ilmuan ya?
Saya anggap itu
kewajiban apabila orang minta bantuan saya. Saya bisa berikan. Buat apa saya
ahli kalau menolak, atau takut-takut bicara nanti dapat apa. Saya tidak peduli
itu. Saya akan mengatakan yang saya pikirkan.
Omong-omong, apakah Pater masih
rajin olahraga, jalan kaki, jogging?
Sejak setengah tahun
lalu, lutut saya dioperasi, sekarang saya belum bisa jalan betul. Untuk tangga
masih perlu tongkat. Sebentar lagi saya umur 88, ya masih bisa jalan, bisa
tidak. Olahraga saya sudah tidak bisa, tapi sedikit olahraga masih bisa juga.
Kapan terakhir naik gunung?
Tahun 2011. Saya senang
itu. Gunung kesayangan saya Gunung Merapi. Untuk ke-12 kalinya saya daki. Saya
daki sesudah ledakan terakhir 500 tahun sebelumnya. Ledakan besar itu. Waktu
itu, kaki saya sudah sedikit susah. Turunnya itu susah. Biasanya saya sendiri
ke Merapi. Saya cari seorang penunjuk jalan. Sore hari kami ke atas. Berkemah
di Pasar Bubrah. Pagi berikut naik ke atas. Di atas berubah sama sekali. Itu
suatu kebahagiaan duduk di atas. Agak menakutkan melihat kawah di bawah dengan
dua tiga lobang yang berasap itu. (Wawancara lengkap dengan Pater Magnis
dapat disimak di Kanal HIDUPtv)
Hasiholan
Siagian
Sumber:
Majalah HIDUP, Edisi No. 21, Tahun Ke-78, Minggu, 26 Mei 2024