Mereka yang memilih
berbaring, entah di sofa, taman, atau di mana pun mereka menemukan ketenangan,
secara aktif menolak tekanan untuk terus produktif. Di tengah masyarakat yang
memuja kerja keras dan persaingan tanpa henti, kemalasan menjadi bentuk perlawanan
yang kuat.
Gambar seorang wanita
bepergian dengan infus di tangannya menjadi simbol menyedihkan dari budaya ini.
Terpaksa bekerja meski kesehatannya memburuk, kisahnya adalah cerminan dari
banyak pekerja di China. Kelelahan telah menjadi epidemi, dan "berbaring
rata" adalah jeritan pilu untuk perubahan.
Fenomena ini
menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara kerja dan istirahat. Ini
adalah pengingat bahwa kesehatan dan kesejahteraan kita tidak boleh dikorbankan
demi produktivitas. Saat anak muda China memilih untuk berbaring, mereka
mengirimkan pesan yang jelas: sudah waktunya untuk berhenti dan beristirahat.
Di tengah krisis
pengangguran yang mencekam, di mana satu dari lima anak muda di perkotaan China
berjuang mencari pekerjaan, tekanan untuk mempertahankan pekerjaan yang ada
semakin meningkat. Pasar kerja yang menyusut dan gaji yang menurun memaksa
banyak orang untuk bekerja tanpa henti, rela mengorbankan kesehatan mereka demi
bertahan hidup.
Gambaran pekerja yang
melakukan perjalanan dengan infus di tangan menjadi simbol nyata dari betapa
beracunnya budaya kerja di China saat ini.
Ironisnya, budaya kerja
yang melelahkan ini pernah dipuja-puja. Jack Ma, taipan teknologi terkemuka,
bahkan menyebut sistem kerja "996" sebagai "berkah". 996,
di mana karyawan bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam selama 6 hari seminggu,
telah lama menjadi norma di berbagai sektor industri.
Namun, di balik
gemerlap kesuksesan ekonomi, pemerintah China akhirnya menyadari dampak merusak
dari budaya kerja berlebihan ini. Pada tahun 2021, mereka mengeluarkan
peringatan tegas kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan jam kerja
ekstrem, menyatakan bahwa praktik tersebut ilegal.
Langkah ini menjadi
sinyal kuat bahwa China mulai mengakui perlunya perubahan, bahwa kesejahteraan
pekerja tidak boleh dikorbankan demi mengejar pertumbuhan ekonomi semata.
Peringatan ini menandai
titik balik penting dalam perjuangan melawan budaya kerja beracun di China.
Meskipun masih banyak tantangan di depan, ini adalah langkah awal yang positif
menuju lingkungan kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Meskipun ada peraturan
yang jelas mengenai jam kerja, kenyataan di lapangan jauh berbeda.
Undang-undang ketenagakerjaan China menetapkan hari kerja standar delapan jam
dan maksimum 44 jam seminggu, dengan kompensasi tambahan untuk lembur.
Namun, implementasinya
masih lemah, terutama di perusahaan-perusahaan besar. Budaya kerja berlebihan
terus merajalela, didorong oleh sikap pemerintah yang longgar dan narasi budaya
"hustle" yang mengglorifikasi kerja tanpa henti.
Budaya ini menanamkan
keyakinan bahwa selalu ada sesuatu yang lebih untuk dikejar: lebih banyak uang,
gelar yang lebih tinggi, atau pencapaian yang lebih besar. Pekerja didorong
untuk terus berusaha lebih keras, tanpa pernah berhenti atau merasa puas.
Namun, dampaknya
terhadap kesehatan fisik dan mental sangatlah nyata. Kelelahan, stres, dan
gangguan kesehatan lainnya menjadi harga mahal yang harus dibayar.
Yang lebih
memprihatinkan, budaya kerja beracun ini bukan hanya masalah di China. Di
seluruh dunia, banyak pekerja terjebak dalam lingkaran setan produktivitas
tanpa akhir. Tekanan untuk terus berprestasi dan bersaing membuat mereka
mengorbankan keseimbangan hidup dan kesejahteraan mereka.
Fenomena ini
menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam cara kita memandang kerja dan
kesuksesan. Sudah saatnya kita memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan,
bukan hanya produktivitas semata. Hanya dengan begitu kita dapat menciptakan
budaya kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan, baik di China maupun di
seluruh dunia.
Di seluruh dunia, budaya
kerja berlebihan telah merajalela. Sebuah studi mengungkapkan bahwa rata-rata
pekerja di seluruh dunia melakukan 9,2 jam lembur tidak dibayar setiap minggu.
Negara-negara seperti Gambia, Mongolia, Maladewa, Qatar, dan India bahkan
memiliki minggu kerja yang melebihi 48 jam, menempatkan mereka di antara
negara-negara dengan pekerja paling kelelahan di dunia.
Di Asia Timur, Korea
Selatan dan Jepang menjadi contoh nyata dari dampak budaya kerja yang keras.
Pekerja Korea Selatan rata-rata bekerja lebih dari 1.900 jam per tahun, hampir
200 jam lebih banyak dari rata-rata OECD. Sementara itu, pekerja Jepang juga
menghabiskan lebih dari 1.600 jam per tahun di tempat kerja.
Budaya kerja yang
berlebihan ini memiliki konsekuensi yang mengerikan. "Kematian akibat
terlalu banyak bekerja" atau "karoshi" menjadi fenomena yang
sering dilaporkan di kedua negara tersebut.
Pekerja benar-benar
bekerja hingga titik di mana nyawa mereka terancam. Bahkan jika tidak sampai
meninggal, kerja berlebihan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius
jangka panjang, seperti nyeri tubuh kronis, stroke, penyakit jantung, diabetes
tipe 2, kecemasan, dan depresi.
Data-data ini
menggambarkan gambaran yang mengkhawatirkan tentang dampak budaya kerja
berlebihan terhadap kesehatan dan kesejahteraan pekerja di seluruh dunia. Sudah
saatnya kita mempertanyakan dan mengubah paradigma kerja yang mengorbankan
kesehatan dan kebahagiaan demi produktivitas semata.
Budaya kerja modern
seringkali memperlakukan individu sebagai roda gigi dalam mesin raksasa, bagian
yang bisa diganti-ganti, yang dipaksa bekerja tanpa henti dalam lingkungan yang
tidak manusiawi.
Kita terjebak dalam
lingkaran setan motivasi palsu, terus-menerus didorong untuk "bangkit dan
bekerja keras", "bergerak cepat dan mendobrak batasan", dan
"berjuang lebih keras". Tanpa sadar, kita telah menjadi bagian dari
kultus kerja berlebihan, di mana kelelahan, bahkan kematian, menjadi risiko
yang kita terima demi mengejar kesuksesan.
Namun, sudah saatnya
kita berhenti sejenak dan mempertanyakan sistem yang menuntut kita untuk
"bekerja sampai jatuh". Kita perlu melihat dengan jujur realitas
tempat kerja kita, di mana kerja berlebihan dipuja-puja dan nilai diri kita
diukur dari seberapa banyak kita berkorban untuk pekerjaan. Kita perlu
menyadari bahwa kerja berlebihan, meskipun sering dianggap sebagai jalan menuju
kesuksesan, memiliki harga yang sangat mahal.
Harga yang kita bayar
bukan hanya kesehatan fisik dan mental yang tergerus, tetapi juga waktu yang
hilang bersama orang-orang terkasih, kesempatan untuk mengejar minat pribadi,
dan kualitas hidup yang terabaikan.
Kita perlu bertanya
pada diri sendiri, apakah kesuksesan yang kita kejar sepadan dengan pengorbanan
yang kita lakukan? Apakah kita benar-benar ingin hidup dalam budaya yang
mengorbankan kemanusiaan kita demi produktivitas semata?
Sudah saatnya kita
mengubah paradigma ini. Kita perlu menciptakan budaya kerja yang menghargai
keseimbangan, kesehatan, dan kebahagiaan. Kita perlu menyadari bahwa nilai kita
sebagai manusia tidak ditentukan oleh pekerjaan kita, dan bahwa kesuksesan
sejati adalah ketika kita dapat hidup dengan penuh makna dan keseimbangan.