![]() |
Presiden Burkina Faso ibrahim Traore. (Dok Media Sosial) |
Menyusul terpilihnya
Robert Francis Prevost menjadi Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Sedunia pada 8
Mei 2025 yang kemudian berganti nama menjadi Paus Leo XIV, sepucuk
surat beredar luas di media yang ditulis Ibrabim Traore kepada Paus Leo XIV.
Beberapa pihak menilai surat itu benar adanya, lainnya bilang hoax.
Berikut surat Kapten
Ibrahim Traore dari ibukota negara Burkina Faso, Ougadougou, yang ditujukan
kepada Paus Leo XIV di Vatikan:
Kepada Sri Paus Robert Francis yang Mulia,
Saya menulis kepada Anda, bukan dari istana, bukan
pula dari kenyamanan kedutaan asing, tetapi dari tanah air saya—Burkina
Faso—tempat debu bercampur dengan darah para martir kami, dan gema revolusi
lebih nyaring dari dengungan drone asing di atas kepala.
Saya tidak menulis sebagai seorang yang mencari
pengakuan, juga bukan sebagai diplomat penuh basa-basi. Saya menulis sebagai
anak Afrika—terluka, namun tidak tunduk. Anda kini adalah bapak rohani bagi
lebih dari satu miliar jiwa, termasuk jutaan jiwa di Afrika. Anda tidak hanya
mewarisi gereja, tetapi juga warisan sejarah. Dan di momen transisi ini,
sementara asap putih masih melayang di atas atap Vatikan, saya harus mengirim
surat ini melintasi lautan dan gurun, melampaui batas dan gerbang—langsung ke
hati Anda.
Karena sejarah menuntutnya.
Karena kebenaran memaksanya.
Karena Afrika--yang terluka dan bangkit--sedang menyaksikan Anda.
Yang Mulia,
Kami orang Afrika mengenal kekuatan salib. Kami mengenal himne, doa, dan
litani. Kami membangun gereja dengan tangan yang kapalan dan membela iman kami
dengan darah. Tapi kami juga tahu kebenaran lain---yang terlalu sering dikubur:
bahwa Gereja terkadang berjalan seiring dengan para penjajah. Bahwa saat para
misionaris mendoakan jiwa kami, para tentara menginjak-injak tanah kami. Bahwa
saat para pendahulu Anda berbicara tentang surga, leluhur kami dirantai di
bumi.
Bahkan hari ini, di zaman yang disebut modern ini,
kami masih merasakan belenggu itu--bukan lagi dari besi, tetapi dari diam, dari
acuh, dari permainan geopolitik yang dimainkan di balik bayang-bayang kudus.
Maka saya bertanya, atas nama para ibu yang berdoa
di atas lantai tanah dan anak-anak yang belajar katekismus dengan perut kosong:
Akankah kepausan Anda berbeda?
Akankah Anda menjadi paus yang melihat Afrika bukan sebagai pinggiran, tetapi
sebagai pusat nubuat?
Akankah Anda menjadi paus yang tidak hanya mengunjungi pemukiman kumuh untuk
berfoto, tetapi yang berani bersuara lantang terhadap kekuatan yang membuat
kemiskinan itu abadi?
Yang Mulia,
Saya adalah manusia yang dibentuk oleh perang, bukan oleh kekayaan. Saya tidak
dididik dalam politik oleh institusi Barat. Saya tidak belajar diplomasi di
Paris. Saya belajar memimpin dari parit-parit bersama rakyat--di mana rasa
sakit adalah guru, dan harapan adalah bentuk perlawanan.
Saya memimpin bangsa yang dahulu diabaikan oleh
dunia, sampai kami menolak untuk tetap diam.
Kami dibilang terlalu miskin untuk merdeka, terlalu lemah untuk berdaulat,
terlalu tidak stabil untuk melawan.
Tapi saya katakan ini dengan syluara para leluhur menggema dalam dada saya: