banner Kampung Numbei Desa Kateri Kabupaten Malaka: Antara Sungai dan Jalan yang Hilang

Kampung Numbei Desa Kateri Kabupaten Malaka: Antara Sungai dan Jalan yang Hilang



Suara Numbei News - Kampung Numbei, yang terletak di Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, adalah potret nyata tentang bagaimana sebagian masyarakat masih hidup dalam keterputusan di tengah gempuran wacana pembangunan nasional. Ironisnya, hingga kini, akses jalan raya yang mestinya menjadi hak dasar warga negara belum juga menyentuh tanah Numbei.

Bagi masyarakat di sini, Sungai Benanain bukan hanya aliran air, melainkan garis nasib. Bila air tenang, mereka dapat menyeberang menuju kota Betun, pusat pemerintahan Kabupaten Malaka. Batu-batu sungai menjadi pijakan kaki, dan arus menjadi tantangan yang harus dijinakkan dengan keberanian serta doa. Namun ketika banjir datang, akses itu sirna. Tidak ada jembatan yang menolong, tidak ada jalan alternatif yang layak. Satu-satunya pilihan adalah menembus hutan Kateri—jalur panjang, terjal, dan berisiko—yang menguras tenaga dan waktu.

Kampung Numbei, sebuah sudut kecil di Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, adalah potret nyata tentang bagaimana pembangunan seringkali berjalan tidak seimbang. Di tengah derasnya arus modernitas yang menjanjikan kenyamanan dan akses tanpa batas, Numbei masih terkurung dalam keterbatasan. Akses jalan raya yang mestinya menjadi urat nadi kehidupan masyarakat tak kunjung hadir. Akibatnya, sungai Benanain menjadi “jembatan alam” yang menentukan nasib keluar masuk warga ke pusat kota Betun.

Saat air tenang dan tidak banjir, masyarakat bisa menyeberangi sungai. Mereka melangkah di antara bebatuan, berharap arus tidak terlalu deras, sambil menggenggam keyakinan bahwa hari itu mereka bisa sampai ke kota dengan selamat. Namun, ketika banjir datang, akses sungai lenyap. Satu-satunya pilihan adalah menembus hutan Kateri, jalur panjang dan melelahkan, penuh resiko dari alam yang liar. Perjalanan ini tidak hanya memakan tenaga, tetapi juga menyingkap kesenjangan: mengapa di abad ke-21 masih ada warga negara yang harus bertaruh nyawa hanya untuk mengakses kota kabupaten mereka sendiri?

Secara filosofis, kondisi ini menghadirkan pertanyaan mendasar: apa arti pembangunan bila tidak menjangkau manusia yang paling jauh? Pembangunan infrastruktur seharusnya bukan sekadar menara beton atau jalan beraspal di pusat kota, melainkan jembatan nyata antara kehidupan manusia dengan haknya untuk berkembang. Di Numbei, ketidakadaan jalan raya adalah simbol keterputusan. Masyarakat terpisah dari layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang lebih luas. Anak-anak yang ingin sekolah di kota harus menantang arus sungai, sementara orang sakit bisa kehilangan waktu berharga hanya karena jalan raya tak kunjung ada.

Dari sisi sosial, masyarakat Numbei menunjukkan daya tahan luar biasa. Mereka menjadikan sungai sebagai sahabat sekaligus tantangan. Sungai Benanain bukan sekadar aliran air, tetapi juga "gerbang hidup" yang menentukan apakah hari ini mereka terhubung dengan dunia luar atau tidak. Namun, daya tahan itu seharusnya tidak dijadikan alasan untuk membiarkan mereka terus berjuang sendiri. Filosofi pembangunan yang sejati adalah menghadirkan keadilan spasial—bahwa siapa pun, di pelosok mana pun, berhak memiliki akses yang sama dengan warga di pusat kota.

Kampung Numbei dengan segala keterbatasannya, sebenarnya sedang memanggil nurani publik dan pemerintah: apakah kita mau terus membiarkan saudara-saudara kita berjalan kaki melewati hutan demi sekadar menuju pusat kota? Atau kita memilih untuk menutup telinga, puas dengan pencitraan pembangunan yang hanya menyentuh pusat-pusat kekuasaan?

Kampung Numbei, sebuah sudut kecil di Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, adalah potret nyata tentang bagaimana pembangunan seringkali berjalan tidak seimbang. Di tengah derasnya arus modernitas yang menjanjikan kenyamanan dan akses tanpa batas, Numbei masih terkurung dalam keterbatasan. Akses jalan raya yang mestinya menjadi urat nadi kehidupan masyarakat tak kunjung hadir. Akibatnya, sungai Benanain menjadi “jembatan alam” yang menentukan nasib keluar masuk warga ke pusat kota Betun.

Saat air tenang dan tidak banjir, masyarakat bisa menyeberangi sungai. Mereka melangkah di antara bebatuan, berharap arus tidak terlalu deras, sambil menggenggam keyakinan bahwa hari itu mereka bisa sampai ke kota dengan selamat. Namun, ketika banjir datang, akses sungai lenyap. Satu-satunya pilihan adalah menembus hutan Kateri, jalur panjang dan melelahkan, penuh resiko dari alam yang liar. Perjalanan ini tidak hanya memakan tenaga, tetapi juga menyingkap kesenjangan: mengapa di abad ke-21 masih ada warga negara yang harus bertaruh nyawa hanya untuk mengakses kota kabupaten mereka sendiri?

Secara filosofis, kondisi ini menghadirkan pertanyaan mendasar: apa arti pembangunan bila tidak menjangkau manusia yang paling jauh? Pembangunan infrastruktur seharusnya bukan sekadar menara beton atau jalan beraspal di pusat kota, melainkan jembatan nyata antara kehidupan manusia dengan haknya untuk berkembang. Di Numbei, ketidakadaan jalan raya adalah simbol keterputusan. Masyarakat terpisah dari layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang lebih luas. Anak-anak yang ingin sekolah di kota harus menantang arus sungai, sementara orang sakit bisa kehilangan waktu berharga hanya karena jalan raya tak kunjung ada.

Dari sisi sosial, masyarakat Numbei menunjukkan daya tahan luar biasa. Mereka menjadikan sungai sebagai sahabat sekaligus tantangan. Sungai Benanain bukan sekadar aliran air, tetapi juga "gerbang hidup" yang menentukan apakah hari ini mereka terhubung dengan dunia luar atau tidak. Namun, daya tahan itu seharusnya tidak dijadikan alasan untuk membiarkan mereka terus berjuang sendiri. Filosofi pembangunan yang sejati adalah menghadirkan keadilan spasial—bahwa siapa pun, di pelosok mana pun, berhak memiliki akses yang sama dengan warga di pusat kota.

Kampung Numbei dengan segala keterbatasannya, sebenarnya sedang memanggil nurani publik dan pemerintah: apakah kita mau terus membiarkan saudara-saudara kita berjalan kaki melewati hutan demi sekadar menuju pusat kota? Atau kita memilih untuk menutup telinga, puas dengan pencitraan pembangunan yang hanya menyentuh pusat-pusat kekuasaan?

Pertanyaan kritis pun lahir: apakah pembangunan telah menjadi hak yang sama, ataukah hanya privilese bagi mereka yang hidup dekat dengan pusat kota? Filosofi pembangunan sejati adalah menghadirkan keadilan spasial—keadilan yang memungkinkan siapa pun, dari pesisir hingga pedalaman, merasakan manfaat yang sama. Namun, realitas Numbei justru menyingkap betapa timpangnya keadilan itu.

Anak-anak yang hendak bersekolah di kota, orang tua yang hendak berobat, petani yang ingin menjual hasil kebun, semuanya harus berjudi dengan sungai atau hutan. Waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dipakai untuk belajar, bekerja, dan berkarya, justru habis untuk mengatasi hambatan alam yang seharusnya bisa dijembatani oleh infrastruktur. Pada titik ini, kita bisa bertanya secara filosofis: apakah pembangunan hanya berarti jalan mulus di kota, ataukah jalan sederhana yang menyambungkan manusia dengan hak-haknya?

Masyarakat Numbei adalah cermin daya tahan. Mereka bertahan, beradaptasi, dan menantang alam demi kelangsungan hidup. Namun, daya tahan itu tidak boleh terus dijadikan dalih untuk membiarkan keterisolasian berlangsung. Negara tidak boleh hanya hadir di spanduk perayaan hari besar, tetapi absen dalam hal paling konkret: jalan raya.

Penutup

Kampung Numbei mengingatkan kita bahwa sungai dan hutan bukanlah musuh utama, melainkan simbol dari ketiadaan perhatian. Selama jalan raya belum menembus kampung ini, selama itu pula pembangunan kita masih timpang, kehilangan jiwa kemanusiaannya.

Hanya dengan langkah konkret—jembatan, jalan, dan perhatian berkelanjutan—barulah filosofi pembangunan sebagai jembatan keadilan bisa benar-benar hidup di tanah Malaka. Bukan sekadar mimpi di ruang rapat, melainkan kenyataan di jalan yang bisa dilewati anak-anak sekolah, petani, dan semua masyarakat yang setiap hari berjuang di Numbei. 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama