Sejarah telah
membuktikan bahwa seni merupakan instrumen penting dalam menyampaikan kritik
sosial. Karya-karya seperti puisi WS Rendra, mural kritis di tembok kota, atau
bahkan lagu-lagu dari musisi seperti Iwan Fals telah menjadi alat perlawanan
yang sah dalam demokrasi. Seni memberi ruang bagi masyarakat untuk
menggambarkan realitas sosial yang terjadi di sekitar mereka, termasuk
ketimpangan, ketidakadilan, dan penyalahgunaan wewenang oleh negara.
Kritik sosial melalui seni bukanlah ancaman bagi negara, melainkan cermin bagi institusi untuk berbenah. Membungkam suara kritis hanya akan memperkuat gema perlawanan.
Namun, perdebatan
mengenai perbedaan antara kritik sosial dan ujaran kebencian kerapkali mencuat.
Kritik sosial bertujuan untuk mengungkapkan ketidakpuasan terhadap suatu
kebijakan atau praktik institusional yang dianggap tidak adil. Sementara itu,
ujaran kebencian memiliki unsur provokasi yang menyerang individu atau kelompok
dengan maksud untuk merendahkan atau menciptakan kebencian di masyarakat. Dalam
konteks lagu Bayar Bayar Bayar, lirik yang menyinggung kebiasaan pungutan di
institusi kepolisian lebih bersifat kritik sistemik daripada serangan terhadap
individu atau kelompok tertentu.
Kritik melalui seni
biasanya disampaikan dengan diksi yang satir, metaforis, atau hiperbolik. Ini
adalah ciri khas yang membedakannya dari ujaran kebencian yang cenderung
menggunakan diksi eksplisit untuk menyerang secara personal atau menyebarkan
kebencian. Misalnya, lirik lagu yang menggambarkan pengalaman sehari-hari
masyarakat dalam berurusan dengan birokrasi yang dipenuhi pungutan liar adalah
bentuk kritik terhadap sistem, bukan serangan langsung kepada individu tertentu
di dalam institusi tersebut.
Pelarangan terhadap
lagu Bayar Bayar Bayar mengindikasikan adanya ketidakjelasan dalam memahami
kritik sosial sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Pasal 28E UUD 1945
dengan jelas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk
menyampaikan pendapat. Selain itu, Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12
Tahun 2005, juga menjamin hak atas kebebasan berekspresi. Oleh karena itu,
pelarangan ini dapat dianggap sebagai pembungkaman terhadap suara kritis yang seharusnya
dilindungi dalam sistem demokrasi.
Pada titik ini, perlu
ada pemahaman lebih lanjut bagi institusi negara dalam menafsirkan kritik
sosial. Tidak semua kritik terhadap kebijakan atau praktik institusional adalah
bentuk ujaran kebencian. Justru, seni kritik adalah cara yang sah dan
diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan serta memberikan umpan balik
bagi reformasi institusional.
Jika sebuah institusi merasa tersinggung oleh kritik seni, respons terbaik bukanlah melarang atau membungkam, tetapi merefleksi dan memperbaiki diri.
Selain itu, masyarakat
juga perlu diedukasi agar mampu membedakan kritik yang membangun dengan ujaran
kebencian. Dalam era digital yang serba cepat, informasi yang beredar dapat
dengan mudah dipelintir untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, pemahaman
yang lebih dalam mengenai batasan dan esensi kritik sosial menjadi kebutuhan
yang mendesak agar kebebasan berekspresi tidak selalu dianggap sebagai ancaman.
Ironisnya, semakin kuat
upaya untuk membungkam kritik melalui seni, semakin besar respons yang muncul
dari publik. Sensor terhadap lagu-lagu yang mengandung kritik justru sering
kali membuat lagu tersebut semakin populer dan viral di berbagai platform
digital. Hal ini membuktikan bahwa publik tidak mudah begitu saja menerima
pelarangan yang bersifat otoriter, terutama ketika kritik yang disampaikan
memang mencerminkan realitas yang mereka alami.
Di sisi lain,
pelarangan semacam ini juga dapat menimbulkan efek ketakutan (chilling effect) di kalangan seniman
dan masyarakat. Jika kritik terhadap institusi negara selalu dianggap sebagai
ujaran kebencian, maka ruang kebebasan berekspresi semakin menyempit.
Dampaknya, masyarakat akan semakin enggan untuk mengkritik kebijakan atau
praktik yang merugikan, yang pada akhirnya akan menghambat demokrasi dan
akuntabilitas.
Untuk itu, perlu adanya
mekanisme yang lebih adil dalam menilai sebuah karya seni sebagai bentuk kritik
sosial atau ujaran kebencian. Penafsiran sepihak oleh pihak yang dikritik jelas
tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk membungkam suara kritis. Diperlukan
kajian yang objektif dan berbasis hukum yang jelas dalam menangani isu-isu
semacam ini agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Pada akhirnya, seni
tetap menjadi instrumen paling efektif dalam menyuarakan kritik sosial. Melalui
lirik, visual, atau pertunjukan, seniman memiliki ruang untuk mengekspresikan
keresahan masyarakat. Pelarangan terhadap lagu Bayar Bayar Bayar justru menunjukkan
bahwa kritik yang disampaikan melalui seni masih memiliki daya dobrak yang kuat
dalam masyarakat.
Jika sebuah institusi
merasa tersinggung oleh kritik yang disampaikan, respons terbaik bukanlah
melarang atau membungkam, tetapi melakukan refleksi dan perbaikan terhadap
praktik yang dikritik. Kritik sosial, terutama melalui seni, bukanlah ancaman
bagi negara. Justru, itu adalah bagian dari dinamika demokrasi yang sehat, yang
memungkinkan adanya perbaikan terus-menerus dalam sistem pemerintahan dan pelayanan
publik.