Data Badan Pusat
Statistik (BPS) 2023 mencatat lebih dari 1,2 juta pengangguran terbuka berasal
dari lulusan universitas—angka yang terus membengkak seiring derasnya produksi
sarjana setiap tahun. Mereka adalah korban dari ilusi sistemik: sekolah tinggi
dibentuk jalan emas mobilitas sosial, tetapi realitas justru menjerumuskan
mereka ke dalam kubangan pengangguran kronis. Di Indonesia, India, Nigeria, dan
negara berkembang lain, fenomena ini bukan sekadar masalah pasar tenaga kerja,
melainkan bom waktu demografis yang detaknya kian terdengar.
Lihatlah ironi yang
mengiris: Kampus-kampus megah berdiri bak istana, sementara lulusannya terpaksa
mengais rezeki sebagai pengemudi ojek online, buruh serabutan, atau bahkan
penjual telur gulung di pinggir sekolahan. Sistem pendidikan, alih-alih menjadi
mesin pembebasan, justru menjadi pabrik feodalisme.
Pierre Bourdieu dalam
Reproduction in Education, Society and Culture (1977) sudah mengingatkan:
Sekolah sering kali hanya mereproduksi ketimpangan, bukan menciptakan
kesetaraan. Di sini, jurang antara kurikulum usang dan kebutuhan industri,
bukan lagi sekadar wacana—ini adalah kuburan idealisme dan impian jutaan anak
muda terdidik.
Tapi jangan salah!
Pengangguran terdidik bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah generasi
melek informasi, terhubung di ruang digital, dan mampu mengartikulasikan
kemarahan.
Seperti dikatakan
Manuel Castells dalam The Information Age (1996), kelompok ini adalah aktor
potensial gerakan sosial—sebuah kekuatan yang bisa mengubah kekecewaan jadi
perlawanan. Lihatlah bagaimana kaum terpelajar menggerakkan Arab Spring 2011:
Diploma dan mahasiswa yang seharusnya jadi tonggak pengetahuan, berubah menjadi
mesin perang. Meluluhlantakkan dunia Arab menjadi medan pembantaian.
Prof. Abdul Haris,
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, secara blak-blakan menyatakan: "Kita
(perguruan tinggi) masih menghasilkan pengangguran."
Ia mengakui tiga
masalah krusial: ketimpangan akses, kesenjangan kualitas, dan kurikulum yang
tidak relevan. Padahal, perguruan tinggi seharusnya menjadi pusat knowledge
creation, bukan sekadar knowledge transfer. Namun, hingga 2024, hanya 12,76%
angkatan kerja Indonesia yang berpendidikan tinggi—sisanya adalah lulusan
SMA/SMK yang lebih mudah diserap pasar.
Di balik kejenuhan
ruang kelas, eksploitasi di kantor magang, dan umpatan bimbingan skripsi, bibit
pemberontakan lahir dari rahim yang sama. Rahim yang dimiliki oleh ideologi
kebebasan, pencerahan, dan perlawanan kezaliman. Setiap tahun, ribuan sarjana
baru dilahirkan tanpa masa depan, sementara pemerintah sibuk berkoar tentang
"pembangunan SDM unggul".
Pertanyaannya: Sampai
kapan elite politik bisa tidur nyenyak, sementara gelombang generasi terdidik
yang marah siap meledakkan status quo?
Jika hari ini kita
abai, besok mungkin kita hanya tinggal menyaksikan negeri ini berubah dari
"darurat pengangguran" menjadi kuburan harapan. Kuburan yang berisi
jasad perjuangan, dan saksi bisu amarah sipil pada pemerintah.
Ancaman Gerakan Pemberontakan Massal: Ketika Negara
Menanam Bom Sosial
Bayangkan sebuah mesin
otomatis yang menyediakan kopi panas, tapi hanya mengeluarkan air comberan.
Itulah analogi relative deprivation—ketika harapan kehidupan layak dijanjikan
melalui pendidikan dan demokrasi, dan berbenturan dengan kenyataan berisi
pengangguran massal dan ketimpangan sosial.
Ted Robert Gurr dalam Why
Men Rebel (1970) menegaskan: Manusia tidak memberontak karena kemiskinan, tapi
karena merasa dikhianati oleh sistem yang menjanjikan kemakmuran, tapi malah
memberi penderitaan. Di sini, sarjana penganggur bukan sekadar korban,
melainkan bahan bakar yang siap meledak. Mereka adalah generasi yang tahu cara
membaca Marx, mengutip Foucault, dan—yang lebih berbahaya—mengorganisir massa.
Mengubah pemikiran bebas, jadi bom molotov.
Lalu, masuklah para
dalang identitas. Seperti produser acara reality show yang sengaja memicu
konflik antar-kontestan demi rating. Elite politik dan kelompok radikal
memanfaatkan isu etnis, agama, atau kelas untuk mengkonsolidasi kekuasaan.
James C. Scott dalam The
Art of Not Being Governed (2009) mengingatkan: Identitas adalah senjata paling
efektif untuk mengubah ketidakpuasan menjadi gerakan massa. Lihatlah Myanmar,
di mana junta militer mengalihkan kemarahan rakyat dari korupsi ke kampanye
anti-Rohingya. Atau Indonesia, di mana isu SARA kerap jadi "obat
bius" untuk menutupi kegagalan negara menciptakan lapangan kerja.
Konyolnya, sementara rakyat sibuk bertikai soal bendera atau ritual, oligarki
tetap aman mengeruk kekayaan.
Tapi puncak ironi ada
pada state fragility. Bayangkan negara sebagai satpam kompleks perumahan yang
tidur pulas, sementara perampok menggasak rumah warga.
Charles Tilly dalam From
Mobilization to Revolution (1978) menyebut: Negara yang gagal menjamin keamanan
dan keadilan akan memicu "hukum rimba," di mana warga mengambil alih
peran negara dengan cara mereka sendiri—dengan pentungan bisbol atau senjata
api. Di Sudan Selatan misalnnya, pengangguran terdidik yang frustrasi jadi
komandan milisi. Bahkan di Peru, Profesor Filsafat, Abimael Guzman,
mengorganisir gerilyawan Shining Path. Inilah paradoks kejam: Negara yang lalai
menciptakan lapangan kerja, justru memproduksi "lapangan perang".
Dampaknya? Bukan
sekadar kerusuhan sesaat, tapi disintegrasi sosial permanen. Perang sipil
Suriah, yang dimulai dari protes damai mahasiswa pada 2011, telah menghancurkan
70% infrastruktur negara dan mengubah 13 juta warga jadi pengungsi.
Di Indonesia, kekerasan
bukan lagi alat, melainkan budaya peradaban digital. Anak-anak tumbuh dengan
melihatnya sebagai solusi, sementara negara kehilangan monopoli atas legitimasi
hukum.
Pertanyaannya: Kapan
para penguasa sadar bahwa pengangguran terdidik bukanlah "statistik
sampah," melainkan arsenik politik yang perlahan meracuni tubuh bangsa?
Jika hari ini mereka masih sibuk berdebat soal bendera setengah tiang atau
syarat calon presiden, besok kita semua mungkin akan jadi penonton pameran seni
konyol berjudul: "Perang Sipil: Karya Agung Negara yang Gagal".
Gerakan Revolusi Besar yang Dibutuhkan Negara
Negara ini sedang
bermain Russian roulette dengan masa depan generasi mudanya. Di satu sisi, ada
pilihan revolusi sistemik—menghancurkan struktur pendidikan yang timpang,
mengganti oligarki ekonomi dengan demokrasi produktif, dan merombak kebijakan
yang hanya menguntungkan segelintir elite. Di sisi lain, reformasi ala
kadarnya—program tambal sulam seperti pelatihan singkat atau insentif sektor
informal—yang ibarat memberi parasetamol pada pasien kanker ganas.
Reorientasi pendidikan
bukan lagi tentang menambah mata kuliah atau magang semu. Ini tentang membongkar
kurikulum abad ke-19 yang dipaksakan di era AI. Contoh nyata: Jerman dengan
sistem Dual Education-nya, di mana 78% lulusan SMK langsung terserap industri
karena kurikulum dirancang bersama perusahaan. Di Indonesia? Lebih dari 60%
program studi di perguruan tinggi tidak relevan dengan kebutuhan pasar kalau
kata kajian Kemnaker 2023.
Alhasil, jika tidak ada
terobosan radikal—seperti menutup jurusan "zombie" yang hanya jadi
tempat sampah mahasiswa—kampus akan tetap menjadi pabrik penganggur berijazah.
Demokratisasi ekonomi
bukan slogan kosong. Ini berarti memaksa korporasi membuka lapangan kerja
berkualitas, bukan sekadar jadi rentenir lewat sistem alih daya dan kontrak
serabutan. Di Vietnam, reformasi agraria dan investasi di UMKM berhasil menekan
pengangguran terdidik hingga di bawah 4%.
Sementara di Indonesia,
menurut riset Oxfam 2023, 85% aset ekonomi masih dikuasai 1% populasi. Jika
oligarki dibiarkan, sarjana-sarjana kita akan tetap jadi budak di negeri
sendiri: Pintar secara teori, tapi miskin secara martabat.
Elite politik boleh
terus berlagak tuli, tapi waktu tidak bisa dibohongi. Setiap detik, 12 sarjana
baru masuk daftar pengangguran. Setiap bulan, 100 anak muda terdidik hijrah ke
luar negeri. Setiap tahun, kepercayaan pada negara kian terkikis.
Jika revolusi
pendidikan dan ekonomi tidak dimulai hari ini, bersiaplah menyaksikan negeri
ini menjadi laboratorium experimen yang gagal—tempat di mana ijazah digantung
di dinding, sementara mayat-mayat harapan bergelimpangan di jalanan.