Wahana Lingkungan Hidup
Cabang NTT menekankan agar dalam implementasi panduan itu, pendidik memberi
tempat pada pentingnya cara berpikir kritis dalam melihat fenomena krisis
iklim.
Panduan itu diluncurkan
pada 27 Agustus oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
[Kemdikbud Ristek] dalam acara bertajuk “Bergerak Bersama untuk Pendidikan
Perubahan Iklim” yang dihadiri berbagai organisasi pendidikan.
Terdiri dari 75
halaman, panduan itu mencakup informasi tentang gambaran krisis iklim, penyebab
dna dampaknya, alasan pentingnya pendidikan perubahan iklim dan pelaksanaannya
di sekolah dalam proses pembelajaran dan kegiatan lainnya.
Kementerian itu
menyatakan, panduan yang merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka ini diharapkan
bisa membantu pemerintah daerah, sekolah, kepala sekolah, guru, orang tua, dan
berbagai mitra “menerapkan pendidikan yang memperkuat kesadaran perubahan iklim
dan berbagai langkah kolaboratif untuk menanggulanginya.”
Panduan itu menyatakan,
Indonesia termasuk negara yang rentan terdampak perubahan iklim karena 29,36
dari 270 juta populasi “bekerja pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan
yang bergantung pada kesehatan ekosistem.”
Di sisi lain, 30,75
persen populasi termasuk kelompok rentan terdampak perubahan iklim, yaitu
anak-anak dan lansia.
“Pendidikan perubahan
iklim merupakan bentuk pemenuhan hak anak, khususnya hak hidup, hak
perlindungan, hak pendidikan, dan hak partisipasi,” menurut panduan itu.
“Saat ini maupun di
masa depan, anak-anak akan berhadapan langsung dengan isu krisis iklim;
sebagian anak, karena lokasi tempat tinggal maupun latar belakang
sosial-ekonominya, bisa jadi akan lebih rentan terdampak.”
Menteri Nadiem Anwar
Makarim menyatakan saat peluncuran panduan itu bahwa setiap individu memiliki
tanggung jawab menerapkan cara hidup yang ramah lingkungan untuk masa depan
bumi.
“Besar harapan kami
agar pendidikan perubahan iklim dapat diterapkan dengan baik dengan dukungan
dari seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah dan orang tua. Kolaborasi kita
semua adalah kunci keberhasilan dari implementasi pendidikan perubahan iklim,”
katanya.
Sementara Anindito
Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan menyebut,
kesadaran dan pemahaman yang ditanamkan sejak dini menjadi penting agar anak-anak
bisa mempersiapkan diri dan berperan aktif dalam merespons perubahan iklim.
Ia menjelaskan, panduan
ini disusun melalui proses partisipatif dan kolaboratif sejak Juni 2023 yang
melibatkan akademisi, kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan,
komunitas serta lembaga swadaya masyarakat.
“Kami berharap melalui
panduan ini berbagai praktik baik yang sudah berjalan bisa menjadi inspirasi
yang lebih masif lagi,” katanya.
Tak Bisa Sebatas Tanam Pohon dan Olah Sampah
Umbu Wulang Tanaamah
Paranggi dari Walhi NTT menyatakan langkah pemerintah menunjukkan ada
komitmen untuk peduli pada masalah yang selama ini kerap disuarakan masyarakat
rentan dan para aktivis.
“Kami apresiasi untuk
itu. Namun, saya berharap bahwa panduan itu tidak hanya mengarahkan siswa untuk
mengambil langkah-langkah afirmatif seperti tanam pohon atau mengolah sampah
ketika bicara soal isu iklim ,” katanya.
“Kendati itu penting,
yang tidak kalah mendesak adalah pendidikan kritis dalam melihat krisis iklim,”
tambahnya.
Ia menyatakan, akar
dari perubahan iklim adalah pembangunan yang tidak ramah lingkungan, yang
dipicu oleh industri-industri ekstraktif dan penghasil limbah seperti sampah
plastik.
“Dalam konteks ini,
siswa misalnya tidak hanya diajari mengolah sampah plastik, tapi sampai pada
kesadaran kritis tentang mengapa ada sampah-sampah itu. Pertanyaan ini akan
sampai pada sikap kritis untuk melihat isu sampah dalam kaitannya dengan
sesuatu yang bersifat struktural,” katanya.
Ia menekankan dampak
perubahan iklim sudah kian terasa dalam beberapa dekade terakhir.
Untuk konteks
NTT, katanya, yang paling parah adalah badai dan siklon Seroja pada April
2021 yang menewaskan 68 orang, di mana 46 jenazah ditemukan dan 22 dinyatakan
hilang.
“Selain itu adalah
abrasi dan banjir rob di wilayah pesisir, hingga ada pulau yang terancam
tenggelam. Salah satu pulau di Sumba misalnya diprediksi akan tenggelam
pada 2050,” katanya.
Ia menyatakan, dampak
perubahan iklim juga berpengaruh pada berbagai aspek lain.
“Sumber-sumber pangan
kita misalnya terdampak sangat besar akibat perubahan iklim. Kemarau yang lebih
lama dari biasanya membuat tanaman-tanaman pangan tidak bisa lagi hidup,” kata
Umbu.
Menurut data Walhi,
pada 2017-2020 lebih dari 5.400 desa di pesisir Indonesia telah terendam banjir
rob yang selain “karena krisis iklim yang kian buruk, juga karena adanya beban
industri besar di sepanjang pesisir.”
Sementara menurut Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, terjadi 5.400 bencana pada tahun lalu,
meningkat dari 3.544 pada 2022.
Sebagian besar adalah
bencana bencana hidrometeorologi, yaitu peristiwa terkait air dan cuaca yang
menimbulkan kerugian atau korban.
Bencana tahun lalu
dipicu kebakaran hutan dan lahan [2.051 kejadian], cuaca ekstrim [1.261
kejadian], banjir [1.255 kejadian], tanah longsor [591 kejadian], kekeringan
[174 kejadian], gempa bumi [31 kejadian], gelombang pasang dan abrasi [33
kejadian], dan erupsi gunung api [4 kejadian].
Hal ini berdampak pada
8.491.288 jiwa yang menderita dan mengungsi, 275 jiwa meninggal dunia, 33 jiwa
hilang, dan 5.795 jiwa mengalami luka-luka. *** floresa.co