Eben Tung Sely dalam
pernyataannya kepada media di Kupang pada Rabu, 08 Oktober 2025 menegaskan
bahwa perbuatan dua oknum polisi terhadap para tahanan dinilai tidak
manusiawi.
“Saya minta Pak Kapolda
memproses hukum dan memberikan sanksi PTDH terhadap oknum anggota Polsek
Sasitamean Malaka, Ande Boro, yang menganiaya dua tahanan secara keji di dalam
sel. Selain dianiaya, dia bahkan memaksa korban menelan dahaknya sendiri. Ini
tindakan biadab,” ujar Eben.
Menurutnya, tindakan
tersebut mencoreng nama baik Polri dan merusak marwah Korps Bhayangkara.
“Apa yang dilakukan
Ande Boro ini tidak pantas disebut sebagai tindakan polisi. Ini perilaku
preman. Harus diproses pidana di pengadilan dan diberi sanksi kode etik berat,”
tegasnya.
Sumber di kepolisian
menyebut, buntut dari kasus tersebut, Kapolres Malaka AKBP Riki Ginanjar
Gumilar telah mencopot dan menonaktifkan Kapolsek Sasitamean, Iptu Roby Bria.
Untuk sementara, KBO Intel Polres Malaka, Ipda
Doni Rizaldi Alfatah, ditunjuk sebagai pelaksana harian Kapolsek.
Kasus ini mencuat
setelah dua tahanan, Yori Fatin dan Gaudensius Manek, yang telah ditahan selama
141 hari, melampaui batas waktu penahanan sesuai KUHAP (60 hari), melaporkan
dugaan penyiksaan ke Propam Polres Malaka pada Senin (6/10/2025).
Keduanya mengaku
dipukul, ditendang, dan dipaksa menelan dahak milik pelaku saat Kapolsek sedang
bernyanyi karaoke di ruang kerjanya pada akhir September 2025.
“Dia (Ande Boro)
panggil kami, suruh berlutut, lalu pukul wajah kami berulang kali. Setelah itu,
dia batuk dan buang dahaknya ke mulut kami, lalu paksa kami telan,” ungkap Yori
Fatin di Betun.
Gaudensius Manek
menambahkan, selain dipukul, dirinya juga dipaksa membakar kulit wajahnya
sendiri dengan rokok yang sedang diisap pelaku.
Ketua DPD GMNI NTT,
Legorius Bria, yang mendampingi kedua korban, menilai kejadian ini menunjukkan
kegagalan kepemimpinan di tingkat Polsek.
“Ini bukan lagi soal
satu oknum, tapi soal kelalaian dan lemahnya pengawasan. Kapolsek harus dicopot
karena membiarkan penyiksaan terjadi di bawah kendalinya,” tegas Legorius.
Ia menyebut tindakan
tersebut melanggar Konvensi Anti-Penyiksaan PBB dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM, serta mencoreng citra polisi sebagai pelindung
masyarakat.
“Kami minta
penyelidikan serius dari Propam. Korban berasal dari desa terpencil, mereka
berhak atas keadilan,” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah,
Kapolres Malaka AKBP Riki Ginanjar Gumilar membenarkan laporan tersebut dan
menyatakan kasusnya telah ditangani Provos Polres Malaka.
“Pengaduan masyarakat
diterima pada 2 Oktober 2025, dan tanggal 3 serta 4 Oktober sudah dilakukan
pemeriksaan terhadap oknum terlapor Bripka Ande Boro,” jelas Riki, Selasa
(6/10/2025).
Ia menegaskan, kasus
ini akan diproses secara transparan dan sesuai prosedur hukum.
“Kami tangani sesuai
ketentuan, baik secara internal melalui kode etik maupun pidana umum. Jika
terbukti, pelaku akan diberi sanksi tegas,” tegas Kapolres.
Sementara itu, Kapolsek
Sasitamean Iptu Meliachi Robert Bria mengaku tidak mengetahui peristiwa
penganiayaan tersebut karena sedang berada di ruang lain saat kejadian.
“Saya tidak tahu,
karena waktu itu saya sedang karaoke dan mungkin juga ke kamar mandi,” ujarnya
singkat.
Kasus ini kini menjadi
perhatian publik dan lembaga pemerhati HAM di NTT, yang mendesak agar proses
hukum berjalan terbuka dan adil. *** korantimor.com