![]() |
Meme Pertamax viral di media sosial. (X) |
Narasi Oplosan dan Misinformasi
Dalam pernyataan
resminya, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko
Santoso, menegaskan bahwa kualitas BBM jenis Pertamax telah memenuhi standar
spesifikasi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Minyak & Gas Bumi
(Ditjen Migas). Ia juga menjelaskan bahwa yang dipersoalkan oleh Kejaksaan
Agung (Kejagung) bukanlah praktik pengoplosan, melainkan dugaan penyimpangan
dalam pembelian BBM beroktan 90 yang diklaim sebagai BBM beroktan 92.
Namun, dalam dunia
komunikasi publik, persepsi sering kali lebih kuat daripada fakta. Narasi
tentang "oplosan" dengan cepat menyebar di berbagai platform media
sosial, menciptakan kebingungan dan spekulasi di kalangan masyarakat. Kejaksaan
Agung sendiri telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, terdiri dari
pihak swasta dan pejabat Pertamina, yang semakin memperkeruh keadaan.
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Dalam perspektif
akademisi, kasus ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi juga masalah tata
kelola perusahaan dan manajemen risiko. Kepercayaan publik terhadap badan usaha
milik negara (BUMN) seperti Pertamina sangat krusial, mengingat perannya dalam
penyediaan energi nasional. Jika dugaan penyimpangan dalam tata kelola BBM
terbukti, hal ini dapat semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dan institusi negara.
Krisis kepercayaan ini
juga dapat berdampak pada perilaku konsumen. Masyarakat mungkin akan lebih
selektif dalam memilih BBM atau bahkan beralih ke alternatif lain, termasuk
kendaraan listrik atau bahan bakar non-subsidi. Di sisi lain, bagi investor,
kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan transparansi dalam bisnis energi
nasional, yang dapat berimbas pada daya tarik investasi di sektor ini.
Perlu Reformasi Tata Kelola Energi
Ke depan, ada beberapa
langkah strategis yang perlu diambil untuk menghindari skandal serupa:
1. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas.
Pemerintah dan Pertamina perlu memastikan adanya mekanisme pengawasan yang
lebih ketat terhadap proses pengadaan dan distribusi BBM. Setiap kebijakan
harus dikomunikasikan dengan jelas agar tidak menimbulkan spekulasi di
masyarakat.
2.
Digitalisasi dan
Penguatan Sistem Audit. Pemanfaatan teknologi digital dalam rantai pasok energi
dapat meningkatkan akurasi data serta mengurangi peluang terjadinya manipulasi
atau penyimpangan.
3.
Pemberian Sanksi
Tegas. Pemerintah harus menunjukkan komitmen dalam menindak tegas oknum-oknum
yang terbukti melakukan pelanggaran, baik di sektor swasta maupun di lingkungan
BUMN.
4. Edukasi Publik yang Lebih Baik. Penyebaran informasi
yang akurat dan berbasis data sangat penting untuk menghindari misinformasi
yang dapat memperkeruh keadaan.
Kasus ini seharusnya
menjadi momentum bagi pemerintah dan Pertamina untuk berbenah. Reformasi tata
kelola energi yang lebih transparan dan berorientasi pada kepentingan
masyarakat harus menjadi prioritas utama. Hanya dengan demikian, kepercayaan
publik dapat dipulihkan dan sektor energi nasional dapat berkembang dengan
lebih sehat dan berkelanjutan.