Kalimat sederhana ini
mengandung makna kebijakan hidup yang mendalam—sebuah
ajakan untuk keluar dari bayang-bayang keputusasaan dan mulai mengendalikan
arah hidup kita.
Bayangkan dua sosok
dalam kehidupan sehari-hari. Yang pertama adalah seseorang yang bangun setiap
pagi dengan rasa cemas, terpaku pada daftar keharusan: uang untuk sewa, belanja
dapur, atau bahkan sekadar waktu untuk bernapas. Ia terus berlari dalam
lingkaran, didorong oleh kekuatan tak terlihat yang membuatnya merasa kecil dan
tak berdaya.
Lalu, ada sosok
kedua—orang yang punya tuntutan serupa, namun memilih untuk mengambil langkah
lebih dulu. Ia tak menunggu sampai semuanya menipis untuk bertindak. Ia
memutuskan untuk menabung lebih awal, mencari peluang, atau memangkas beban
yang tak perlu. Bedanya? Yang satu dikendalikan oleh tekanan, yang lain
mengendalikan tekanannya lewat pilihan.
Kebutuhan itu nyata.
Kita semua butuh makan, tempat tinggal, dan rasa aman. Tapi ada perbedaan besar
antara membiarkan kebutuhan menjadi tuan yang kejam, dan menjadikannya tamu
yang bisa kita sambut dengan tenang. Ketika kita bertindak karena terpaksa,
kita bergerak dari posisi lemah—seperti kapal yang terombang-ambing tanpa arah.
Tapi saat kita memilih,
kita jadi nahkoda. Kita menentukan ke mana perahu ini berlayar, bahkan di
tengah badai. Pilihan memberi kita kekuatan untuk tak sekadar bertahan, tapi
tumbuh dan berkembang.
Coba renungkan: apa
yang terjadi saat kita terus-menerus menunggu keadaan mendesak baru bergerak?
Kita masuk ke lingkaran yang tak ada ujungnya. Semakin merasa kekurangan,
semakin sulit melihat harapan. Keputusasaan seperti gravitasi—menarik kita
lebih dalam ke bawah.
Tapi bayangkan jika
kita mengubah cara pandang. Alih-alih berkata, “Aku butuh lebih banyak uang,”
kita bisa bertanya, “Bagaimana aku bisa memilih untuk menciptakan kelimpahan?”
Mungkin itu artinya mencari pekerjaan sampingan, mempelajari keterampilan baru,
atau memangkas kebiasaan yang menguras. Langkah-langkah kecil yang dilakukan
dengan sadar, akan membawa kita ke arah yang sama sekali berbeda—menuju
kebebasan, bukan ketakutan.
Hidup berdasarkan
pilihan bukan berarti menyangkal realitas. Tapi soal menata ulang cara kita
menyikapinya. Kita semua tahu akhir bulan bisa terasa berat. Tapi daripada
pasrah menanti kekurangan, kita bisa memilih sejak awal untuk mengelola yang
ada—menyisihkan lebih banyak, atau mencari cara kreatif menambah pemasukan.
Ini bukan cuma soal
strategi keuangan, tapi juga soal menyatakan bahwa kita berhak menentukan cara
kita menjalani hidup. Kita yang menulis aturan mainnya.
Dan di situlah letak keajaiban
sesungguhnya. Setiap pilihan—sekecil apa pun—membangun momentum. Memilih bangun
lebih pagi, membaca buku alih-alih scrolling media sosial, atau menyapa
seseorang yang bisa membuka jalan baru—semuanya seperti batu kecil yang
dilempar ke danau, menciptakan riak yang terus meluas.
Lama-lama kita sadar:
kita tak lagi dikejar oleh kebutuhan. Kita sedang melangkah menuju apa yang
kita inginkan, bukan melarikan diri dari apa yang kita takutkan akan hilang.
Jadi, ambil waktu
sejenak hari ini. Tanyakan pada dirimu:
“Di bagian mana aku
masih bertindak karena tekanan? Dan bagaimana aku bisa mengubahnya menjadi
pilihan?”
Mungkin jawabannya
sederhana, mungkin tidak. Tapi satu hal pasti: saat kita mulai memilih, kita
tidak hanya mengubah hari ini—kita sedang membentuk masa depan.
Kita berhenti jadi
penonton, dan mulai jadi pencipta. Dan di ruang antara kebutuhan dan pilihan
itulah, kita menemukan kekuatan untuk hidup dengan lebih utuh, lebih berani, dan
lebih jujur pada diri sendiri.