Sekalipun Universitas
Gadjah Mada (UGM) telah memberikan penegasan resmi tentang keaslian dokumen
tersebut, narasi mengenai pemalsuan ijazah terus diproduksi, disebarluaskan,
dan diperdebatkan di ruang publik.
Di tengah selubung
informasi yang mengitari polemik ini, pernyataan Kasmudjo, dosen pembimbing
akademik, namun bukan sebagai dosen pembimbing skripsi Jokowi, serta kritik
dari Roy Suryo, mengenai kejanggalan dokumen akademik mantan presiden, menjadi
katalisator dalam membentuk persepsi publik.
Narasi sebagai Realitas: Tiga Tahap Konstruksi
Sosial
Dalam karya
monumentalnya The Social Construction of Reality (1966), Berger dan Luckmann
mempostulasikan bahwa realitas sosial terbentuk melalui tiga tahap dinamis:
eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.
Tahap eksternalisasi
dalam polemik ini muncul ketika individu atau kelompok—terutama dari kelompok
yang skeptis dan tidak puas selama Jokowi menjabat sebagai presiden—mulai
mengangkat isu ini ke permukaan.
Mereka menciptakan
makna dan narasi melalui serangkaian tindakan diskursif: mulai dari unggahan di
media sosial, pernyataan di media massa, hingga analisis “forensik” terhadap
dokumen yang beredar.
Pada tahap ini,
berbagai aktor politik secara aktif mengkonstruksi realitas melalui bahasa dan
simbol yang mereka pilih dalam menggambarkan polemik tersebut.
Proses eksternalisasi
ini biasanya tidak bersifat netral atau bebas nilai. Setiap pihak memilih kata,
framing, dan penekanan yang selaras dengan agenda politiknya.
Bagi kubu oposisi,
pertanyaan tentang ijazah Jokowi dikemas sebagai “pemalsuan” atau “penipuan”,
sementara kelompok pendukung Jokowi menggunakan istilah “fitnah politik” atau
“serangan tanpa dasar” dalam merespons tuduhan yang sama.
Tahap berikutnya adalah
obyektivasi, di mana narasi yang berulang mulai dianggap sebagai kebenaran yang
“nyata” dan objektif. Dalam konteks polemik ijazah Jokowi, pernyataan Kasmudjo
yang menyatakan tidak pernah melihat ijazah Jokowi menjadi titik penting dalam
proses obyektivasi ini.
Sekalipun statusnya
hanya sebagai pembimbing akademik—bukan pembimbing skripsi—pernyataannya
ditarik masuk ke dalam arena interpretasi politik yang lebih luas.
Bagi pihak yang
berseberangan, pernyataan Kasmudjo bukan hanya observasi personal, namun juga
telah bertransformasi menjadi “bukti objektif” adanya ketidakberesan dalam
rekam jejak akademik mantan presiden. Sebaliknya, pendukung Jokowi melihat
pernyataan yang sama sebagai informasi yang tidak relevan dan sengaja
dimanipulasi untuk tujuan politik.
Roy Suryo, dengan latar
belakangnya sebagai figur publik yang memiliki citra teknokratik dan kemampuan
analisis digital, memainkan peran penting dalam memperkuat proses obyektivasi
ini.
Ketika Roy mengemukakan
kritik terhadap format dan tanda tangan dalam dokumen ijazah Jokowi, media dan
kelompok yang memiliki orientasi oposisi memberinya platform yang luas untuk
mengukuhkan narasi ketidakaslian ijazah tersebut.
Sebaliknya, kelompok
yang pro-Jokowi secara aktif menggambarkan kritik ini sebagai serangan politik
tanpa dasar faktual yang kuat.
Yang menarik, dalam
situasi tersebut, realitas yang terbentuk tidak lagi semata-mata tentang
keabsahan dokumen ijazah, tetapi telah bergeser menjadi pertarungan persepsi
tentang legitimasi kepemimpinan Jokowi secara keseluruhan. Mulai dari
jabatannya sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI, hingga Presiden RI.
Hal ini merupakan gambaran
konkret bagaimana proses obyektivasi bekerja dalam panggung politik. Suatu
makna yang timbul dari narasi hasil konstruksi akhirnya menjadi independen dan
berada di luar subyek serta dianggap sebagai obyektif.
Internalisasi: Polarisasi Berbasis Posisi Politik
Pada tahap
internalisasi, narasi yang telah mengalami obyektivasi kemudian diserap dan
diadopsi oleh masyarakat sesuai dengan afiliasi dan posisi politik mereka.
Pendukung Jokowi
meyakini dengan sepenuh hati bahwa polemik ijazah adalah fitnah terencana yang
direkayasa untuk mendelegitimasi kepemimpinan selama Jokowi berkuasa.
Kelompok oposisi,
sebaliknya, telah menginternalisasi keyakinan bahwa ada indikasi kuat pemalsuan
yang perlu diungkap demi kebenaran dan integritas institusi kepresidenan.
Dalam proses
internalisasi ini, informasi sebagaimana dikonfirmasi resmi oleh pihak UGM
mengenai keaslian ijazah, seringkali kalah dominan dibandingkan dengan narasi
yang telah diinternalisasi berdasarkan posisi politik.
Individu tidak lagi
mengevaluasi informasi secara netral, melainkan melalui lensa keyakinan yang
telah terbentuk sebelumnya.
Polarisasi yang terjadi
menunjukkan bagaimana dalam demokrasi hari ini, “kebenaran” bukanlah hasil dari
pencarian faktual yang objektif, melainkan produk dari proses sosial yang
kompleks di mana narasi dan kontra-narasi saling berkompetisi untuk mendominasi
wacana publik.
Politik sebagai Arena Perebutan Definisi Realitas
Polemik ijazah Jokowi
menggarisbawahi bahwa politik bukan hanya mendudukkan kekuasaan formal, tetapi
juga pertarungan untuk mendefinisikan realitas sosial.
Dalam demokrasi, legitimasi
seorang pemimpin tidak semata ditentukan oleh proses elektoral yang sah, tetapi
juga oleh persepsi publik terhadap moralitas, integritas, termasuk keabsahan
ijazah sang pemimpin.
Jika ijazah Jokowi
terbukti tidak sah—sekalipun kemungkinan ini sangat kecil mengingat ada
konfirmasi resmi dari UGM—konsekuensinya sangat serius dan multidimensi. Mulai
dari pertanyaan tentang keabsahan pencalonan hingga kemungkinan krisis
konstitusional yang melibatkan lembaga-lembaga penting seperti KPU.
Sebaliknya, jika ijazah
tersebut sah sebagaimana ditegaskan oleh otoritas akademik yang berwenang, maka
polemik ini menjadi preseden yang menarik tentang bagaimana narasi politik
dapat direkayasa dan diproduksi tanpa landasan faktual yang kuat, namun tetap
memiliki daya pengaruh yang besar terhadap kepercayaan publik.
Yang lebih mendasar,
polemik ini menunjukkan bahwa dalam lanskap politik hari ini, pernyataan resmi
dari pihak seperti UGM bahkan tidak dipercayai sebagai sumber yang valid.
Lebih jauh lagi, opini-opini
tersebut dapat bertransformasi menjadi “fakta alternatif” ketika diadopsi dan
diyakini oleh sejumlah besar warga.
Siapa yang memiliki
kapasitas dan sumber daya untuk mendefinisikan kenyataan—melalui media, simbol
akademik, atau otoritas publik—dialah yang pada akhirnya mengendalikan narasi
politik dominan.
Demokrasi dan Ilusi Kebenaran Objektif
Kasus polemik ijazah
Jokowi memberikan ilustrasi yang kaya tentang salah satu paradoks fundamental
dalam demokrasi: bahwa kita seringkali terjebak dalam ilusi kebenaran objektif
yang sejatinya merupakan hasil konstruksi narasi politik.
Ketika masyarakat tidak
lagi memiliki kapasitas kritis untuk membedakan antara fakta empiris dan opini
politik yang dikemas sebagai fakta, demokrasi menjadi rentan terhadap manipulasi
dan disinformasi.
Dalam era post-truth seperti
saat ini, di mana batasan antara fakta dan opini semakin kabur, menjaga
kewarasan agar tidak terjatuh pada konstruksi sosial yang menyesatkan menjadi
lebih penting dari sebelumnya.
Publik perlu
mengembangkan kewaspadaan terhadap narasi-narasi yang diproduksi secara
intensif oleh berbagai pusat kekuasaan politik, serta meningkatkan kapasitas
untuk memverifikasi klaim-klaim yang beredar melalui sumber-sumber yang
kredibel dan independen.
Melampaui Polarisasi Naratif
Polemik ijazah Jokowi
menggambarkan dengan jelas bagaimana realitas politik di Indonesia tidak hanya
ditentukan oleh fakta objektif, melainkan oleh proses konstruksi sosial yang
melibatkan berbagai aktor seperti media, elit politik, dan masyarakat sipil.
Dengan menggunakan
pendekatan konstruksi sosial, kita dapat memahami bahwa pernyataan dari figur
seperti Kasmudjo dan Roy Suryo menjadi titik awal dalam mengkonstruksi makna
dengan narasi tentang legitimasi kepemimpinan.
Media, termasuk juga
media sosial, sangat memainkan peran signifikan dalam proses obyektivasi yang
mentransformasi opini menjadi “fakta sosial”.
Masyarakat juga
cenderung menginternalisasi narasi sesuai dengan identitas dan afiliasi politik
mereka, yang pada akhirnya memperkuat polarisasi yang sudah ada.
Untuk membangun
demokrasi yang lebih sehat dan rasional, kita perlu melampaui polarisasi
naratif yang saling bertentangan dan mengembangkan kapasitas kolektif untuk
mengevaluasi informasi secara kritis.
Pada situasi ini,
kalangan akademis, media independen, tokoh politik, dan masyarakat sipil turut
memikul tanggung jawab untuk memfasilitasi diskursus publik yang berbasis pada
fakta dan penalaran rasional, bukan hanya memproduksi narasi emosional atau partisan.
Polemik ijazah Jokowi
bukan hanya tentang masalah ijazah seorang mantan presiden. Polemik ini
sekaligus merupakan refleksi dari masalah mendasar yang dihadapi oleh demokrasi
di Indonesia.
Bagaimana demokrasi
mampu menjaga ruang publik agar tidak terperosok dalam pertarungan narasi yang
saling mendelegitimasi, dan bagaimana memastikan bahwa kebenaran faktual masih
memiliki tempat dalam diskursus politik nasional?
Di situlah kualitas
insan Indonesia mendapatkan pijakannya untuk diuji. Apakah insan Indonesia akan
dibangun di atas fondasi sentimen, ataukan ditopang oleh kekuatan argumen?