Aktivitas judi online ini
melibatkan mekanisme pembayaran digital seperti transfer bank, dompet
elektronik, hingga QRIS. Proses transaksi begitu cepat dan relatif sulit
dilacak apabila identitas pengguna tidak terverifikasi secara ketat. Menurut
rilis “Indonesia Fintech Market Report – Q1 2025” pada 11 April 2025, transaksi
melalui dompet elektronik (e-wallet) di Indonesia terus meningkat hingga 90%
dari periode sebelumnya. Padahal, tanpa pengawasan tepat, integrasi e-wallet
dan sistem pembayaran digital lainnya bisa dengan mudah disalahgunakan oleh
sindikat judi untuk menyamarkan aliran dana.
Salah satu alasan
kenapa modus ini tumbuh subur adalah rendahnya literasi keuangan digital di kalangan
masyarakat umum –khususnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Mereka mudah
terperangkap iklan “game penghasil uang” atau “taruhan bola online” –yang juga
marak di kolom komentar sosial media, karena menjanjikan “kemenangan” mudah
hingga “kekayaan” cepat.
Celakanya, banyak
pengguna teknologi keuangan (fintech) yang belum siap menghadapi risiko fraud
yang ada di ekosistem keuangan digital. Alhasil, kondisi ini menjadi lahan
basah bagi pelaku kejahatan siber. Tidak heran, Komdigi telah memblokir jutaan
konten judi online, sementara OJK dan perbankan menutup ribuan rekening yang
terkait aktivitas ilegal ini sebagai respons tegas. Akan tetapi, aksi
pemblokiran seringkali mendapatkan respons yang lebih cepat oleh pelaku dengan
membuat domain baru atau menggunakan akun e-wallet palsu.
Fenomena judi online
juga disokong oleh pesatnya inovasi fintech di Indonesia. Tahun 2024,
DailySocial melaporkan bahwa fintech menjadi sektor pendulang dana terbanyak
untuk startup lokal, menguasai sekitar 41,8% dari seluruh total investasi.
Dalam laporan bertajuk Indonesia Startup Report 2025 yang dirilis pada Februari
2025 tersebut, sektor ini mencakup layanan pembayaran digital, asuransi
berbasis teknologi (insurtech), sampai pinjaman online berbunga kompetitif.
Secara teori, geliat ini dapat dikatergorikan sebagai pertumbuhan positif
karena membuka akses bagi masyarakat yang belum mempunyai akses perbankan (unbanked).
Namun, kenyataannya, banyak celah pengawasan yang belum sempurna. Praktik
pencucian uang dan judi online tumbuh diam-diam di balik euforia perkembangan
fintech tersebut.
Implikasi Kelemahan Ekosistem Keuangan Digital
Jika mengacu pada
laporan Tech In Asia (www.techinasia.com), tampak bahwa pendanaan fintech di
Asia Tenggara memang berfluktuasi, bahkan tercatat mengalami penurunan sebesar
66% dibanding kuartil 1 2024. Namun, Indonesia masih menjadi magnet karena
populasi masyarakat yang besar dan transaksi digital yang terus naik. Menurut
data Bank Indonesia, transaksi digital payment di Indonesia pada 2024 menembus
34,5 miliar kali transaksi, tumbuh 36,1% secara tahunan (year-on-year).
Penggunaan QRIS pun naik 175,1% pada periode yang sama. Di satu sisi, ini
menandakan ekosistem keuangan digital kita aktif dan cepat beradaptasi. Di sisi
lain, efektivitas pengawasan belum sebanding dengan percepatan teknologi.
Salah satu contoh
nyata, menurut hasil analisa PPATK, adalah penggunaan QRIS untuk menyamarkan
transaksi. Modusnya, pemain judi mentransfer nominal kecil secara berulang ke
akun penampung melalui QRIS di berbagai merchant. Ketika digabungkan, nilainya
bisa puluhan juta hingga ratusan juta rupiah per hari. Di sinilah letak
kelemahan terbesar, yaitu kurangnya real-time monitoring dan integrasi data
lintas platform –sekalipun Bank Indonesia sudah merumuskan standar anti
pencucian uang (Anti Money Laundering) terbaru, OJK merampungkan ketentuan bagi
perusahaan teknologi finansial, Komdigi memblokir situs, dan kepolisian
menindak pemilik akun. Namun, semuanya bekerja pada jalur masing-masing –dan
cenderung sporadis, sehingga aktivitas ilegal sulit dipantau secara menyeluruh.
Kondisi ini diperparah
oleh literasi keuangan digital yang rendah. Masyarakat tidak siap menghadapi
berbagai tawaran “cuan cepat” berbasis aplikasi. Kita ambil contoh, tak sedikit
orang rela meminjam uang di platform pinjaman online yang belum berizin resmi,
lalu menggunakannya untuk deposit ke situs judi online. Di kalangan anak muda,
aktivitas ilegal ini merambah melalui plugin gim atau link streaming yang
tiba-tiba menampilkan pop-up “mainkan sekarang, bawa pulang hadiah jutaan.”
Sebagian anak muda ini tidak sadar bahwa hal tersebut adalah jebakan yang akan
menjerumuskan mereka ke ranah pelanggaran hukum.
Penegakan hukum pun
masih bersifat reaktif. Komdigi bisa menutup ratusan ribu domain, tapi operator
judi juga menyiapkan ribuan domain cadangan. PPATK dapat memeriksa aliran uang
dalam rekening bank, tapi transaksi e-wallet terkadang luput jika pelaporannya
tidak dilakukan. Rilis Chambers and Partners bertajuk “FIntech 2025” yang
diterbitkan pada 25 Maret 2025 mengulas banyak platform belum memakai AI
(artificial intelligence) canggih untuk menapis transaksi mencurigakan.
Ketiadaan data hub nasional, seperti yang direncanakan dalam Indonesia Payment
System (IPS) Blueprint 2025, membuat setiap lembaga terpaksa mengandalkan
laporan manual yang berjalan dalam proses birokrasi “tradisional” –atau
baku-kaku. Akhirnya, proses identifikasi judi online kerap memakan waktu lama.
Saat terungkap, pelaku sudah memindahkan uangnya ke tempat lain.
Jika ditelaah dengan
saksama, inti persoalan terletak pada kurangnya sinkronisasi dan belum tegaknya
sistem integrasi. Melalui IPS Blueprint 2025, Bank Indonesia sudah punya cetak
biru sistem pembayaran bernama “Operational Framework of Indonesia Payment Systems
Blueprint 2025” yang mencakup lima pilar: Open Banking, Retail Payment Systems,
Financial Market Infrastructures, Data, serta Regulatory, Licensing, and
Supervisory. Implementasinya sudah dimulai, misalnya dengan peluncuran BI-FAST
untuk memudahkan transfer real-time dan perluasan QRIS Merchant Presented Mode
(MPM) atau Customer Presented Mode (CPM). Persoalannya, langkah-langkah ini
belum diiringi pemantauan transaksi yang kuat.
Penguatan Ekosistem Keuangan Digital
Untuk menuntaskan
praktik judi online, ada empat langkah yang bisa dipertajam dan disesuaikan
dengan semangat IPS Blueprint 2025. Pertama, perlu segera dibangun data hub
terpadu antarlembaga (BI, OJK, Komdigi, PPATK, Polri) dengan akses dan wewenang
jelas. Langkah ini memungkinkan identifikasi aktivitas anomali secara
real-time. Misalnya, saat sebuah e-wallet mencatat ratusan transaksi kecil
dalam satu jam ke satu akun penampung, data hub langsung mengirim alarm ke
PPATK untuk ditindak. Proses ini tak boleh lagi bergantung pada pelaporan manual.
Kedua, Bank Indonesia
dan OJK harus mewajibkan seluruh penyedia jasa keuangan digital mengadopsi AI
dalam mendeteksi penipuan. Jangan biarkan hanya bank besar yang punya sistem
advanced, sementara fintech kecil masih kebingungan. Dengan AI, pola transaksi
mencurigakan, termasuk modus pencucuian uang –structuring maupun smurfing, akan
lebih cepat terendus. Tak kalah penting, kerangka perizinan fintech perlu
diperkuat agar hanya pelaku yang serius berinvestasi dalam keamanan dan
pemenuhan AML/CFT (Anti-Money Laundering and Countering the Financing of
Terrorism) yang bisa bertahan serta mampu menutup celah transaksi judi online.
Ketiga, literasi
keuangan digital harus ditingkatkan. Sesuai semangat inklusi, kita tak hanya
perlu memasukkan modul kewirausahaan digital di sekolah, tapi juga edukasi soal
risiko judi online dan kejahatan siber. Kampanye ini bisa kolaborasi dengan
komunitas dan universitas, memanfaatkan influencer yang dekat dengan generasi
muda. Semakin banyak orang paham betapa bahayanya situs judi online, semakin
kecil peluang mereka terjerumus.
Terakhir, penegakan
hukum mesti lebih solid dan cepat. Kegiatan memblokir domain tak cukup jika
Komdigi berjalan sendiri. Harus ada mekanisme “blokir simultan,” di mana begitu
satu situs judi dikenali, nomor rekening dan e-wallet terkait langsung
dibekukan. Perlu pula kerja sama internasional untuk menutup celah server di
luar negeri. Penegak hukum di Indonesia harus menyiapkan dasar perjanjian
ekstradisi atau mutual legal assistance agar bandar besar tidak aman
bersembunyi di luar.
Langkah-langkah ini
sejalan dengan visi besar IPS Blueprint 2025, yaitu: menciptakan sistem
pembayaran yang interoperabel, inklusif, dan aman. Retail Payment Systems
seperti QRIS memang memudahkan transaksi, tapi harus ditambah lapisan keamanan
ekstra. Inisiatif Data Hub dalam blueprint itu juga wajib disegerakan, agar
laporan-laporan keuangan tidak tersebar tanpa koneksi. Sementara itu, sektor
Regulatory, Licensing, and Supervisory pada ekosistem keuangan digital perlu
menelurkan aturan lebih rinci soal penindakan tegas bagi perusahaan e-wallet
atau fintech yang sengaja lalai. Bahkan, jika pelanggaran terulang, bisa
dilakukan pencabutan izin.
Pada akhirnya, judi
online ini bagaikan cermin yang memperlihatkan rapuhnya beberapa aspek
ekosistem keuangan digital di Indonesia. Laporan-laporan mengenai nilai
transaksi besar, pertumbuhan e-wallet, hingga perkembangan fintech menunjukkan
bahwa infrastruktur pembayaran memang berkembang, tapi kontrolnya kurang
maksimal. Melalui pemantapan langkah-langkah yang padu, mulai integrasi data
lintas lembaga, pemanfaatan AI, peningkatan literasi, sampai penegakan hukum
tegas, kita bisa menutup peluang para sindikat judi. Dengan begitu, IPS
Blueprint 2025 tidak hanya menjadi dokumen visioner, melainkan betul-betul
terasa dampaknya dalam melindungi masyarakat dan memajukan ekonomi digital
Indonesia.