Di salah satu sekolah
dasar negeri di pinggiran Jakarta, seorang siswa dengan kebutuhan khusus sempat
tidak diterima dengan alasan "tidak punya guru pendamping." Sang ibu,
yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia merasa harus menyembunyikan
kondisi anaknya agar tidak mendapat penolakan. "Kami harus bilang anak
saya hanya agak terlambat bicara. Kalau jujur, biasanya langsung ditolak,"
ujarnya.
Data dari Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menunjukkan bahwa hingga 2024,
lebih dari 70% anak berkebutuhan khusus belum mengenyam pendidikan formal.
Salah satu faktor utamanya adalah minimnya sekolah inklusif dan keterbatasan
tenaga pendidik khusus. Padahal Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas dengan tegas menyatakan bahwa setiap anak difabel berhak
mendapatkan pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan secara
inklusif.
Namun tantangan bukan
hanya berasal dari sistem pendidikan. Di lingkungan sosial, anak-anak dengan
kebutuhan khusus juga sering mendapat perlakuan diskriminatif. Banyak keluarga
merasa malu untuk membawa anak mereka ke ruang publik karena takut dianggap
aneh. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua
"Kemanusiaan yang adil dan beradab", masih belum sepenuhnya dihayati
dan dijalankan oleh masyarakat.
Menurut psikolog
perkembangan anak, dr. Rina Kartikasari, M.Psi., tekanan sosial ini menjadi
beban ganda bagi anak dan keluarga. "Anak berkebutuhan khusus tidak hanya
harus berjuang secara fisik atau kognitif, tetapi juga menghadapi dunia sosial
yang belum siap menerima perbedaan," ujarnya. Ia menambahkan, inklusi
sejati hanya bisa terjadi jika masyarakat mulai menghapus stigma dan lebih
banyak berempati.
Dalam konteks Hak Asasi
Manusia (HAM), pengabaian terhadap hak anak difabel merupakan pelanggaran atas
prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Deklarasi Universal HAM dan Konvensi
Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia menekankan bahwa setiap anak berhak
tumbuh dalam lingkungan yang mendukung, tanpa perlakuan berbeda atas dasar
kondisi fisik atau mental mereka.
Beberapa inisiatif
lokal sebenarnya mulai tumbuh, seperti komunitas orang tua anak berkebutuhan
khusus yang saling mendukung di media sosial. Namun tanpa dukungan nyata dari
negara dan pembenahan sistemik, perubahan yang dicapai masih bersifat sporadis.
Negara memiliki
tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menjamin bahwa setiap anak
Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara utuh. Hal ini sejalan dengan sila
kelima Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Pemerintah tidak bisa hanya berhenti pada penyusunan regulasi, tapi harus aktif
menjamin implementasinya sampai ke tingkat daerah dan keluarga.
Ketika seorang anak
berkebutuhan khusus dipandang sebagai aib, maka kita tidak hanya menolak
kehadirannya di sekolah atau taman bermain, tapi juga menafikan nilai-nilai
dasar kemanusiaan yang menjadi fondasi bangsa. Sudah saatnya kita bertanya:
seberapa jauh kita benar-benar menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari?