Setiap Pemilu, semangat
kita dibakar kaya gorengan di taman kota. Ada yang bikin kampanye akbar di
alun-alun, ada yang bikin baliho isinya janji-janji manis kayak drama
Korea—indah, tapi kok ya susah jadi nyata. Kita yang lihat cuma bisa mikir,
“Ini calon serius nggak si? Apalagi pas lihat debat calon kepala daerah
akhir-akhir ini, bikin geleng-geleng kepala doang isinya.
Tapi, ya udahlah, namanya juga pesta demokrasi. Kita hadir, nyoblos, foto jari ungu, terus update status dengan caption optimis: “Suara kita menentukan masa depan bangsa.” Tapi setelah nyoblos apa yang berubah selain jari kita yang ungu? Lima tahun berikutnya, calon yang kita pilih malah hilang kayak gebetan habis di-confess-in. Ya kalau hilang aja sih nggak apa-apa, masalahnya, kadang malah nongol di berita korupsi.
Kalau kita bicara
tentang hak memilih atau nyoblos itu tadi, katanya “Suara rakyat adalah suara
Tuhan” bahasa kerennya “Vox Populi, Vox Dei.” Tapi, realitanya kok suara rakyat
seringkali cuma kayak daun kemangi dilalapan pecel lele, ada tapi lebih sering
diabaikan.
Setiap Pemilu, hak
memilih digembar-gemborkan kayak media beritain kekalahan emyu. Padahal, kalau
dipikir-pikir, kita ini kayak Darwin Nunez di Liverpool. Disuruh masuk lapangan
sekali-kali buat ambil keputusan besar, terus sisanya disuruh duduk manis
sambil nonton dari bench. Keren, kan?
Hak memilih memang
penting, karena itu simbol demokrasi. Tapi kalau setelah nyoblos hidup kita
masih begini-begini aja, jadi wajar kalau pertanyaan muncul: “Hak kita itu benar-benar
didengar atau cuma biar dibilang partisipasi doang?” Analoginya begini: nyoblos
itu kayak pesan menu di warung. Kita pilih paket ayam bakar lengkap, tapi yang
datang malah nasi putih sama tempe goreng. Lapor ke yang jual? Yang jual cuma
bilang, “Ini udah cukup bagus, kalau mau ayam silahkan ditunggu lima tahun
lagi!” Di sinilah kita mulai mikir, sebenarnya yang salah itu sistemnya atau
ekspetasi kita yang ketinggian?
Masalah lain saat
Pemilu itu pilihannya gitu-gitu aja. Kalau Pemilu itu ajang nyari jodoh, kita
pasti udah hopeless duluan. Bayangin kandidatnya itu-itu aja, dan kita cuma
dikasih pilihan antara “yang nggak ideal” atau “yang ya begitulah.” Semacam
harus milih antara makan tahu gosong atau tempe gosong. Sama-sama ngga enak,
tapi ya udah lah, ambil aja salah satu. Selain itu, kamu ngerasa nggak kalau
kandidat-kandidat yang muncul itu kayak template? Dari janji-janji mereka,
semuanya mirip: “Akan menyejahterakan rakyat,” “Fokus pada pendidikan,”
“Meningkatkan ekonomi.” Tapi di akhir-akhir kampanye, semua berubah jadi perang
baliho, bagi-bagi kaos, sama bagi-bagi bansos.
Dan mari kita jujur,
seberapa banyak dari kita yang benar-benar tahu apa yang diperjuangkan kandidat
yang kita pilih? Jangan-jangan kita nyoblos cuma karena mukanya mirip artis
drama Korea atau kampanyenya kasih nasi kotak lengkap dengan air mineral atau
bahkan cuma ikut-ikutan keluarga aja biar ga ribet. Bahkan terkadang ada momen
di mana kita nyoblos bukan karena percaya sama si kandidat, tapi karena nggak
mau kandidat satunya menang. Terus terang, ini bikin kita mikir. Apa benar
sistem demokrasi kita ini memberi pilihan? Atau sebenarnya, kita cuma dipaksa
memilih opsi yang nggak benar-benar kita inginkan?
Lucunya lagi, setelah
pencoblosan selesai, euforia jari ungu mulai memudar bersamaan dengan
memudarnya ingatan kita tentang janji-janji waktu kampanye. Mungkin karena
hidup kita udah terlalu sibuk mikirin hal-hal yang lebih mendesak, kayak gimana
bayar listrik, cari promo cashback, atau ngelunasin utang ke pinjol. Janji
kampanye udah kayak kenangan manis sama mantan, awalnya menggebu-gebu
ujung-ujungnya bikin kecewa juga.
Pertanyaanya, kenapa
kita diem saja? Jawabannya simpel, kita nggak pernah diajari untuk nagih. Kita
cuma diajari nyoblos, ngikutin prosedur di TPS, terus disuruh percaya bahwa
semua akan baik-baik saja. Padahal, demokrasi itu bukan cuma soal nyoblos lima
menit terus selesai. Demokrasi adalah proses panjang di mana rakyat harus terus
memantau, mengkritisi, dan kalau perlu turun ke jalan.
Jadi, gimana? Apakah
Pemilu cuma formalitas? Atau memang kita yang salah paham sama makna demokrasi?
Sebenarnya, masalahnya nggak sepenuhnya di sistemnya, tapi juga di kita yang
kadang lupa bahwa demokrasi itu bukan tiket VIP nonton konser, di mana kita
cuma duduk manis dan semua urusan beres. Kalau kita mau demokrasi yang beneran
“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakya,” ya rakyatnya harus lebih bawel.
Mulai cerewet soal kebijakan, tagih janji kampanye, dan kalau perlu kritikel
lewat cara yang kreatif. Intinya, jangan hanya jadi penonton, tapi ikut andil
dalam permainan.
Karena, kalau terus
begini, demokrasi kita bakal tetap terasa kayak makan mie instan tanpa bumbu,
hambar. Bikin kenyang sementara, tapi nggak benar-benar memuaskan. Kita butuh
lebih dari sekadar nyoblos disetiap Pemilu ataupun Pilkada yang sebentar lagi
kita lakukan. Kita butuh sistem yang bisa bikin suara kita lebih dari sekadar
formalitas. Terakhir, nyoblos itu hak kita. Jangan sampai hak itu cuma jadi
hiasan. Kalau kamu mau pesta demokrasi yang beneran, ya jangan lupa kita semua
juga harus berkontribusi. Karena kalau cuma diam dan pasrah, jangan menyalahkan
kalau pesta ini terus jadi acara makan-makan buat segelintir orang saja.