Ini membuat anak asal
Kampung Paundoa, Desa Komba, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini harus bekerja untuk hidup.
Kala teman-teman
seusianya masih bebas bermain, Torres sudah melakoni kehidupan layaknya orang
dewasa.
Ia setiap hari sudah
rutin bekerka. Torres mengiris pohon aren untuk memproduksi air moke atau tuak
yang akan dijual demi biaya pendidikannya di Sekolah Dasar Katolik Paundoa,
Desa Komba, Kecamatan Kota Komba.
“Saya belajar mengiris pohon aren atau enau untuk
memproduksi air moke atau tuak dari paman saya, Gregorius Soi saat saya masih
kelas IV," ujarnya.
"Awalnya, saya
mengikuti paman ke kebun dan melihat cara paman mengiris pohon aren atau enau
untuk memproduksi tuak. Kemudian saya berani memanjat pohon aren atau enau
dengan tinggi berkisar 15-20 meter."
"Memang, paman
yang membuat tangga dari bambu yang mengapit pohon aren atau enau tersebut,“
ceritanya usai sekolah kepada Kompas.com, Rabu (14/8/2024), di kediaman sang
paman.
Torres lahir di
Malaysia pada 2012 saat kedua orang tuanya merantau ke negeri jiran tersebut.
Lalu, ia dan mamanya
pulang ke Manggarai Timur pada 2018. Faktor kesehatan ibunya, Edeltrudis Ndese,
membuat mereka kembali ke Manggarai Timur.
Sementara itu ayahnya,
Fandrodianus Nance, tetap merantau di Malaysia. Lalu, pada 2021, sang ibu
meninggal dunia.
Kini Torres duduk di
kelas VI Sekolah Dasar. Ia terlambat masuk sekolah pada 2019.
“Sejak kelas II SD,
saya dan mama tinggal bersama paman di rumah mereka di Paundoa. Mama meninggal
dunia di rumah paman karena sakit."
"Sejak saat itu
saya menjadi anak yatim piatu. Selain itu, saya juga ada kakak yang
tinggal dengan tanta di Kampung Tilir dan kakak sudah kelas II SMA,” ceritanya.
Selama ini, lanjut
Torres, paman Gregorius yang membayar uang komite di sekolah dari kelas I-VI.
Tak ingin terus
membebani sang paman, Torres belajar mengiris pohon enau atau aren. Kini ia
sudah bisa melakoni pekerjaan tersebut.
“Saya mengiris pohon
aren atau enau setelah pulang sekolah. Saya mengiris pohon aren pada sore hari
kecuali hari minggu saya mengiris pada pagi dan sore hari."
"Selanjutnya, saya
masak air moke atau tuak putih (tuak bakok) untuk memproduksi tuak bening atau
menjadi minuman beralkohol untuk dijual. Biasa orang Manggarai menyebut minuman
beralkohol bakar menyala (BM),” jelasnya.
Ketika akan mengiris
pohon aren, Torres harus berjalan kaki dengan jarak tempuh 9-10 kilometer.
Jarak itu ia tempuh
dari rumah paman di daerah lembah dari Kampung Paundoa menuju ke areal
perkebunan Wolosambi.
“Seusai pulang sekolah,
saya makan siang terlebih dahulu, kemudian saya jalan kaki. Kadang-kadang
berjalan kaki tanpa sandal. Kadang-kadang memakai sandal jepit."
"Sudah hampir dua
tahun ini saya lakukan aktivitas mengiris pohon enau,” ceritanya.
Sebagai anak yang masih
membutuhkan kasih sayang orang tua, Torres mengakui kadang menangis ketika
mengingat mamanya.
“Saya selalu ingat mama. Kadang-kadang saya
menangis mengenang mama. Sementara ayah saya tidak lagi memberi kabar saat kami
sudah berada di Manggarai Timur sejak 2018 lalu,” jelasnya.
Meski demikian, hidup
harus terus berjalan. Torrres tak ingin terpuruk dalam situasi tersebut
sehingga dia rela melakoni pekerjaan layaknya orang dewasa.
Pada Rabu (14/8/2024),
Kompas.com mengikuti langkah Torres menuju tempatnya bekerja guna
melihat secara langsung lokasi pohon aren dan cara Torres memanjat pohon
aren menggunakan tangga bambu.
Perjalanan melintasi
pematang sawah lalu menyeberang dua kali kecil. Lokasi pohon aren berada di
kaki sebuah tebing di areal persawahan Wolosambi.
Torres tampak mahir
melakoni pekerjaan tersebut mulai dari memanjat hingga mengiris pohon aren,
kemudian mengambil air moke putih yang tergantung di batang pohon aren.
Sekitar pukul 14.30
Wita, Kompas.com dan Torres kembali ke Kampung Paundoa.
“Beginilah kegiatan
saya seusai pulang sekolah. Saya juga bisa masak atau menyuling air moke putih
menjadi minuman beralkohol bening."
"Paman yang
membantu jual kepada warga di sekitar kampung dan uangnya ditampung untuk biaya
uang sekolah,” ceritanya. *** kompas.com