Manusia sering
memandang dirinya sendiri sebagai makhluk spesial, seperti produk premium di
antara ciptaan yang lain. Alasannya? Akal. Dengan akal, manusia menciptakan
berbagai macam teknologi, memahami alam semesta dan membangun peradaban yang
maju dan megah (meskipun sering bikin macet). Tapi, apakah keistimewaan akal
ini benar adanya, atau hanya sekadar narasi antroposentris yang sengaja dibuat
untuk menegaskan dominasi manusia di atas makhluk hidup lainya?
Akal
itu Alat, bukan Mahkota
Semenjak zaman Yunani
kuno, manusia sudah ge-er soal akal. Aristoteles berpendapat bahwa kita ini
animal rationale; ia mengatakan bahwa akal atau rasionalitas adalah
karakteristik spesial yang membedakan manusia dengan hewan. Descartes bahkan
mengklaim "aku berpikir, maka aku ada" seakan-akan berpikir itu
segalanya (padahal banyak orang bisa eksis tanpa mikir terlalu keras).
Namun, agaknya saya
lebih setuju dengan pandangan Nietzsche mengenai soal akal ini. Nietzsche
menentang pandangan tersebut dengan tegas. Menurutnya, akal bukanlah mahkota
keunggulan yang dimiliki manusia, melainkan hanyalah alat bertahan hidup yang
berkembang sebagai proses evolusi.
Dalam karyanya seperti
The Genealogy of Morals dan Beyond Good and Evil, Nietzsche menulis bahwa akal
hanyalah salah satu dari banyak strategi adaptasi, sama seperti cakar pada
harimau, bulu tebal dan lebat pada beruang kutub dan kemampuan kamuflase yang
dimiliki bunglon. Baginya, keistimewaan manusia tidak terletak pada akal,
melainkan pada will to power, kehendak untuk berkuasa dan menciptakan
nilai-nilai baru.
Jika kelelawar
menggunakan sonar untuk bernavigasi dalam kegelapan malam, kita menggunakan
akal untuk menghadapi tantangan kehidupan. Tetapi, hal ini tidak lantas membuat
kita merasa bahwa akal adalah sesuatu yang istimewa secara mutlak; itu hanya
salah satu jenis alat di antara banyak alat adaptasi lainnya. Nietzsche bahkan
memperingatkan kita untuk tidak terlalu mengagungkan akal, karena hal ini dapat
menjerumuskan manusia dalam ilusi superioritas yang justru merugikan dirinya
sendiri.
Keistimewaan manusia
hanya mitos antroposentris. Akal kita mungkin dapat membantu membuat alat-alat
canggih, tapi itu tidak lebih ajaib dari kemampuan tumbuhan untuk mengubah
sinar matahari menjadi makanan. Jadi, kalau merasa bahwa akal itu mahkota,
mungkin saatnya kita untuk bercermin lebih jujur.
Hak
Moral bukan Eksklusif untuk Manusia
Dalam dunia etika,
manusia sering merasa lebih tinggi dan mempunyai hak lebih karena akalnya.
Namun, sejatinya dasar hak moral seharusnya bukan akal, melainkan kemampuan
untuk merasakan penderitaan. Kalau hewan bisa merasa sakit, lantas apa bedanya
penderitaan mereka dengan kita?
Tapi, perilaku
spesiesisme (diskriminasi berdasarkan spesies) membuat kita lupa diri; manusia
merasa superior, padahal makhluk lain seperti hewan juga punya peran penting di
ekosistem. Bayangkan, lebah yang hanya serangga kecil itu memiliki kontribusi
besar lewat penyerbukan; semut, hewan yang sering kita anggap tidak berguna
ternyata memiliki peran tersendiri di ekosistem. Sementara manusia? Kita sering
lebih sibuk memproduksi sampah daripada merawat bumi.
Di sisi lain,
pendekatan etika lingkungan menekankan bahwa semua makhluk hidup memiliki hak
untuk hidup harmonis, tidak peduli apakah mereka memiliki akal atau tidak. Sebuah
pertanyaan muncul di benak saya; jika akal membuat manusia mampu menganalisis
penderitaan, bukankah ini seharusnya menjadi alasan untuk lebih melindungi,
bukan mengeksploitasi makhluk lain?
Jadi, akal tidak
seharusnya menjadi ukuran tunggal moralitas. Kalau mau adil, kita harus
memperluas empati ke semua makhluk hidup, bukan hanya untuk mereka yang bisa
main catur. Kita perlu belajar dari komunitas asli yang ada di seluruh belahan
dunia, belajar bagaimana mereka dapat hidup berdampingan dengan alam dan
menjaga keseimbangan tanpa merusak lingkungan.
Akal
yang Kebanyakan Akal-akalannya
Manusia merasa memiliki
akal, membuatnya punya hak istimewa atas bumi. Hasilnya? Eksploitasi alam
besar-besaran, dari deforestasi hingga ke polusi. Masalahnya, akal manusia
sering lebih digunakan untuk mengakali lingkungan ketimbang menjaganya. Bukti
nyata dari hal ini seperti perubahan iklim, spesies yang sudah punah atau
terancam punah, dan gunungan sampah di mana-mana.
Sepertinya kita perlu
memahami apa itu pendekatan ekologi mendalam (deep ecology) yang menegaskan
bahwa semua makhluk hidup memiliki nilai intrinsik, tidak peduli mereka bisa
berpikir secara rasional atau tidak. Dalam perspektif ini, akal manusia
seharusnya digunakan untuk menjaga ekosistem, bukan merusak keseimbangan.
Kalau akal menjadi
alasan untuk merusak lingkungan, mungkin sebaiknya kita serahkan tugas merawat
bumi pada kura-kura laut. Mereka lebih memahami bagaimana cara hidup harmonis
tanpa merusak habitat.
Namun, saat ini masih
ada harapan. Inovasi berbasis akal manusia saat ini sudah mulai mengarah ke
solusi ekologis, seperti teknologi energi terbarukan dan upaya konservasi yang
dilakukan. Meski belum masif, hal ini menunjukkan bahwa akal manusia tetap
memiliki potensi memperbaiki kerusakan yang telah dibuat sebelumnya.
Menggunakan
Akal untuk Kebaikan Kolektif
Mari kita berhenti
sejenak dari perdebatan soal akal ini; mungkin kita perlu merekonstruksi ulang
dan kembali mengajukan pertanyaan yang relevan, bukan mengenai apakah akal
membuat manusia menjadi istimewa, tetapi bagaimana sebaiknya manusia
menggunakan akal tersebut. Akal bisa menjadi instrumen penghancur ataupun
penyelamat, tergantung bagaimana kita ingin menggunakannya.
Misalnya dalam konteks
skala global, manusia memiliki kemampuan untuk bekerja sama lintas budaya dan
negara untuk menyelesaikan problem-problem bersama. Pemanfaatan akal untuk
menciptakan perdamaian, keadilan sosial, dan menjaga keberlangsungan lingkungan
hidup menunjukkan potensi akal tidak sepenuhnya negatif. Tantangan yang tersisa
hanyalah bagaimana kita menjadikan akal ini sebagai aset kolektif, bukan
sekadar senjata ego semata.
Akal
sebagai Tanggung Jawab, bukan Alasan Sombong
Jadi, jika akal bukan
keistimewaan mutlak yang dimiliki oleh manusia, lantas apa gunanya? Jawabannya
sederhana: akal itu tanggung jawab. Ini bukan alat untuk merasa lebih hebat
dari makhluk lain, tapi instrumen untuk memahami posisi kita di alam semesta
yang begitu kompleks. Akal seharusnya menjadikan kita bijak, bukan angkuh.
Daripada sibuk mengklaim
diri sendiri paling istimewa, lebih bijaksana jika kita menggunakan akal untuk
menciptakan harmoni dengan alam. Jangan sampai kemampuan berpikir ini menjadi
alat penghancur. Seperti kata pepatah, "Semakin tinggi akal, semakin besar
juga tanggung jawab" —dan semoga semakin kecil sampah plastik.
Akhir kata, mungkin
kita perlu belajar untuk lebih rendah hati. Bukannya menganggap diri sebagai
pusat kehidupan, mari kita lihat diri sendiri sebagai bagian dari kompleksitas
jaringan kehidupan yang saling bergantung. Dengan cara ini, akal bisa menjadi
bukan sekedar alat eksploitasi, tetapi sebagai sarana untuk menciptakan dunia
yang adil, seimbang, dan lestari.