Hari ini, jemari gemetar
ketika mesin pencari kenangan kuputar
mundur ribuan purnama, Jumat di Golgota
Nampak jelas kenangan tentang derita
Kayu salib yang berdiri kokoh
menjadi pelampiasan amarah
memeluk Tubuh Berlumur Darah
Salib kayu itu berubah menjadi merah
Sedih. Elegi kepada kayu kematian itu
tega nian menyalibkan Tuhanku
sejajar dengan para pendosa
padahal Dia tiada berdosa
Mengusir muram durja
Mesin pencari kenangan kumatikan
Jumat agung, kutatap mimbar gereja
Tetapi, kujumpa lagi dengan kayu kematian
Namun, dengan wajah yang cerah
Tiada lagi noda darah
Salib itu tersenyum ramah
sambut aku kembali ke Rumah
Tiada lagi amarah
hanya ode kepada salib
Madah tulus terima kasih
Mengenang Golgota: "Dosaku disalib!"
***
Ada puisi pada darah yang mengecup bebatuan Golgota
tentang cawan yang hampir berlalu, tentang penghianatan
mereka yang tercinta, tentang konspirasi agama-politik berbau
satire
Sebentar lagi sebuah jibaku yang mempertaruhkan kehormatan
seorang guru dan nabi akan diselesaikan.
Darah hampir mengering pada tubuh suci, dan darah mengucur
kembali.
Bilur-bilur itu pun menghantarkan seruan kematian yang
membelah langit kelabu.
.
Lalu pada senja di antara senja yang sudah-sudah,
angin pegunungan berlutut dalam hening
alam pun menorehkan bait-bait elegi di atas angkuhnya
kemanusiaan.
Jalan Dolorosa berhasil menyayatkan sejarah hitam yang akan
melabur manusia menjadi putih bersih.
Pada senja Golgota
anak manusia telah meregang keabadian, memisahkan masa
menjadi lampau dan baru
lalu…
di antara kelamnya malam, kita melihat secarik cahaya,
pertanda fajar akan menyingsing.