Johan merupakan sosok
yang sering terlihat duduk di bangku taman, mengenakan kemeja lusuh yang
warnanya memudar oleh waktu. Orang-orang yang melintas sering kali mencemooh
dalam diam, memandang dirinya sebagai simbol kemalasan dalam dunia yang memuja
kesibukan.
Akan tetapi di balik
kemalasan dirinya yang tampak jelas, ada dunia yang tidak terlihat. Johan,
dengan sepatu berlubang miliknya, menjadi seorang pengamat kehidupan yang
tajam. Ia memperhatikan setiap detail kecil; seorang ibu yang menggenggam
tangan anaknya dengan cemas, seekor burung yang berjuang melawan angin kencang,
atau bayangan pohon yang bergoyang seolah-olah sedang menari.
Jelaslah, dunia Johan
terkait horison yang tidak dicatat dalam laporan keuangan atau diabadikan dalam
media sosial. Ia menjadi tokoh narator dalam sunyi, seorang pelukis tanpa
kanvas.
“Sepatu ini,” gumamnya suatu hari, sembari
memandang sepatu petani yang ia beli di pasar loak seharga lima puluh ribu
rupiah. “Sepatu ini pernah berjalan di sawah yang basah, merasakan tanah yang
hidup. Tapi sekarang, sepatu tersebut hanya ada di kota yang sibuk, di mana
tanah bahkan tak pernah menyentuh kaki.”
Johan tak pernah tahu
bahwa di balik pikirannya yang sederhana, ada kejeniusan yang jarang ditemukan.
Ia tidak memikirkan strategi besar atau mencoba membuat narasi agung tentang
dirinya sendiri. Baginya, hidup adalah soal melihat dan merasakan. Namun, dunia
tidak peduli pada keheningan. Dunia memuja suara keras, kegemerlapan, dan
kehebohan. Dan Johan bukan bagian dari itu.
Hingga suatu hari,
seorang pelukis tua bernama Don Karet, yang dikenal dengan karya-karyanya yang
memutarbalikkan realitas, menemukan Johan di taman. Don, dengan topi lebar dan
cat yang mengotori tangannya, berhenti di depan Johan.
“Sepatu itu,” kata Don, menunjuk sepatu petani
di kaki Johan. “Bolehkah aku melukisnya?”
Johan mengerutkan alis,
bingung. “Mengapa? Ini hanya sepatu tua.”
“Justru itu,” jawab
Don. “Kau tahu, sesuatu yang tua dan sederhana sering kali menyimpan cerita
lebih dalam daripada apa yang terlihat di permukaan. Sepatu ini, dengan lumpur
yang mengering, bisa menjadi jendela ke dunia yang telah dilupakan.”
Maka, Johan memberikan
sepatu satu-satunya. Don membawa sepatu itu ke studio kecilnya di pinggir kota,
di mana ia menghabiskan berminggu-minggu melukis. Hasilnya adalah sebuah karya
memikat, menggambarkan sepatu itu dengan latar yang memancarkan kekuatan dan
kehangatan dari kerja keras petani.
Lukisan itu, yang
diberi judul “Sepatu Jiwa Berlumpur,” menjadi terkenal. Orang-orang
berbondong-bondong ke galeri untuk melihatnya. Mereka berbicara tentang
bagaimana sepatu itu mengingatkan diri pada akar manusia, tanah dan peluh yang
membangun dunia ini.
Dalam sekejap, sepatu
petani lusuh itu berubah dari sesuatu yang seharga lima puluh ribu rupiah
menjadi artefak bernilai miliaran.
Kendati demikian, di
tengah gemerlap itu, Johan tetap tidak dikenal. Namanya tak pernah disebutkan
dalam pameran, dan ia sendiri tidak peduli. Ia kembali ke bangku taman, kali
ini tanpa sepatu. Orang-orang tetap memandang sinis sebagai pria malas, meski
di kakinya kini hanya ada tanah yang dingin.
Pada akhirnya, Johan
ditemukan tergeletak di pinggir kota. Ia meninggal dengan tenang, seperti
bayangan yang akhirnya menyatu dengan malam. Tak ada yang menangis, tak ada
yang peduli. Di atas makamnya, yang hanya diberi nisan kayu sederhana,
tertulis: “Bukan untuk Siapa-siapa.”
Namun, mereka yang tahu
kisah Johan -- meski hanya segelintir -- memahami bahwa tulisan itu bukan tanda
ketidakberartian. Sebaliknya, kisah tersebut merupakan perlawanan diam-diam
terhadap keangkuhan dunia yang selalu haus akan pengakuan. Johan tidak hidup untuk
menjadi siapa-siapa; ia hidup agar dapat melihat, merasakan, dan mengingatkan
dunia bahwa ada keindahan dalam kesederhanaan.
Lukisan Don Karet
tentang sepatu Johan tetap menjadi karya yang diingat. Namun, cerita sejati di
balik sepatu itu perlahan memudar, terkubur oleh narasi besar yang diciptakan
oleh dunia seni. Johan, dengan segala diamnya, menjadi bukti bahwa nilai sejati
tidak selalu membutuhkan panggung.
Dalam kesunyian
hidupnya, ia telah membalikkan narasi dunia; dari kota gemerlap menjadi desa
yang sederhana, dari keramaian menjadi keheningan, dari abu-abu menjadi jelas.
Dan dalam diam, ia tetap menjadi saksi bagi mereka yang tahu cara melihat.