Kehadiran Paus
Fransiskus di Indonesia kali ini juga menandai kunjungan ketiga seorang Paus ke
negara ini, setelah Paus Paulus VI pada tahun 1970 dan Paus Yohanes Paulus II
pada 1989. Sambutan hangat dari berbagai kalangan—pemerintah, tokoh agama, dan
rakyat—menggambarkan betapa antusiasnya masyarakat Indonesia menyambut
kehadirannya.
Paus Fransiskus, yang
dikenal luas karena pendekatannya yang sederhana dan humanis, tiba di Bandara
Internasional Soekarno-Hatta dengan cara yang tidak biasa bagi seorang pemimpin
global. Tidak memilih pesawat jet pribadi, Paus Fransiskus justru mendarat
dengan pesawat komersial Alitalia. Realitas ini menegaskan komitmennya terhadap
kesederhanaan dan kepedulian terhadap sesama.
Harus kita akui memang,
meski usianya telah mencapai 87 tahun, Paus Fransiskus menunjukkan sikap rendah
hati yang luar biasa, tidak menginginkan perlakuan istimewa meskipun statusnya
sebagai salah satu pemimpin agama tertua yang pernah mengunjungi Indonesia.
Tampilkan Kesederhanaan
Selama kunjungannya,
Paus Fransiskus memperlihatkan komitmennya terhadap prinsip kesederhanaan yang
selalu dipegang teguhnya. Salah satu contohnya adalah pilihannya untuk
menggunakan mobil Toyota Innova Zenix, bukan kendaraan mewah yang sering
digunakan oleh pejabat negara. Pilihan ini mencerminkan dedikasinya terhadap
prinsip hidup sederhana. Bahkan, Paus memilih duduk di kursi depan bersama
sopir, bukan di kursi belakang yang lebih eksklusif. Langkah ini secara simbolis
menghapus batas hierarki, menunjukkan bahwa bagi Paus Fransiskus, setiap
individu memiliki martabat yang sama dan harus dihargai secara setara.
Kesederhanaan Paus
Fransiskus juga tercermin dalam pilihan barang-barangnya. Dalam
tayangan-tayangan yang berseliweran di jagad maya dan disiarkan oleh media, jam
tangan analog hitam yang dikenakan Paus—Casio seri MQ24-7B2—menjadi pusat
perhatian. Dengan harga yang hanya berkisar antara Rp 290.000 hingga Rp 400.000
di pasar Indonesia, jam tangan ini jauh dari kesan mewah yang mungkin
diharapkan banyak orang. Pilihan ini semakin memperkuat citra Paus Fransiskus
sebagai sosok yang hidup sesuai dengan ajaran Santo Fransiskus dari
Assisi—hidup sederhana dan tidak terikat oleh kemewahan duniawi.
Bahkan, selama berada
di Jakarta, Paus Fransiskus memilih untuk menginap di Kedutaan Besar Vatikan,
bukannya di hotel berbintang yang biasanya menjadi pilihan para tamu negara.
Pilihan ini kontras dengan kebiasaan para pemimpin dunia yang sering kali
menginap di tempat-tempat mewah. Paus Fransiskus lebih memilih tempat yang
sederhana, yang selaras dengan nilai-nilai kesederhanaan yang selalu ia anut
dan sebarkan.
Dalam konteks
masyarakat yang sering kali menilai keagamaan melalui lensa hedonisme dan
konsumtivisme, kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia menawarkan sebuah kontras
yang mencolok. Di tengah banyaknya pemimpin dan tokoh agama yang dikenal agamis
tetapi juga hedonis dan konsumtif, Paus Fransiskus menggarisbawahi bahwa
kesederhanaan bukanlah sesuatu yang terpisah dari keimanan, melainkan inti dari
ajaran spiritual yang sejati. Dengan sikapnya yang sederhana dan
keputusan-keputusan yang mencerminkan prinsip-prinsip tersebut, Paus Fransiskus
memberikan contoh nyata tentang bagaimana seorang pemimpin spiritual dapat
mempraktikkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya
dalam retorika. Kesederhanaannya yang menawan, sudah berhasil meninggalkan
kesan mendalam bagi kita masyarakat Indonesia dan menjadi contoh nyata bahwa
kemewahan bukanlah ukuran dari kebesaran hati seorang pemimpin.
Dialog Lintas Agama
Dalam kunjungannya di
Indonesia, Paus Fransiskus berinteraksi dengan berbagai kalangan, mulai dari
pemimpin negara, tokoh agama, hingga masyarakat umum. Karena demikian, dapat
dimaknai bahwa kunjungan Paus kali ini bukan hanya soal melaksanakan agenda diplomatik,
tetapi juga tentang memperkuat jembatan antara berbagai kelompok masyarakat dan
agama. Melalui tindakan-tindakan simbolisnya, Paus Fransiskus menggarisbawahi
pentingnya saling memahami dan menghormati perbedaan, sekaligus menegaskan
nilai-nilai universal yang dapat menyatukan umat manusia.
Salah satu momen paling
simbolis adalah kunjungannya ke Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia
Tenggara yang terletak berdampingan dengan Gereja Katedral Jakarta. Di sana,
Paus disambut oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. KH. Nasaruddin Umar.
Gestur penuh keakraban, seperti cium tangan dan cium kening, tidak hanya
menunjukkan persahabatan antara kedua tokoh agama besar, tetapi juga menegaskan
nilai-nilai saling menghormati dan kerukunan yang telah lama dijunjung tinggi
di Indonesia.
Selain itu, Paus
Fransiskus juga mengunjungi Terowongan Silaturahmi, sebuah terowongan yang
menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral Jakarta. Terowongan ini,
sebagai simbol fisik kerukunan umat beragama, mendapatkan makna baru melalui
kunjungan Paus, yang semakin menegaskan pentingnya dialog dan kerja sama
antarumat beragama di tengah dunia yang sering kali dilanda konflik keagamaan.
Oleh karena demikian,
kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, menegaskan hubungan baik antara
Indonesia dan Vatikan serta memberikan pesan moral yang kuat tentang
kesederhanaan, cinta kasih, dan toleransi antaragama. Tindak-tanduk yang penuh
makna dari Paus Fransiskus menunjukkan bahwa seorang pemimpin agama memiliki
tanggung jawab tidak hanya terhadap umatnya, tetapi juga terhadap kemanusiaan
secara keseluruhan. Indonesia, dengan segala keberagamannya, menjadi panggung
yang tepat untuk menyebarluaskan pesan-pesan tersebut kepada dunia.
Adalah sebuah fakta,
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dikenal dengan
keberagaman suku, budaya, dan kepercayaan yang membentuk jalinan masyarakatnya.
Dengan lebih dari 17.000 pulau dan ratusan suku bangsa yang berbeda, negara ini
mencerminkan mozaik kekayaan budaya dan tradisi yang sangat beragam. Di tengah
keragaman tersebut, Indonesia mengakui enam agama utama yang menjadi landasan
bagi kehidupan spiritual warganya. Keenam agama tersebut adalah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Maka itu, keberagaman yang berpotensi
sebagai kekuatan dan anugerah dari yang Maha Kuasa, harus mampu kita kelola
dengan baik agar tidak menjadi petaka di kemudian hari.
Kita patut bersyukur,
karena kehadiran Paus di Indonesia berlangsung dengan aman dan tentram, ini
tentunya menampik stigma dunia akan masyarakat Indonesia yang intoleran. Mari
kita jaga keberagaman dan perkuat persatuan menuju Indonesia yang lebih aman
dan damai di masa akan datang.