Nyaris delapan dekade
bangsa ini merdeka, nyatanya, pendidikan kita masih mewarisi nuansa kental
kolonial. Padahal kurikulumnya sendiri sudah bernama kurikulum merdeka.
Sebagaimana yang saya singgung di awal tadi, guru saat ini diberi peran sebagai
fasilitator dalam bingkai kurikulum merdeka, mengingat kurikulum ini menjadikan
siswa sebagai subjek utama dalam pembelajaran di lingkup kelas. Hal ini menjadi
penegasan bahwa siswa saat ini dituntut untuk belajar secara aktif, kreatif,
dan inovatif. Tuntutan ini memicu siswa untuk dapat berpikir secara kritis
dalam setiap aktivitas pembelajaran. Namun apa daya, siswa saat ini masih
berpatron pada guru. Guru masih dianggap sebagai sumber utama dalam belajar.
Setiap apa yang diajarkan oleh guru dianggap sebagai sebuah kebenaran absolut
yang tidak boleh dibantah utamanya dalam setiap teori yang diajarkan. Padahal
nalar kritis harusnya membawa siswa untuk berbantah-bantahan dengan guru karena
disitulah terjadi percakapan akademis antara guru dan murid.
Potret nuansa belajar feodal seperti inilah yang masih menjadi sekat dan tembok besar di dunia pendidikan kita hingga saat ini. Siswa dalam pembelajaran tidak memiliki kemauan untuk bertanya terhadap materi pembelajaran karena mereka menempatkan guru pada posisi dominan. Pada konstruksi yang lain bahkan feodalisme itu sendiri masih mencengkeram kuat di satuan pendidikan dalam kaitannya dengan hierarki antara kepala sekolah dengan guru, misalnya. Acapkali guru-guru di sebuah satuan pendidikan tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan pendapat manakala berseberangan dengan atasan. Hal ini diperparah dengan adanya stratifikasi status guru yang semakin membungkam kebebasan berpendapat utamanya pada guru kontrak sekolah karena guru-guru tersebut tersandera akan rasa ketakutan akan kontraknya yang dapat diputus oleh kepala satuan pendidikan jika guru tersebut memiliki perbedaan pandangan dengan kepala sekolah. Belum lagi penerapan aturan sekolah yang tidak konsisten terhadap siswa dan guru juga masih sering terjadi. Aturan sekolah yang tumpang tindih dan tidak ditegakkan dengan prinsip berkeadilan juga merupakan warisan feodal sejak zaman kolonial.
Lantas bagaimana mengikis feodalisme di satuan pendidikan? Stimulasi berpikir
kritis oleh guru kepada siswa, pemimpin satuan pendidikan yang tidak alergi
pads kritik dan mampu memberikan keteladanan, penyelenggaraan pendidikan yang
bebas korupsi, dan penegakan aturan dengan menerapkan prinsip keadilan akan
menjadi jawaban jitu memberangus feodalisme di satuan pendidikan sekaligus
menciptakan lingkungan sekolah merdeka yang sesungguhnya.