Banyak dari kita
mungkin pernah melihat atau bahkan berinteraksi langsung dengan individu yang
berpendidikan tinggi, memiliki titel panjang di depan dan belakang nama, namun
justru menunjukkan perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai moral. Mereka
yang dengan mudah merendahkan orang lain, tidak jujur dalam pekerjaan, atau
memanfaatkan kecerdasannya untuk memanipulasi sistem dan orang-orang di
sekitarnya. Padahal, dalam idealnya, semakin tinggi pendidikan seseorang,
seharusnya semakin bijaksana pula tindak-tanduknya.
Pendidikan tinggi
memang mampu mengasah kemampuan berpikir, memberikan wawasan luas, dan melatih
kecakapan profesional. Namun, moral bukanlah sesuatu yang otomatis tumbuh dari
buku atau ruang kuliah. Moral terbentuk dari kebiasaan sehari-hari, pola asuh,
lingkungan sosial, dan kemauan individu untuk terus merefleksikan diri.
Seseorang bisa sangat cerdas dalam teori, namun jika tidak dibarengi dengan
integritas dan empati, maka kecerdasan itu bisa menjadi senjata yang justru
merugikan banyak pihak.
Kita pun bisa melihat
realita ini dalam berbagai fenomena sosial. Banyak kasus korupsi, manipulasi
data, plagiarisme, hingga penyalahgunaan wewenang yang melibatkan orang-orang
dengan latar belakang pendidikan tinggi. Mereka tahu peraturan, bahkan mungkin
terlibat dalam proses penyusunan kebijakan, namun tetap melanggarnya demi
kepentingan pribadi. Di titik ini, kita menyadari bahwa pengetahuan tanpa
moralitas justru berbahaya.
Salah satu contoh yang
baru-baru ini mencuat ke permukaan adalah kasus yang melibatkan seorang peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran. Pria berinisial PAP (31), seorang residen program spesialis
anestesi, ditahan oleh Polda Jawa Barat atas dugaan kekerasan seksual terhadap
anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Kejadian
ini terjadi pada pertengahan Maret 2025 dan menimbulkan kegemparan, tidak hanya
di kalangan tenaga medis, tetapi juga di masyarakat luas.
Kasus ini menjadi ironi
yang sangat menyedihkan. Seorang yang sedang menempuh pendidikan tertinggi di
bidang kedokteran sebuah profesi yang seharusnya menjunjung tinggi etika,
kepercayaan, dan kemanusiaan justru melakukan pelanggaran moral yang sangat berat.
Perilaku demikian bukan hanya melukai korban, tetapi juga merusak citra profesi
dan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan dan pelayanan kesehatan. Hal
ini semakin memperjelas bahwa gelar dan status akademik tidak bisa dijadikan
tolak ukur mutlak untuk menilai karakter seseorang.
Apa yang dilakukan oleh
PAP jelas tidak bisa dibenarkan, apa pun latar belakang pendidikannya. Namun,
kasus ini menyentil kita semua untuk kembali meninjau ulang bagaimana institusi
pendidikan membentuk moral para peserta didiknya. Apakah pembentukan etika
hanya dibatasi dalam teks kode etik profesi? Atau sudah menjadi nilai hidup
yang betul-betul diinternalisasi dalam keseharian? Karena jika tidak, maka
pendidikan hanya akan mencetak tenaga kerja terampil, bukan manusia yang utuh.
Di sisi lain, kita pun
sering mendapati individu dengan pendidikan formal yang terbatas, namun
memiliki perilaku yang jauh lebih terpuji. Mereka tidak pernah mengecap bangku
kuliah, namun mampu menunjukkan kejujuran, kesantunan, dan kepedulian yang
tulus terhadap sesama. Ini menjadi bukti bahwa moralitas tidak tergantung pada
seberapa tinggi pendidikan, tetapi pada seberapa besar seseorang mau mendidik
dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Kecenderungan
masyarakat yang terlalu memuja gelar juga menjadi faktor yang memperburuk
keadaan. Gelar sering kali menjadi tameng, seolah-olah orang yang memilikinya
tidak bisa salah. Padahal, gelar adalah bentuk pengakuan akademik, bukan
jaminan watak. Tidak sedikit orang yang menggunakan gelarnya untuk mendapatkan
kepercayaan, lalu menyalahgunakannya. Dalam budaya seperti ini, kita cenderung
silau terhadap intelektualitas dan lupa untuk menilai integritas.
Untuk itu diperlukan
kesadaran kolektif bahwa pendidikan tinggi harus dibarengi dengan pembangunan
karakter. Lembaga pendidikan perlu berperan aktif dalam membentuk moral peserta
didik, tidak hanya melalui materi pelajaran, tetapi juga melalui keteladanan,
budaya akademik yang sehat, dan sistem evaluasi yang lebih holistik. Pendidikan
moral tidak bisa dibatasi pada satu mata kuliah atau seminar, tetapi harus
menjadi nilai yang melekat dalam seluruh proses belajar.
Pendidikan karakter
juga perlu menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya guru dan dosen, tetapi
juga keluarga, masyarakat, dan individu itu sendiri. Karena pada akhirnya,
menjadi orang yang berpendidikan adalah pilihan, tetapi menjadi orang yang
bermoral adalah keputusan hidup. Keduanya tidak bisa berdiri sendiri.
Pendidikan tanpa moral hanya akan melahirkan manusia-manusia cerdas yang egois,
sementara moral tanpa ilmu bisa menyebabkan ketulusan yang tidak terarah.
Dalam dunia yang
semakin kompleks dan cepat berubah, kita membutuhkan lebih banyak orang yang
tidak hanya pandai berpikir, tetapi juga bijak dalam bersikap. Kita butuh
pemimpin yang tidak hanya paham teori kepemimpinan, tetapi juga mampu menjadi
contoh integritas. Kita butuh birokrat yang tidak hanya lulus sekolah tinggi,
tetapi juga jujur dalam bekerja. Kita butuh akademisi yang tidak hanya fasih
bicara etika, tetapi juga hidup sesuai prinsip tersebut.
Menjadi cerdas adalah
berkah, tetapi menjadi bermoral adalah kehormatan. Pendidikan tinggi hanya akan
bermakna jika ia mampu mendorong seseorang untuk menjadi manusia yang lebih
utuh yang tidak hanya hebat secara intelektual, tetapi juga mulia secara sikap.
Maka, mari kita berhenti memisahkan antara kepandaian dan kebaikan. Karena
dunia tidak kekurangan orang pintar, tetapi sangat kekurangan orang yang bisa
dipercaya.