Setelah konten tersebut
tersebar luas, mahasiswa dalam video tiktok tersebut memberikan sebuah
klarifikasi melalui akun media sosialnya @mrezadiityaa. Faktanya, uang yang
dibagikan adalah uang mainan dan aksi tersebut adalah bentuk ekpresi sindiran
kepada pemerintah yang haus atas kekuasaan.
Para buzzer berusaha
memutarbalikkan fakta dan menciptakan narasi jahat, bahwa aksi protes yang
dilakukan oleh mahasiswa bertajuk Indonesia Gelap merupakan aksi bayaran.
Saya memahami betul
bahwa demokratisasi informasi menjadi salah satu penyebab lahirnya era post-truth,
di mana fakta objektif bisa dikaburkan dengan narasi yang emosional dan terlihat
meyakinkan. Dalam kondisi seperti ini, tumbuh suburnya buzzer atau pendengung
adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dibendung.
Namun, ada kalanya saya
merasakan kegeraman dan kemarahan yang tidak tertahankan ketika menemukan
konten-konten semacam ini, apalagi diamplifikasi dengan masifnya komentar
templat berisi tuduhan tidak berdasar yang berseliweran di seluruh konten
dengan tema serupa.
Siapapun yang punya
nurani dan akal sehat tentu akan marah, ketika menyaksikan ketulusan, kepedulian
dan kecintaan para mahasiswa yang besar terhadap negara dan ikhtiar mereka
dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuk seluruh masyarakat
Indonesia harus digembosi dan dirusak oleh serangan-serangan zalim dari para
pendengung.
Bagi masyarakat
terdidik, narasi yang diciptakan oleh para pendengung memang terkesan lemah dan
tidak masuk akal. Tuduhan-tuduhan yang bertebaran di media sosial seperti,
“Mahasewa”, “Dibayar 50rb dan nasi bungkus”, “Ditunggangi pihak asing”, “Upaya
membela Hasto dan PDIP”, dan seterusnya adalah narasi yang cenderung absurd dan
kacau.
Orkestrasi gerakan
mahasiswa terjadi secara organik dan berlangsung hampir di seluruh wilayah di
Indonesia atas dasar keresahan kolektif akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang
selama ini dianggap merugikan rakyat.
Kita bisa menilai dan
melihat secara langsung bagaimana ungkapan-ungkapan kemarahan itu diekspresikan
secara amat kreatif dan unik melalui poster dan spanduk aksi, serta berbagai
keriuhan substantif yang terjadi di berbagai media sosial. Baik kelompok
penguasa maupun orang-orang kaya di negeri ini tidak akan sanggup membiayai dan
menggerakkan aksi mahasiswa semacam ini.
Lagi pula, hampir
seluruh universitas dengan reputasi besar juga ikut turun ke jalan, tuduhan
dibayar 50 ribu rupiah atau nasi bungkus ini sangat menghina mereka yang uang
kuliah per semesternya rata-rata di atas 10 juta rupiah. Apalagi tuduhan
ditunggangi oleh PDIP dan berkaitan dengan kasus penangkapan Sekjen PDIP Hasto
Kristiyanto, permainan isu ini adalah komedi dan kebodohan luar biasa dari para
pendengung.
Yang mengkhawatirkan
dari narasi mahasewa ini tentu adalah masyarakat dengan literasi informasi yang
rendah dan kelompok ekonomi menengah ke bawah, sayangnya kelompok ini merupakan
mayoritas dari penduduk kita dan menjadi sasaran empuk para pendengung.
Jika terus menerus
narasi ini digaungkan dan menang, gerakan perlawanan semacam ini akan
mendapatkan tantangan besar dengan semakin mengecilnya kepercayaan dan dukungan
dari masyarakat.
Padahal, gerakan moral
dan perjuangan melawan kesewenang-wenangan semacam ini sangat penting bagi
keberlangsungan kualitas demokrasi kita. Kelompok mahasiswa dan koalisi
masyarakat sipil hadir sebagai oposisi terkuat hari ini di tengah menurunnya
kualitas oposisi yang diberikan oleh legislatif yang cenderung menjadi tukang stempel
pemerintah, partai politik yang justru sedang bermufakat untuk membentuk
koalisi permanen, dan berbagai organisasi masyarakat besar yang sibuk di
barisan tedepan membela pemerintah.
Masih banyak sekali
masyarakat Indonesia yang menganggap tugas mahasiswa hanya sekadar belajar dan
perihal mencari pekerjaan, jangankan memberikan dukungan dan mengapresiasi
perjuangan mahasiswa, yang terjadi justru masih banyak kelompok masyarakat yang
memberikan komentar nyinyir menganggap aksi mahasiswa menyusahkan kehidupan
sehari-hari mereka. Nyatanya, keberhasilan setiap aksi demonstrasi adalah
kemenangan juga untuk mereka.
Tugas kita semua yang
merasa sebagai kaum terdidik dan mencintai bangsa ini, untuk secara perlahan
dan berkelanjutan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, mengingatkan
bahwa betapa pentingnya memberikan perlawanan jika penguasa sudah salah jalan
dan meninggalkan cita-cita memakmurkan rakyat Indonesia. Seperti yang diajarkan
oleh Pramoedya Ananta Toer, “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah
penguasa dengan perlawanan”.
Daripada repot-repot
menyewa pendengung, pemerintah seharusnya mendengar dan mengkaji setiap
tuntutan yang diperjuangkan oleh kelompok mahasiswa dan koalisi masyarakat
sipil. Kemarahan massa tidak akan pernah terjadi jika pemerintah bekerja dengan
benar dan setiap kebijakan publik dibuat atas dasar kepentingan rakyat.
Dibanding mengerahkan
pendengung untuk membentuk opini publik, lebih mudah dan bijak bagi pemerintah
untuk mengevaluasi pejabat-pejabat publik yang gemar memberikan komentar
nyeleneh dan nirempati. Sebab ucapan-ucapan menyebalkan para pejabat publik ini
jugalah yang menjadi faktor penyulut emosi masyarakat.
Dalam novel 1984,
dengan cerdik George Orwell mengilustrasikan fenomena penguasa dalam mendikte
pikiran publik, “Partai penguasa akan mengumumkan bahwa 2 + 2 = 5, dan
masyarakat harus mempercayainya.” Melalui propaganda dan perang narasi yang
diproduksi secara sistematis oleh para pendengung, masyarakat dipaksa
mempercayai dan bahkan mendukung setiap muslihat dan kebohongan penguasa.
Namun ingatlah, bahwa
negara ini belum menjadi Oceanianya Orwell yang menganut sistem totalitarian
penuh. Selama kelompok kritis seperti golongan mahasiswa masih setia di jalan
kebenaran, sepanjang itu pula nilai-nilai luhur demokrasi dan kedaulatan rakyat
akan terus terjaga. Tugas kita semua, untuk selalu berada di barisan mahasiswa
dan memberikan dukungan, sekecil apapun itu. Karena sekecil apapun perlawanan,
adalah perlawanan.