Dinamika tersebut tidak
hanya terjadi di lingkungan keluarga, tetapi juga di sekolah dan pergaulan.
Guru dan teman-teman kerap menaruh ekspektasi tinggi pada anak pintar, seolah
mereka tidak boleh salah ataupun gagal. Hal ini menyebabkan banyak anak pintar
tumbuh dengan rasa takut mengecewakan, minder saat menemui kesulitan, dan lebih
memilih menyembunyikan masalah daripada meminta bantuan. Akibatnya, proses
pembelajaran menjadi kurang sehat karena anak hanya fokus pada hasil akhir,
bukan pada pengalaman belajar itu sendiri. Dalam budaya Indonesia yang
cenderung komunal, keberhasilan anak tidak hanya dilihat sebagai prestasi
individu, melainkan juga kebanggaan kolektif keluarga dan komunitas. Beban
harapan ini semakin berat jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak
mendapat label “pintar” namun punya potensi di bidang lain.
Stigma anak pintar juga
menciptakan jarak sosial dengan teman sebaya. Tidak jarang anak pintar dianggap
“beda”, terlalu ambisius, atau malah menjadi target ejekan. Tekanan seperti ini
bisa menghambat perkembangan kepribadian, mengurangi rasa percaya diri, dan
membuat anak ragu mengeksplorasi minat lain di luar akademik. Lingkungan
sekolah yang kompetitif memperparah situasi, di mana ranking dan nilai jadi
patokan utama, sementara penghargaan terhadap proses belajar, kreativitas, atau
soft skills masih sangat terbatas (Tirto, 2021). Dalam jangka panjang, banyak
anak akhirnya tidak siap menghadapi kegagalan, mudah stres, bahkan kehilangan
motivasi belajar ketika tidak lagi mendapat pengakuan atau pujian.
Pola asuh di rumah juga
berperan penting. Orang tua sering kali, tanpa sadar, hanya fokus pada
pencapaian nilai akademik anak. Anak yang berhasil biasanya mendapat perhatian,
hadiah, atau dipuji di hadapan keluarga besar, sedangkan anak yang gagal justru
mendapat teguran. Padahal, setiap anak memiliki keunikan dan kecerdasan yang
berbeda-beda. Menghargai usaha, proses, dan minat anak di luar akademik sangat
penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan kemandirian. Sudah saatnya
keluarga dan sekolah mulai mengubah pola pikir bahwa “anak pintar” bukan
satu-satunya indikator keberhasilan pendidikan. Prestasi akademik memang
penting, namun tidak boleh menjadi beban yang membatasi kebahagiaan dan
kesehatan mental anak.
Peran lingkungan
sosial, baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat, sangat besar dalam membentuk
pola pikir anak tentang makna sukses dan gagal. Jika stigma anak pintar terus
dipelihara tanpa memperhatikan kebutuhan psikologis dan perkembangan
kepribadian anak, kita berisiko kehilangan generasi muda yang berani mencoba
hal baru, kreatif, dan siap menghadapi tantangan hidup. Pendidikan yang sehat
adalah pendidikan yang mendorong anak berkembang secara utuh, tidak hanya
pintar secara akademik, tetapi juga tangguh, empatik, dan bahagia.
Sudah waktunya kita
semua membuka mata: setiap anak layak dihargai tanpa harus terus-menerus
mengejar label pintar. Dengan dukungan yang sehat, anak bisa tumbuh menjadi
individu yang percaya diri, mandiri, dan bahagia—apapun minat serta bakat yang
mereka miliki.