Akan tetapi fakta
empiris menunjukkan bahwa proses persiapan kontestasi pilkada 2024 ini, ada
beberapa hal yang tidak sesuai dengan koridor hingga mencuat menjadi pembahasan
hangat. Salah satunya pada Putusan MA no. 23/P/HUM/2024 tentang batas usia
Calon Kepala Daerah yang menuai pro kontra. Masih banyak lagi problem yang lain
mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah.
Terlepas dari hiruk
pikuk tersebut, tentunya proses akan terus berlangsung. Setelah mendapat
rekomendasi dari partai, para peserta pilkada siap melenggang pada perhelatan
perebutan kursi kekuasaan lewat Daftar Calon Tetap (DCT) yang sebentar lagi
dikeluarkan oleh KPU. Walaupun ada juga peserta pilkada independen yang tidak
menggunakan mobilisasi partai. Tetapi mereka semua pastinya sudah matang untuk
bertarung lewat berbagai strategi yang sudah disiapkan.
Mereka yang keluar
sebagai peserta kontestasi pilkada nanti, belum melewati uji kelayakan dari
kita sebagai rakyat pemegang kekuasaan tertinggi. Tentunya hal itu sudah
dijadwalkan oleh tim penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada masa
kampanye nanti. Masa kampanye tersebut menjadi momentum kita untuk menguliti
serta menguji program setiap peserta kontestan.
Bahkan sebelum jadwal
kampanye, ada beberapa bakal calon kepala daerah sudah mulai menampakkan
taringnya. Lewat berbagai kegiatan yang berseliweran di media sosial bakal
calon kepala daerah membagikan kegiatan sehari-harinya untuk menarik simpati
rakyat.
Ada yang membagikan
sembako dengan masyarakat sambil selfi dan menjanjikan untuk membangun
infrastruktur (jalan, industri, lapangan kegiatan olahraga berstandar nasional
dan lain-lain). Semuanya beriringan dengan bansos sebagai tanda bahwa bakal
calon tersebut peduli terhadap masyarakat. Hingga ada yang mengadakan seminar
sebatas puja-puji dan gaya-gayaan untuk terlihat keren di mata masyarakat.
Memang semua itu baik
untuk kemajuan suatu daerah jika benar adanya terwujud. Masyarakat pasti
menginginkan supaya kesejahteraan dan kemakmuran dapat tercipta dalam siklus
kehidupannya. Oleh karena itu negara bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan
hal tersebut lewat pemimpin yang altruistik dan progresif.
Akan tetapi, coba kita
refleksi tentang kepemimpinan sebelumnya. Dimana ada banyak paradoks yang
terjadi. Para pemimpin setelah menduduki jabatan kekuasaan, amnesia dengan
janji-janjinya pada saat kampanye atau pada proses pemilu. Pada saat itu,
mereka berjanji begitu dahsyat seakan menyeruak di dalam otak dan nalar
masyarakat. Sehingga banyak masyarakat terkecoh dan akibatnya menjadi salah
pilih pemimpin.
Setelah memberikan
mandat untuk diemban bukan untuk kepentingan masyarakat banyak, malah
sebaliknya untuk kepentingan pribadi dan koleganya. Hal itu sangat disayangkan
bagaimana seorang pemimpin abai terhadap janji dan sumpah jabatannya.
Janji politiknya
seperti ruang hampa sedikit tak terdapat kehidupan. Siapa sangka jika janji
tersebut tidak terwujud tidak ada penalti ataupun regulasi yang dapat
memberikan sanksi atas janji yang telah di ingkari oleh mereka. Ketiadaan
regulasi dan ketentuan tersebut yang menyebabkan para peserta pemilu dengan
enteng gemar mengumbar janji terhadap masyarakat.
Padahal janji-janji itu
mengandung beban moral dan etika yang seharusnya tidak boleh dinegasikan.
Prinsip dasar janji politik adalah mengedepankan moral dan etika walaupun tidak
ada regulasi yang mengatur karena etika dan moral mendahului ketentuan. Etika dan
moral dalam berpolitik menjadi bagian penting dalam proses pembangunan bangsa
ini.
Sebentar lagi tahapan
kampanye akan diluncurkan. Tahapan tersebut seharusnya menjadi hal penting bagi
rakyat. Melalui kampanye para calon kepala daerah menyampaikan kepada
masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih.
Informasi ini menjadi sangat penting bagi masyarakat sebagai referensi dalam
menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak.
Masyarakat harus siap
siaga menyambut program kerja yang akan ditawarkan nanti pada masa kampanye.
Jangan sampai terhipnotis oleh gelagak, gimmick dan rasa peduli yang dibungkus
dengan bansos. Perlu untuk memperkuat daya filtrasi dari apa yang ditawarkan
oleh calon pemimpin kita. Supaya kita jangan sampai digiring ke arah pembodohan
yang kontraproduktif.
Semua program kerja
yang ditawarkan harus berlandaskan atas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Tak dapat dipungkiri para calon kepala daerah bisa saja menjanjikan sesuatu
yang diluar dari kebutuh urgensi masyarakat. Demi mendapatkan dukungan
masyarakat para peserta pemilu dapat mempolitisasi sesuatu yang diluar dari
kemampuannya sendiri untuk membuat kebijakan pada saat sudah terpilih.
Oleh karena itu,
masyarakat harus pandai memilah program kerja yang realistis, berangkat dari
situlah bisa menyimpulkan memilih siapa yang lebih tepat. Apakah Janji yang
disampaikan para calon tersebut sudah terukur, memiliki parameter, dan
kira-kira bisa dikerjakan dalam satu periode kerja.
Jika kita menarik
benang merahnya, maka masyarakat mau tidak mau harus dewasa dalam berpolitik.
Karena kita adalah subjek sekaligus objek yang berperan penting untuk kemajuan
daerah kita.