Di
negeri yang pandai menghitung,
mutu diukur dari tabel dan tanda tangan,
sedang jiwa guru yang letih
tak pernah masuk dalam rapor mutu.
Setiap
lembar kertas disusun rapi,
seolah di sanalah kebenaran berdiam.
Padahal pendidikan bukan laporan,
melainkan denyut kehidupan di ruang kelas yang berdebu.
Anak-anak
belajar menghitung huruf,
namun lupa menghitung rasa.
Guru mengajar tanpa suara,
karena suaranya tenggelam di balik formulir.
Akreditasi
datang seperti musim panen,
tetapi yang dipanen hanyalah bukti.
Di meja kepala sekolah, berkas menumpuk,
sementara semangat mengajar perlahan menyusut.
Pemerintah
tersenyum di podium,
membacakan angka kemajuan,
tanpa mendengar detak pelan
dari hati para guru yang nyaris padam.
Kami
menulis, bukan karena percaya pada format,
tapi karena takut disalahkan oleh sistem.
Kami mengajar, bukan demi nilai akreditasi,
tapi karena masih ada anak yang ingin bermimpi.
Pendidikan
sejati tak berwujud sertifikat,
tak terlipat dalam map tebal warna biru.
Ia bersemayam di tatapan mata anak yang paham,
bahwa belajar adalah cara manusia menjadi manusia.
Maka,
bila suatu hari negeri ini jujur menatap diri,
biarlah ia menemukan bahwa mutu bukan di kertas,
melainkan di hati para guru yang terus menyalakan api
—di antara berkas, dan jiwa.